Pendidikan “Pasar Gelap” (Black Market)
“Kuantitas (jumlah) tidak dapat menentukan kualitas pendidikan,” ujar seorang profesor terkemuka mengenai kualitas pendidikan Bangladesh. Jika jumlah memang menentukan seberapa baik sebuah sistem pendidikan, maka Bangladesh benar-benar melakukan pekerjaan yang fenomenal. Dimana kurang dari satu dekade yang lalu jumlah mahasiswa penerima GPA 5 tidak melebihi 100 mahasiswa, kini telah meningkat secara drastis hingga mencapai hampir seratus ribu mahasiswa. Dari sini tampak terlihat perkembangan pada kualitas pelajar Bangladesh untuk mencapai hasil akademis yang fantastis, dan berlalunya waktu tampaknya telah membantu tingkat kelulusan siswa dalam Ujian Dewan Nasional (National Board Examination). Namun, apakah kenyataan di lapangan seindah nilai stastistik yang ada? Ataukah justru terdapat kebenaran busuk yang disembunyikan dan tidak terlihat?
Rahasia untuk mendapatkan nilai yang baik seringkali lebih melibatkan “pekerjaan kotor” dibanding hanya sekedar belajar keras. Ujian Dewan Nasional Bangladesh, yaitu SSC (Secondary School Certificate) dan HSC (Higher Secondary School Certificate), dan beberapa tambahan baru seperti JSC (Junior School Certificate) dan PSC (Primary School Certificate), memiliki sejarah mengejutkan mengenai kebocoran soal-soal ujian. Ini berarti bahwa soal-soal yang akan diujikan telah bocor/diketahui dengan berbagai cara dan berakhir di tangan siswa sebelum ujian berlangsung. Informasi mengenai soal-soal ujian bahkan dapat bocor pada setiap tahap pengerjaan soal ujian, dari mulai tahap pembuatan soal, uji kelayakan soal, koreksi sample cetak, pencetakan, penyegelan hingga pendistribusian kertas ujian. Keluhan-keluhan lain bahkan berdatangan di ruang ujian, dimana disinyalir ruang ujian pun menjadi salah satu tempat bocornya soal-soal ujian. Terdapat dealer yang memasok soal-soal ujian untuk didistribusikan kepada para siswa dengan imbalan uang yang cukup bervariasi bergantung pada waktu soal tersebut dibocorkan. Jika Anda ingin mendapatkan soal ujian sehari sebelumnya, Anda harus mencari dealer terpercaya dan membayar sebanyak BDT 15.000 (sekitar Rp. 2.500.000). Dan Anda bisa mendapatkan soal ujian secara gratis pada waktu satu jam sebelum ujian berlangsung.
Pada faktanya, ratusan siswa yang sudah membayar di muka banyak yang tertipu oleh dealer abal-abal, dan karenanya mereka pun gagal dalam ujian. Namun lebih banyak siswa yang justru terbantu dengan cara yang curang ini dan berhasil lulus dalam ujian, yang seakan-akan menjadikan mereka memiliki kualitas yang sama dengan siswa-siswa yang telah bekerja keras dan sungguh-sungguh berusaha untuk lulus dalam ujian secara jujur. Pasar gelap pendidikan ini melibatkan banyak pihak, termasuk di dalamnya orang-orang dari Dewan Pendidikan (Education Board), Akademi Pendidikan Dasar (Primary Education Academy), pembinaan pusat, dan pusat-pusat buku panduan. Tim penyelidik independen/privat dari media telah menemukan bahwa mereka bisa mendapat akses ke mesin cetak dari Kementerian Pendidikan secara mudah dan bebas. Hal ini membuat kita bertanya-tanya berapa banyak pihak yang telah mengambil keuntungan dari situasi seperti ini, dan betapa kecilnya keperdulian pemerintah mengenai masalah ini. Ketika ditanyakan kepada pihak yang berwenang, komisaris senior polisi menyatakan bahwa Bangladesh memiliki “tingkat kebocoran soal ujian yang relatif rendah”. Ketika kita saat ini tengah terperangah dan bertanya-tanya tentang seberapa parah tingkat kebocoran soal-soal ujian yang sebenarnya terjadi di lapangan, pasar gelap dalam pendistribusian soal-soal ujian secara ilegal telah tumbuh menjadi bisnis yang berkembang pesat setiap tahunnya.
Bencana untuk pendidikan tidak berakhir sampai disini. Kecurangan dalam ujian adalah fenomena umum yang terjadi dalam ujian dewan nasional dimana siswa gagal untuk mengenali tindakan semacam ini sebagai suatu tindakan yang tidak bermoral. Pada ruang ujian di daerah pedesaan para siswa dapat dengan bebas membawa contekan sementara pengawas ujian bisa bersantai di luar ruangan. Siswa di wilayah perkotaan bahkan menggunakan Bluetooth untuk menerima jawaban dari pihak luar. Beberapa siswa memang telah tertangkap basah menggunakan perangkat semacam ini, namun jumlah siswa yang telah lolos dengan metode kecurangan tersebut jauh lebih besar. Ada lebih banyak penemuan mengejutkan dimana penyelidikan telah menunjukkan bahwa beberapa siswa menempatkan orang lain untuk mengikuti ujian atas nama mereka (menggunakan jasa jockey). Seorang istri bisa duduk untuk ujian yang dimaksudkan untuk suaminya, dan seorang adik untuk kakaknya. Ini menunjukkan kepada kita betapa sedikitnya usaha yang dikeluarkan oleh para pengawas ujian hanya untuk sekedar mengecek ID peserta ujian, mengecek barang-barang illegal dalam ruang ujian yang dimiliki para siswa atau bahkan sekedar mengawasi tindak kecurangan ketika ujian berlangsung.
Meskipun benar bahwa jumlah siswa yang lulus ujian telah meningkat, namun kita dapat menduga bahwa pembelajaran yang sebenarnya hampir tidak terjadi. Sebuah saluran TV terkemuka melakukan wawancara kepada beberapa calon peserta ujian yang meraih ‘GPA 5’. Dalam wawancara tersebut terungkap bencana yang akan melanda Bangladesh di masa depan. Dari seluruh mahasiswa yang berhasil diwawancarai, tidak satu pun mahasiswa yang mampu menerjemahkan kalimat “Saya memperoleh GPA 5” ke dalam bahasa Inggris, dan sebagian besar dari mereka bahkan tidak mengetahui apa itu GPA. Video wawancara tersebut pun menjadi viral dan pada akhirnya tergambar di benak masyarakat akan kualitas mahasiswa yang meraih ‘GPA 5’. Situasi yang menyedihkan dan konyol ini tidak berakhir disini. Dalam wawancara, mahasiswa sains tidak mampu untuk menyebutkan satupun teori Newton, dan bahkan seorang siswa menganggap Pythagoras adalah seorang novelis. Siswa pun tidak mengetahui apa itu perangkat keras (hardware) ataupun perangkat lunak (software), atau apapun yang berhubungan dengan sejarah umum negara. Beberapa menyatakan bahwa Gunung Everest terletak di Inggris dan salah satu siswa menyatakan bahwa ibukota Nepal adalah … Neptune. Video penting ini mengungkapkan kepada kita keadaan sebenarnya dari pendidikan Bangladesh. Apa yang lebih menakutkan adalah bahwa kondisi ini berlaku bagi sebagian besar siswa, dan pemerintah sama sekali tidak mengambil tindakan apapun untuk memperbaiki situasi. Semua orang pada akhirnya hanya bisa menjadi saksi akan terciptanya spiral kebodohan dan ketidakperdulian akan pendidikan Bangladesh.
Jika ini tidak cukup mengejutkan, sektor pendidikan (atau industri yang jelas-jelas menghasilkan banyak uang) telah tumbuh menjadi bisnis baru yang menjanjikan: gelar sarjana. Ujian masuk universitas publik merupakan momen penting dalam kehidupan setiap siswa di Bangladesh. Sering kali, ada lebih dari 50 siswa yang berjuang untuk memperebutkan satu kursi di ujian masuk universitas. Jika kita telah melihat tren pasar gelap pendidikan, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan memanfaatkan kondisi setiap siswa yang tengah putus asa. Terdapat link secara online dan biasanya kontak secara personal dimana siswa dipikat untuk melakukan kecurangan dan seringnya berupa penipuan yang dimana para siswa harus membayar sejumlah uang sebagai jaminan masuk ke universitas yang diinginkan. Seringkali bahkan soal ujian masuk tersedia jauh-jauh hari sebelum ujian berlangsung dengan harga pasaran yang sangat tinggi. Perguruan tinggi negeri ternama, institut teknik dan sekolah-sekolah kedokteran kini harus menghadapi masuknya gelombang besar berupa siswa-siswa yang tidak siap dan kurang berbakat dikarenakan adanya malpraktek ini, sementara siswa-siswa berbakat justru tertutupi dan tidak mampu bersaing secara sehat.
Sebelumnya gelar sarjana hanya dapat dicapai oleh siswa pekerja keras yang seringnya harus membayar harga kuliah yang sangat mahal dimana para siswa tersebut harus mengorbankan empat hingga lima tahun kehidupan mereka di bangku kuliah. Namun, dengan adanya bisnis baru yang tengah naik daun ini para siswa dapat membeli gelar sarjana cukup dengan membayarkan sejumlah besar uang dan mereka pun bisa menjadi lulusan universitas dalam hitungan minggu saja. Lembaga-lembaga kecil pendidikan pun menjamur di seluruh negeri, dimana mereka menjual ijazah yang sangat mirip dengan aslinya, dan memungkinkan siapapun untuk menjadi lulusan universitas tanpa pernah menginjakkan kaki di bangku kuliah. Fenomena luar biasa ini telah terjadi, dan setiap proses yang memungkinkan semua ini terjadi dalam kondisi yang relatif ‘aman’. Hasil penyelidikan di sebuah stasiun televisi mengungkapkan bahwa ditemukan para instruktur di seluruh negeri yang memiliki sertifikat lulus dari institusi pendidikan yang mereka sendiri pun tidak mengenalnya. Bahkan telah ditemukan beberapa petinggi universitas yang secara langsung terkait dengan malpraktik ini.
Di luar itu, sikap pemerintah terhadap kondisi mengenaskan ini sangat tidak dapat dipercaya. Menteri Pendidikan, Nurul Islam Nahid, menyatakan kepada media bahwa negara memiliki kebijakan terkait kecurangan dan tindakan malpraktik lainnya, dan Nurul menyatakan bahwa beberapa pelaku malpraktik telah tertangkap. Namun, ia mengklaim bahwa pihak berwenang tidak bisa bertanggung jawab atas setiap kasus kecurangan yang ada. Maka pertanyaan yang pada akhirnya muncul adalah, jika bukan pemerintah yang bertanggung jawab lalu siapa? Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa pemerintah Bangladesh hingga saat ini bersikap santai dalam menghadapi pasar gelap pendidikan dan cenderung menolak untuk mengambil tindakan yang memadai. Orang-orang yang bertanggung jawab dalam pemberian nilai ujian diberikan instruksi khusus untuk membiarkan lebih banyak siswa lulus, dan mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Mereka diminta untuk mengisikan 27-33 soal ke dalam kertas ujian siswa untuk membiarkan siswa-siswa lulus, dan jika siswa tidak menulis apa-apa, para pemberi nilai ujian tersebut harus menuliskan jawaban di kertas jawaban siswa kemudian barulah memberi nilai. Seorang pemeriksa kertas jawaban ujian yang tidak disebutkan namanya, memperlihatkan seratus kertas jawaban ujian pada sebuah studio televisi, yang menunjukkan bahwa semua kertas jawaban yang ada ditulis dengan tulisan tangan yang sama. Meskipun terdapat variasi jawaban di setiap kertas jawaban, namun tampak jelas bahwa kertas-kertas ujian tersebut ditulis oleh orang yang sama. Ruang ujian diawasi dengan pengawasan yang sangat buruk, ditambah lagi praktik mencontek menjadi hal yang lumrah terjadi. Dengan mempertimbangkan setiap fakta yang ada, dimanakah peran ‘kebijakan’ pemerintah dalam hal ini?
Dampak kerusakan dari semua ini tentunya akan dirasakan oleh Bangladesh dalam waktu dekat. Generasi Bangladesh di masa depan sebagian besar akan terdiri dari orang-orang bergelar tanpa ilmu dan kemampuan. Mahasiswa sampah dan pemalas akan menjadi insinyur dan dokter di kemudian hari, dengan sedikit atau tanpa pengetahuan teknis diikuti dengan ambisi untuk merebut kembali uang mereka yang telah diinvestasikan untuk mencapai gelar yang diinginkan. Orang-orang hanya dapat mengklaim memiliki gelar tanpa pernah menyelesaikan atau bahkan mencicipi bangku kuliah. Dengan ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa Bangladesh tengah mengarah kepada masa depan yang suram.
Keserakahan telah menghancurkan segala sesuatu yang telah diperjuangkan untuk membangun negara Bangladesh. Cara pandang dan hidup kapitalistik telah menjangkiti semua sektor pendidikan, baik itu kepada anggota dewan sekolah/universitas, ‘dealer’ soal ujian ataupun siswa yang hanya ingin mencari masa depan yang cerah dengan membayarkan sejumlah uang. Kapitalisme telah benar-benar menginfeksi hati-hati kaum muslimin, dan hasil dari semua ini adalah: keserakahan, sikap mengambil keuntungan dari orang-orang yang tengah putus asa, kehilangan moral dan tidak adanya penghormatan ataupun penghargaan akan nilai-nilai keadilan.[]
Ditulis untuk Central Media Office Hizbut Tahrir oleh
Zahrah Rahman