Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Di saat umat Islam di Indonesia merasa dalam posisi terzalimi, karena kasus penistaan terhadap agama Islam belum juga diselesaikan oleh negara; di saat penguasa di negeri ini justru tampak memusuhi Islam dan umatnya, tidak sedikit yang menyuarakan harapan di media sosial kepada Raja Salman, yang nota bene adalah pelayan dua tanah suci, Makkah dan Madinah. Itu semua tampak dari penyambutan yang begitu rupa diberikan oleh sebagian umat Islam. Pertanyaannya, benarkah Kerajaan Arab Saudi dan Rajanya adalah representasi Islam?
Sebelumnya, Imam Shamsi Ali, telah menulis bahwa Kerajaan Arab Saudi bukan representasi Islam. Alasannya, karena sistem Monarchi itu sendiri bukan sistem Islam. Begitu tulis Imam Shamsi. Selain itu, diakui atau tidak, fakta Kerajaan Saudi juga tidak menerapkan syariat Islam juga tampak di dalam kehidupan masyarakatnya, terutama di kota-kota metropolitan, seperti Riyadh, Jeddah dan lainnya.
Selain itu, mereka juga menerapkan sistem ekonomi dan politik Kapitalisme, dengan stock market [bursa saham], sistem uang kertas [fiat money], parlemen, dan lain-lain. Meski dalam beberapa aspek, masih mempertahankan hukum Islam, seperti dalam urusan hudud dan jinayat.
Kerajaan Arab Saudi [KSA], yaitu Najed, Hijaz dan sekitarnya, adalah bagian dari Jazirah Arab. Jazirah Arab sebelumnya diperintah dengan Islam hingga akhir era Khilafah ‘Utsmaniyyah. Ketika Ibn Saud diangkat menjadi amir Najed, kemudian Hijaz diintegrasikan ke dalam wilayah Saudi, wilayah ini masih tetap diperintah dengan Islam. Sampai akhirnya, ‘Abdul ‘Aziz bin Saud mengubah sistem pemerintahan dari keemiran syar’i menjadi sistem Monarchi. Sejak saat itu hingga sekarang, sistem pemerintahan di Saudi bukan merupakan sistem Islam. Karena sistem Monarchi bukan sistem Islam.
Sistem Monarchi mempunyai hukum dan istilah tertentu, maka apa yang dilakukan secara simbolis, seperti pengambilan bai’at oleh kelompok tertentu, tidak bisa mengajukan maupun menangguhkan sistem tersebut, dan tidak bisa mengubahnya menjadi sistem Islam, karena secara substansial tetap bukan merupakan sistem Islam. Selain itu, faktanya bai’at yang diambil untuk mengangkat raja, baik untuk mengangkat Raja Saud, atau Raja Faishal, tetap tidak bisa menjadikan seseorang sebagai penguasa yang memerintah dengan sistem Monarchi, tetapi sistem Monarchi, putra mahkota dan hukum-hukum yang digunakan itu sendiri yang sesungguhnya menjadinya sebagai penguasa yang memerintah dengan sistem Monarchi. Baik bai’at itu sudah maupun belum dilakukan, bagi mereka bai’at itu hanya seremonial dan simbolik, untuk menipu khalayak dan menyesatkan logika publik, tetapi sama sekali tidak mempunyai pengaruh dalam pengangkatan penguasa.
Ini dari aspek sistem pemerintahan, dan bai’at yang bersifat simbolik. Adapun dari aspek hubungan luar negeri, hubungan luar negeri KSA tidak dibangun berdasarkan akidah Islam, bukan pula untuk mengemban dakwah Islam. Karena itu, secara qath’i, politik luar negeri KSA bukan sistem politik luar negeri Islam. Jika kita tambahkan, bahwa politik luar negerinya mengikuti AS atau Inggris, selain itu KSA mengikatkan dirinya dengan hukum internasional, maka politik luar negerinya jelas tidak berdasarkan sistem Islam.
Sistem ekonomi di KSA juga merupakan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi Kapitalisme adalah sistem kufur, sehingga tak ada yang tersisa kecuali sistem sanksi dan muamalah. Ini dimulai dari Raja Faishal yang memasukkan hukum-hukum Barat ke negerinya secara bertahap untuk menggantikan hukum Islam. Apapun kondisinya, andai saja yang tersisa hanya muamalah dan sanksi hukum saja, dimana peradilan di sana menjalankan hukum syara’, maka kondisi ini tidak cukup menjadikannya menjadi Negara Islam.
Karena itu, KSA bukan negara Islam, tetapi sama dengan negara-negara Arab yang lain, seperti Yordania, Kuwait, Maroko dan negara-negara non Islam lainnya. KSA jelas tidak ada bedanya dengan Yordania, kecuali peradilan di Saudi, yang menerapkan hukum syara’, baik dalam muamalah maupun sanksi hukum. Peradilan Yordania menerapkan hukum Islam dalam urusan pribadi, tetapi tidak dalam konteks yang lain. Sedangkan yang lain, baik Saudi maupun Yordania, sama saja.
Dengan demikian, saat ini, terutama setelah Khilafah ‘Utsmaniyyah runtuh 3 Maret 1924, atau sejak 93 tahun yang lalu, jelas tidak ada yang menjadi representasi Islam. Saat ini tidak ada satu pun negara di dunia Islam yang bisa disebut sebagai Negara Islam dalam pengertian yang sesungguhnya. Kalau pun ada yang disebut Negara Islam sebutan itu hanyalah klaim, tetapi faktanya tidak.