“Kita harus mengakhiri apapun yang menyebabkan terjadinya persatuan Islam di antara kaum kaum muslimin. Situasi saat ini adalah bahwa Turki telah mati dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, yakni Khilafah dan Islam.”
Pernyataan yang berani, atau lebih merupakan peringatan yang mencolok, diduga disampaikan oleh mantan Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Lord Curzon, di House of Commons setelah Perjanjian Lausanne ditanda tangani tahun 1923, ketika Imperium Turki Utsmani dikalahkan dalam Perang Dunia Pertama. Alasan mengapa pernyataan yang diduga disampaikan oleh Lord Curzon itu harus diambil dengan begitu banyak beban berat karena kaitannya dengan hadits berikut dari Nabi Muhammad SAW:
“Sungguh ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai maka manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat. [1]
Hari ini menandai 93 tahun sejak penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah, bisa dikatakan ini adalah masa gelap dalam sejarah Islam setelah kematian Rasulullah SAW. Umat Islam terus menderita akibat dari bencana ini, atas alasan yang disebutkan oleh Lord Curzon – umat Islam saat ini tidak memiliki “kekuatan moral” kolektif, yang diwujudkan dalam bentuk pemerintahan Islam yang inklusif.
Timur Tengah dan Afrika Utara yang kemudian dipecah-pecah oleh Inggris dan Perancis, sebagaimana dirancang oleh Mark Sykes dan Francois Georges Picot atas masa depan bekas wilayah Imperium Uthmaniyah hanya dengan pena dan penggaris. Apa yang terjadi setelahnya adalah seperti mata rantai tidak terputus dari kediktatoran sekuler dan para sheikh yang kaya minyak. Banyak dari rezim itu yang berkuasa lewat kudeta militer, dengan berbaju seolah-olah sebagai sang pembebas, sementara kerajaan Teluk tanpa malu-malu menikmati buah dari pengkhianatan nenek moyang mereka selama Perang Dunia Pertama.
Khilafah
Pelajaran sejarah yang dikesampingkan, yakni konsep Khilafah, dan keinginan kaum Muslim pada umumnya untuk mewujudkannya, terus difitnah oleh para akademisi, wartawan, pembuat kebijakan dan pemerintah Barat. Kaum liberal sekuler dan modernis, baik Muslim dan non-Muslim, dari seluruh spektrum politik, yang tampaknya telah mengadopsi sikap Lord Curzon, tetapi dengan retorika pembahasan retorika yang diulang-ulang menyatakan bahwa Khilafah tidak sesuai dengan dunia modern, sehingga menimbulkan sikap barbar dan kezaliman. Ironisnya, bahwa mereka semua tampaknya lupa bahwa selama lebih dari seribu tahun peradaban Islam berada di bawah kekhalifahan, mulai dari Bani Umayyah hingga Imperium Uthmaniyah, telah memimpin manusia dalam ilmu pengetahuan, filsafat, seni dan teknologi. Selanjutnya, para kritikus yang didorong oleh agenda bersama para ideolog dengan sekuat tenaga juga mengabaikan fakta bahwa Khilafah tidak hanya memiliki ornamen negara modern, tetapi juga menjadi mercusuar dan contoh modernitas untuk periode yang relevan dalam sejarah. Sekali lagi, saya tidak bisa bersikap keadilan dalam menjelaskan kontribusi Islam kepada dunia seperti yang kita kenal sekarang ini, ketika perpustakaan-perpustakaan dipenuhi dengan buku-buku dan kesaksian sejarah kaum non-Muslim yang membuktikan fakta yang tidak terbantahkan ini.
Namun, harus dinyatakan dari awal bahwa Khilafah tidak dianggap sebagai negara utopis, baik secara konseptual maupun dalam praktek. Hal ini tidak pernah terjadi ketika Nabi Muhammad SAW memerintah Madinah, atau ketika Khulafaur Rasyidin memperluas wilayah Khilafah, atau orang-orang yang datang setelah mereka. Bahkan, ketika Khilafah memasuki pemerintahan yang turun-temurun dan kerajaan, terjadi kasus-kasus korupsi di dalam negeri, penyimpangan teologis dan pertikaian. Namun, pemerintahan ini adalah pemerintahan yang mengikuti akhir masa kenabian, dan manifestasi praktis dari hukum Allah SWT di muka bumi. Hal ini terbukti dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:
“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama. Yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diminta agar mereka mengurusnya.” [2]
Kebajikan dan kondisi sosial yang dicapai oleh kekhalifahan, telah disimpulkan dari para ulama klasik setelah meneliti syariah Islam, yakni membangun keadilan sosial, untuk melindungi kehormatan dan harta milik warganya, dan melanjutkan cara hidup Islam. Sekarang ini, mungkin merupakan hal yang tidak mengenakan bagi kaum kaum intoleran untuk bersikap ‘toleran’ yang dengan keras kepala memahami sistem pemerintahan Islam melalui kaca mata paradigma sekuler, dengan asumsi bahwa demokrasi liberal merupakan patokan standar terhadap setiap sistem pemerintahan sehingga harus dibandingkan dengannya. Tapi ada juga konteks politik dari penolakan ideologis terhadap kekhalifahan, dan itu adalah pemisahan secara sistematis Eropa atas ‘Gereja dan Negara’. Periode sekularisasi ini, yang dilambangkan di era yang dikenal sebagai ‘Reformasi Kristen’ tidak pernah terjadi di dunia Muslim selama keberadaan Khilafah, dan hal ini tidak akan pernah cocok.
Islam dan Barat
Mereka yang mencoba untuk menyamakan Islam dan Kristen Barat di bawah kesewenang-wenangan “agama” selalu menempatkan beban pra-reformasi sejarah Kristen kepada Islam. Fakta dari masalah ini adalah bahwa sejarah Islam tidak terganggu oleh lembaga-lembaga semacam gereja yang represif yang menahan kemajuan umat manusia, dan pemerintahan Islam klasik sudah menjamin hak-hak yang dicari pada masa Pencerahan, dan masih banyak lagi.
Gagasan atas Khalifah adalah seorang yang bekerja yang mewakili dan bertanggung jawab terhadap rakyat, dan sejarah Islam menunjukkan tingkat pertanggung jawaban yang kita masih belum lihat dalam sistem politik Barat. Meskipun demikian, ada upaya selama abad ke-19 untuk meminimalkan kekuasaan legislatif Khalifah, dan untuk memodernisasi aspek-aspek tertentu Kekhalifahan Uthmaniyah yang terus menurun, untuk membuatnya lebih ‘enak’ dengan Eropa yang berkembang pada zamannya; namun gagasan pemisahan sistematis dari “agama dan negara” tidak pernah terpikirkan.
Selain itu, pandangan dunia Islam yang diwakili oleh kekhalifahan selalu bentrok dengan imperium-imperium lain yang dihadapinya; mulai dari Persia, Bizantium, Mongol, Tentara Salib, hingga kepada kekuatan kolonial Eropa. Oleh karena itu, setelah penghancuran Khilafah pada tanggal 3 Maret tahun 1924, Kristen Eropa telah berhasil memberantas kekuatan adidaya yang sudah dalam keadaan berkonflik dengannya selama hampir satu milenium. Tentu saja, Eropa telah menderita berbagai perang internal yang berdarah-darah, tapi peperangan melawan para ‘Mohammedan’ adalah peperangan yang unik karena adanya perbedaan budaya dan agama.
Setelah kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1989, Francis Fukuyama telah secara arogan menyatakan bahwa umat manusia telah mencapai “akhir sejarah” – dengan menyiratkan bahwa demokrasi liberal adalah satu-satunya bentuk alami dari pemerintahan yang dapat bertahan dari gelombang pengujian perubahan global. [3] Fukuyama jelas telah naif dalam menilai dunia, karena anggapannya didasarkan pada ketiadaan Khilafah, pemikiran Islam juga tidak ada – dia sungguh keliru.
Serangan 11/9, dan ‘perang melawan teror’ sesudahnya yang dipimpin AS adalah sebuah kesaksian terhadap hal ini. Setelah invasi ke Afghanistan dan Irak, dan munculnya kelompok-kelompok bersenjata di Yaman, Somalia dan Pakistan, adalah jelas menjadi tidak terhindarkan bahwa keinginan atas kembalinya Khilafah sangat besar.
Arab Spring, atau apa yang tersisa darinya, adalah contoh lain dari sentimen Islam dari massa Muslim secara umum yang ingin agar Islam memainkan peran yang lebih besar dalam masyarakat. Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan lebih jelas di Suriah, adalah contoh-contoh utama dari hal ini. Revolusi-revolusi yang menyebar seperti api pada tahun 2011 awalnya dimulai sebagai sebuah gerakan akar rumput, untuk mencapai penentuan nasib sendiri di wilayah itu, yang telah diperintah oleh para diktator yang didukung Barat selama beberapa dekade.
Sayangnya, dengan campur tangan kekuatan Barat dan kekuatan kaki tangan regional mereka, upaya yang tulus dari orang-orang yang kehilangan nyawa mereka selama terjadinya revolusi, telah dikesampingkan dan dilupakan oleh para oportunis politik dalam mencari kekuasaan. Tentu, perubahan palsu dibuat bagi negara-negara ‘baru’ pasca Arab Spring, tapi pada hampir setiap kasus, rezim-rezim yang menindas dan aparatur negara tetap berkuasa.
ISIS
Munculnya kelompok yang dikenal sebagai ISIS, yang mengaku telah mendirikan Khilafah pada tanggal 29 Juni 2014, adalah mimpi yang menjadi kenyataan bagi Barat. Mantan kepala angkatan bersenjata Inggris, Jenderal Richard Dannatt, membenarkan pendudukan Afghanistan, dan keterlibatan Inggris dalam perang melawan teror dengan menyatakan bahwa hal itu adalah untuk mencegah:
“… Kekhalifahan Islam yang bersejarah, yang mengusai Asia selatan, Timur Tengah, Afrika Utara dan melalui selatan dan tenggara Eropa.” [4]
Secara mengejutkan, Barat akhirnya telah menemukan kekhalifahan abad pertengahan dalam bentuk ISIS, yang pada kenyataannya adalah ‘suatu catatan dokter atas orang yang sakit’ untuk melanjutkan kebijakan luar negeri mereka yang merusak di Timur Tengah. Tindakan kriminalitas ISIS telah digunakan sebagai tongkat pemukul oleh para politisi Barat untuk menghantam kaum Muslim, dan menjadi alat untuk membusukkan konsep kekhalifahan yang mulia. Media terus menyebut ISIS sebagai sebuah “Negara Islam”, padahal mengetahui bahwa mayoritas umat Islam telah secara tegas menolak klaim ISIS atas kekhalifahan.
Tindakan menjijikkan dari ISIS tidak dapat digunakan untuk menekan kaum Muslim untuk menolak konsep Khilafah karena dua alasan yang sangat sederhana.
Pertama, terdapat konsensus yang bulat di antara para ulama klasik dan kontemporer dalam Islam Sunni bahwa Khilafah adalah bentuk ideal pemerintahan bagi umat Islam, dan bekerja untuk mewujudkannya kembali adalah sebuah kewajiban. Namun, umat Islam pasti akan berbeda dalam metodologi mengenai bagaimana Khilafah harus dikembalikan karena adanya perbedaan teologis dan politik, tetapi bukti-bukti dari kitab suci dan karya-karya ilmiah memberi penekanan yang terlalu kuat atas pentingnya Khilafah.
Kedua, fakta bahwa pemakaman Rasulullah SAW ditunda hingga seorang Khalifah diangkat adalah indikasi yang lebih signifikan atas betapa seriusnya para sahabat ra (raḍiallahu ‘anhu) dalam hal kekhalifahan. Alasan tersebut, ditambah dengan situasi yang mengerikan yang dihadapi dunia Muslim pada saat ini, merupakan akibat dari pencarian pembebasan melalui pengadopsian ideologi sekuler yang telah gagal, yang merupakan satu-satunya pilihan tersisa yang nyata bagi umat untuk untuk kembali kepada sistem yang atas semua kesalahan sebelumnya, bisa melindungi Islam dan menjaga para warganya dari bahaya.
Mereka yang bersikeras bahwa Khilafah tidak sesuai dengan dunia modern, dan menganggap kembali kepadanya adalah ide romantis, perlu melihatnya dari perspektif Islam, bahwa Nabi Muhammad SAW menyampaikan nubuwah akan kembalinya Khilafah, [ 5] dan Allah (Swt) telah berjanji bahwa kaum Muslim akan berkuasa di muka Bumi. [6]
(riza)
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Islam21c.
Referensi
[1] Musnad Aḥmed, ḥadīth no.31 [2] Saḥīḥ Muslim [3] https://ps321.community.uaf.edu/files/2012/10/Fukuyama-End-of-history-article.pdf [4] http://www.theguardian.com/uk/2009/dec/20/faces-2009-richard-dannatt-tory [5] Musnad Aḥmed, ḥadīth no 273 [6] Al-Qur’ān, 24:55