Oleh: Ainun Dawaun Nufus (pengamat sosial politik)
Telah diberitakan bahwa nenek Rokayah makan rumput sebanyak tiga kali karena tidak ada lagi yang bisa dimakan dan malu meminta makanan kepada tetangganya. Sebelumnya Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Tapal Kuda Syaiful Kusmandani mengatakan berita tentang nenek Rokayah di Desa Gambirono, Kecamatan Bangsalsari, Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang ditulis oleh anggotanya merupakan fakta dan bukan berita bohong atau hoax.
Untuk kasus kemiskinan di negeri ini, kami bersedih, turut merasakan dampaknya. Meningkatnya harga pangan telah berdampak pada meningkatnya jumlah orang yang kelaparan. Mereka yang miskin semakin sulit untuk mendapatkan pangan dengan harga terjangkau. Namun demikian, meskipun harga pangan mengalami kenaikan pesat bukan berarti stok pangan Indonesia mengalami kelangkaan. lalu mengapa di berbagai belahan daerah termasuk yang menimpa Nenek Rokayah banyak yang mengalami kekurangan pangan?
Sebagai umat Rasulullah (saw) yang Allah (swt) gambarkan sebagai umat yang terbaik di bumi ini, kita pasti harus bertanya kepada diri sendiri, bagaimana kita bisa mencapai titik yang demikian rendah dalam keberadaan kita dimana kaum Muslim dibiarkan kelaparan dan penguasa berkhidmat kepada kaum kapitalis?
Dalam sistem kapitalisme, negara tidak bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya pangan, sandang dan papan. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri. Pangan tetap dipandang sebagai komoditas yang memiliki harga yang harus dibayar oleh siapapun yang ingin mengkonsumsinya.
Memang negara kadangkala melakukan intervensi dengan memberikan subsidi termasuk pangan. Namun demikian berbagai subsidi tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Di Indonesia misalnya ada program penjualan beras untuk orang miskin (raskin) dengan harga di bawah harga pasar. Tapi hal itu tidak menyelesaikan masalah. Kenyataannya subsidi tersebut di samping temporal, jumlahnya sangat terbatas–apalagi seringkali salah sasaran–sehingga tidak mampu menjangkau seluruh penduduk yang terkategori miskin. Selain itu, bagi sebagian penduduk miskin, harga tersebut masih cukup mahal sehingga mereka tidak dapat menikmatinya secara persisten. Dengan demikian kebijakan tersebut memang tidak didesain untuk menjamin agar seluruh rakyat dapat menikmati pangan secara berkelanjutan. Tak heran jika dalam realitasnya banyak penduduk yang kekurangan pangan sehingga rentan penyakit.
Ini adalah fenomena gunung es, betapa kemiskinan telah mendera negeri ini. Ini menandakan kegagalan sistem yang sedang eksis di negeri ini. Sekaligus menunjukkan ketidakmampuan sistem ini untuk menyelesaikan satupun dari masalah-masalah yang menimpa Indonesia. Yaitu, masalah-masalah yang akan menjadikan kondisi paling buruk jika tidak dipahami secara benar. Hal itu menegaskan pentingnya aktivitas serius untuk mengubahnya dan membebaskan negeri dan penduduknya dari berbagai keburukannya. Maka terlihatlah, bahwa masalah ekonomi yang terlihat sekarang adalah ciri khas Kapitalisme. Di antaranya adalah utang meningkat, konsentrasi kekayaan dan timbulnya kemiskinan. Walhasil, Kapitalisme memiliki masalah sistemik dengan kemiskinan. Kapitalisme, diutak-atik bagaimanapun, tidak akan dapat memecahkan masalah sistemiknya.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah secara perlahan justru ‘mematikan’ sektor pertanian. Perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain atas asas perdagangan bebas seperti MEA. dan telah membuat harga pangan impor menjadi lebih murah. Bukan saja karena bea masuk produk-produk impor tersebut dihilangkan namun juga biaya produksi komoditas tersebut lebih rendah karena kuatnya kebijakan negara eksportir dalam mendukung sektor pertanian mereka. Sementara di Indonesia subsidi untuk sektor pertanian terus dikurangi. Murahnya harga produk impor dan mahalnya input pertanian membuat instentif untuk bertani semakin rendah. Tak heran konvesi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri meningkat tajam.
Kenaikan harga pangan saat ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang telah menjadikan komoditas pangan sebagai barang spekulasi sehingga harga tidak lagi mencerminkan permintaan dan penawaran di sektor riil. Di bursa tersebut barang dapat diperjualbelikan secara spekulatif. Komoditas diperjualbelikan tanpa adanya penyerahan barang oleh pembeli atau harga oleh penjual sesaat setelah proses transaksi. Praktek-praktek demikian jelas sangat bertentangan dengan Islam dan oleh karenanya keberadaan bursa sebagaimana halnya sistem kapitalisme itu sendiri, merupakan sebuah kemungkaran.
Sistem Republik telah berkuasa. Akhirnya segala kerusakan dan keburukan ini pun masuk ke tengah-tengah kita. Karena itu, harus dipisahkan antara sistem Republik dengan sistem Khilafah Islamiyah supaya Anda bisa melihat dengan mata kepala sendiri kekontrasan dan perbedaan besar antara sistem pemerintahan Islam dengan sistem sekuler.
Sistem Republik tegak di atas dasar sekulerisme, pemerintahan rakyat, dan kedaulatan di dalamnya menjadi milik rakyat. Jadi rakyat lah yang menentukan dengan hukum apa mereka diperintah. Rakyat memiliki hak pemerintahan dan legislasi. Jadi rakyat memiliki hak mendatangkan hukum dan undang-undang apa saja yang diinginkan. Rakyat berhak mendatangkan penguasa siapa pun sekaligus berhak mencopotnya. Rakyat berhak membuat konstitusi dan undang-undang meski konstitusi dan undang-undang itu kufur. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi dan undang-undang itu.
Ini dari sisi penyimpangan sistem tersebut dari syariah Allah SWT. Sedangkan dari sisi bahayanya, sistem tersebut menegakkan kapitalisme di negeri ini yang memudahkan imperialis mendominasi dan mencengkeramnya, serta memicu kegoncangan di dalamnya. Dan terakhir kami katakan bahwa semua solusi yang kami tawarkan adalah solusi syariah Allah SWT. Wahai Umat, Kembalilah ke fitrah, kembali kepada penerapan syariah. []