Distas Guru Inspiratif MHTI Kaltim: Idealisme Guru, antara Harapan dan Realita
HTI Press, Samarinda. Lajnah Khusus Sekolah (LKS) Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) DPD I Kalimantan Timur (Kaltim) menggelar acara Diskusi Terbatas (Distas) Guru Inspiratif mengangkat tema “Idealisme Guru, antara Harapan dan Realita” di Gedung Dewan Pendidikan Provinsi Kaltim, Ahad (05/03/2017).
Sri Hartini, S.Pd Ketua DPD I Muslimah HTI Kaltim menyampaikan bagaimana pentingnya ilmu bagi setiap individu muslim. Sri mengutip salah satu ayat dalam al-Quran surah Al Mujadalah ayat 11 yang artinya, “Allah akan mengangkat derajat orang yang memiliki ilmu pengetahuan” dan sebuah hadis Rasulullah saw, “Barangsiapa yang menunjukkan atau mengajarkan kebaikan pahalanya sama dengan orang yang melakukan kebaikan tersebut”. Ini menunjukkan betapa penting dan berartinya orang-orang yang berilmu dan salah satu di antaranya adalah para guru.
Di masa kejayaan Islam, papar Sri, profil guru tidak pernah terlepas dari keulamaannya. Para guru yang ahli di dalam banyak keilmuan dunia juga ahli dalam keagamaan seperti ahli hadis, ahli tafsir dan lain sebagainya. Mereka memiliki banyak kemampuan diberbagai bidang dalam waktu bersamaan. Dan hingga saat ini ilmu mereka masih tetap mengalir. Beberapa di antara ilmuan muslim yang terkenal seperti Syifa Binti Abdullah seorang guru sekaligus ulama perempuan yang cerdas. Abbas ibn Firnas yang dikenal sebagai manusia penerbang pertama yang juga seorang ahli kimia, humanis, penemu, musisi, ahli ilmu alam, penulis puisi, dan penggiat teknologi.
“Mereka adalah Ilmuan-ilmuan hebat yang memiliki kemampuan polymath. Mereka semua lahir dalam sistem pendidikan Islam yang tidak terjadi dikotomi antara hukum agama dengan ilmu pengetahuan,” jelasnya.
Sri melihat, sangat berbeda dengan pendidikan di masa sekarang yang terjadi dikotomi antara agama dengan kehidupan atau sekulerisasi. Sehingga hasilnya bisa dilihat hari ini, boleh jadi ada seorang ilmuan yang memiliki keahlian dalam satu bidang ilmu pengetahuan namun secara moral dan akhlak justru sangat buruk. Seorang professor bisa jadi juga salah satu pelaku maksiat LGBT dan fakta ini ada ditemui di negeri-negeri pengusung sistem pendidikan sekuler liberal.
Selain itu, lanjutnya, karena sistem pendidikan di Indonesia lebih berkiblat pada Barat yang menerapkan paham liberalisme atau paham kebebasan menjadikan beban berat para guru untuk mewujudkan idealisme jadi realitas. Produk pendidikan Barat faktanya menghasilkan ketidakberadaban budaya dan akhlak masyarakat. Anak-anak bebas mengakses konten porno di beragam media, angka aborsi yang terus meningkat, pengguna narkoba yang semakin meningkat bahkan mulai dari usia pelajar.
Ditambah lagi undang-undang yang diterapkan pemerintah yang mengikut cara Barat dibuat dari hasil olah fikir dan akal manusia yang kenyataannya tidak dapat memberantas hal-hal buruk tersebut. “Karena itu pendidikan Barat tidak dapat dijadikan kiblat,” tegasnya.
Sri menilai bahwa pendidikan dalam Islam adalah tanggung jawab negara. Sistem pendidikan Islam akan mencetak guru yang sholeh dan sejahtera, dikarenakan negara sangat memuliakan peran seorang guru. Acara diakhiri dengan pembacaan “Surat terbuka untuk penguasa”.[]