Bagaimana Menjadi Seorang Guru dalam Islam ?!
Akhlak Islam telah hancur akibat dari serangan pemikiran kufur ke negeri-negeri muslim. Kerusakan moral menyebar luas atas nama kebebasan, demokrasi dan sebagainya yang tampak manis di luar namun busuk didalam. Tujuannya untuk merusak pemuda, membuang energi mereka dan menggiringnya pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Karena itulah ajakan untuk melakukan Amar ma’ruf dan Nahi Munkar menjadi kewajiban bagi setiap individu muslim, sesuai dengan pekerjaan, peran dan potensinya masing-masing. Semua berkontribusi untuk kebangkitan umat, mengembalikannya pada posisi yang tinggi, kembali memimpin dunia sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya.
Peran yang paling penting adalah sebagai guru, pewaris dakwah para Nabi, pembina dan pencetak generasi masa depan yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan kita, kehidupan anak-anak kita, sikap dan perilaku anak-anak kita, bahkan kecenderungan dan aspirasi mereka. Guru, mengemban amanah agung yang jika dilakukan semata untuk mendapat ridlo Allah SWT, ia akan menjadi cahaya. Namun sebaliknya, ia akan menjadi api (di neraka). Maka tidak tugas paling mulia dan peran paling agung selain itu, dan bukankah Nabi kita Muhammad SAW adalah seorang guru ? Allah SWT berfirman:
﴿كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ﴾ [البقرة: 151]
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. [Al-Baqarah: 151]
Imam Al-Ghazali memuliakan profesi guru, beliau mengatakan “Siapa saja yang berilmu dan mengajarkannya, maka ia disebut ‘orang besar’ di segenap penjuru langit”. Peran inilah yang sekarang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dengan beragam cara, dan dengan keji mereka mengambil alih peran pendidikan dan memberi pengaruh buruk dalam proses pembentukan kepribadian dan kecenderungan generasi di atas Aqidah Islam. Mereka kosongkan benak pemuda muslim dan laksana air tawar yang bisa diwarnai apa saja, dengan pengajaran musuh, pemuda muslim membenci sejarah umatnya dan berburuk sangka bahwa Islam lah yang menjadi penyebab kemunduran, kelemahan dan kehinaan umat.
Wahai para Guru, apakah Anda pernah bertanya pada diri sendiri, mengapa Anda menjadi seorang Guru? Mengapa Anda memilih peran ini sebagai jalan hidup? Mengakui hal ini dengan jujur dan terbuka, akan menentukan jati diri Anda, hubungan dan pendekatan yang Anda lakukan. Dan ketika kita melihat ke sekitar, maka akan kita temukan spektrum guru sebagai berikut:
Pertama, ada guru yang melihat pendidikan sebagai satu-satunya pekerjaan yang tersedia baginya, bukan menjadi keinginan atau kepentingannya, melainkan hanya pekerjaan dimana ia akan mendapatkan gaji dan rezeki. Seandainya ia bisa mencari pekerjaan lain dan memperoleh pemasukan yang lebih besar tanpa harus menanggung sulitnya pendidikan. Kedua, guru yang mengeluh dan meratapi dirinya karena beban mengajar yang rumit dan kurangnya gaji, dibandingkan dengan rekan-rekan yang telah memilih pekerjaan selain pendidikan. Ketiga, guru yang perhatian utamanya pada penyelesaian bahan ajar yang diwajibkan pada murid dan tidak menghubungkannya dengan realitas, Aqidah, iman, akhlak dan menanamkannya pada perilaku dan pemahaman muridnya. Dan ia tidak memperhatikan apa yang terjadi di luar kelas meskipun itu kerusakan, bahkan ia tidak berfikir untuk menjelaskan kesalahannya kepada murid. Ia benar-benar terpisah dari realitas murid-muridnya, masyarakat dan juga bangsa. Dan yang keempat, kelima, keenam yang memenuhi dunia pendidikan dengan citra negatif dan pengaruh buruk di berbagai institusi masyarakat. Untuk itu harus curahan upaya dan inovasi, motivasi dan keikhlasan untuk mengubah orang-orang seperti itu, karena demikianlah kondisi dan cara pandang mereka hari ini.
Lantas, sifat-sifat apa yang mesti dimiliki seorang guru agar sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut?
«إنَّ اللهَ ومَلائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَواتِ والأرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ في حِجْرِهَا وَحَتَّى الحُوتَ لَيُصَلُّونَ على مُعَلِمِي النَّاسِ الخَيْرَ» (رواه الترمذي)
Artinya: “Sesungguhnya Allah, malaikat serta penghuni langit dan bumi sampai-sampai semut yang berada di sarangnya dan juga ikan senantiasa memintakan rahmat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR. at-Turmudzi).
Dan sifat apa yang mesti dimiliki penerus risalah para Nabi seperti yang disabdakan Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a:
«لا حَسَدَ إلاَّ في اثنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاه اللهُ مَالاً فسَلَّطَهُ عَلى هَلَكتِهِ في الحَقَّ ورَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقضِي بِها ويُعَلِمُّها».
Artinya: Tidak ada hasad (iri) yang dibenarkan kecuali terhadap dua orang, yaitu terhadap orang yang Allah berikan harta, ia menghabiskannya dalam kebaikan dan terhadap orang yang Allah berikan ilmu, ia memutuskan dengan ilmu itu dan mengajarkannya kepada orang lain. (Shahih Muslim No.1352)
Sifat yang paling utama adalah Takwa dan Ikhlas karena Allah. Seorang guru dengan ilmu dan penguasaan pendidikannya wajib hanya mencari ridlo Allah, bukan karena gaji, pujian dari atasannya, demi ketenaran, promosi jabatan ataupun yang lainnya. Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
«مَنْ تَعَلَّمَ عِلْماً مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَة،ِ يَعْنِي رِيحَهَا»
Artinya: “Siapa pun yang mempelajari suatu ilmu yang difokuskan mengharap pada ridho Allah SWT, tetapi ia mempelajari ilmu hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi semata, maka ia tidak akan mencium wangi surga di akhirat nanti”.
Seorang guru harus meniatkan pengajaran pada muridnya untuk kebaikan umat dan Islam. Imam al-Nawawi mengatakan: “Wajib bagi guru untuk mencari ridlo Allah, dan tidak ditujukan untuk capaian duniawi. Mesti hadir dalam benaknya bahwa mendidik adalah ibadah, agar menjadi dorongan untuk memperbaiki niat, dan motivasi untuk menjaga dirinya dari kekhawatiran dan segala hal yang tidak disukainya, dan khawatir hilangnya keutamaan dan kebaikan yang besar”. Hilangnya sifat takwa dan ikhlas akan memunculkan kemunafikan, kemalasan dan kelalaian. Sehingga akan menghasilkan pemuda dengan tsaqofah yang dangkal dan aqidah yang lemah, tidak peka dan faham akan masalah umat, alih-alih menjadi pelopor dalam kebangkitan umat, yang ada justru menjadi beban. Sudah difahami bahwa guru akan mendapat gaji setiap bulan baik apakah dia ikhlas atau pun tidak, karenanya keikhlasan dan ketakwaan pada Allah menjadi hantaman fatal dalam pendidikan. Karenanya wajib bagi guru untuk terampil dalam materi pengajaran yang dipelajarinya, menarik dalam cara penyampaian ilmu kepada murid-muridnya.
Termasuk sifat penting bagi guru adalah sabar, bijaksana, panjang pemikiran. Wajib bagi guru pendidik sebagai pencetak generasi untuk mengikuti metode dan aqidah Laa Ilaha illallah Muhammad ar Rasulullah agar menjadi sabar dan bijak sehingga ia dapat memikul tugas. Dan untuk kesabaran dan kebijaksanaannya itu telah disediakan pahala besar disisi Allah SWT, sebagaiman firman-Nya: “ …Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar …”. Begitupun baginda Rasulullah SAW menyuruh bersabar, bahkan dalam situasi yang sulit. Panjang pemikiran dan keluasan hati adalah perkara penting terutama saat guru menyadari bahwa pahala dari Allah tengah menanti dan bahwa murid-muridnya itu adalah amanah yang diletakkan di atas pundaknya. Hendaknya guru menyadari bahwa setiap murid mempunyai kemampuan dan kecenderungan yang berbeda-beda, punya keinginan, punya masalah dan perhatian yang berbeda. Dan guru adalah ayah dan pendidik bagi mereka yang mesti meluaskan hatinya untuk mereka, menyayangi dan mengasihi, lembut dan bersabar atas sulitnya mengajari mereka dan menjelaskan pemikiran kepada mereka dengan ragamnya kemampuan, keinginan, perilaku dan tingkat berfikir mereka, karena diantara murid ada yang mampu memahami ungkapan dan pelajaran dengan satu kali penjelasan, dan ada yang mesti berulang kali dan dengan penjealasan yang rinci. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.” (HR. Muslim).
Namun kita lihat beberapa guru – semoga Allah memberi mereka petunjuk – tidak mempunyai kesabaran dan kasih sayang sedikitpun. Hanya memarahi muridnya ketika ia tidak faham satu masalah dan mengerti apa yang diminta gurunya, dia akan terlihat marah dan meledak emosinya ketimbang bersikap sabar, bijak dan berusaha menghadapinya, kadang ia mengeluarkan kata-kata dan bersikap yang menyakiti perasaan muridnya. Karenanya seorang guru harus bisa mengendalikan diri, bersabar, merenung, dan mengelola emosinya terhadap pertanyaan-pertanyaan murid, meski terkadang terjadi kejenuhan. Kita diingatkan dengan kisah Mu’awiyah bin al-Hakam, r.a. saat ia mengikuti sholat jama’ah dan ia belum tahu bahwa berbicara ketika sholat itu diharamkan. Seorang sahabat bersin, kemudian ia menegurnya, sahabat lain mengingatkannya dengan isyarat, namun ia tidak faham dan melanjutkan kalimatnya. Ketika sholat usai, Rasulullah SAW memanggilnya, Mu’awiyah menghampiri dengan ketakutan, kemudian bersabda Rasulullah dengan kelembutan: ” … Saat sedang sholat, tidak boleh terjadi apapun dari ucapan manusia, selain tasbih, tahmid dan bacaan Qur’an..”. Mu’awiyah mengomentari perbuatan Rasulullah SAW dengan mengatakan: “ Demi Ayah dan Ibuku, belum pernah aku melihat pengajaran terbaik dan paling santun selain dari pengajaran Baginda Rasulullah SAW. Seperti itulah kesabaran dan kasih sayang Rasulullah, suri tauladan dan guru yang seluruh ucapan dan perbuatannya adalah pengajaran.
Demikian juga dengan sifat jujur dan komitmen yang mesti menghiasi pribadi guru, sebagaimana Allah telah menyerunya: “ Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan …”. Ketika guru berjanji pada muridnya ia wajib menepatinya atau meminta ma’af ketika tidak bisa memenuhinya agar integritasnya terjaga saat ia meminta muridnya untuk melakukan sesuatu atau meminta untuk meninggalkan sesuatu. Guru juga harus bersifat rendah hati, Ibnu ‘Abdi al Barri meriwayatkan dalam kitab “Jami’ bayaani al-‘ilmi wa fadhluhu” dari ‘Umar bin Khaththab r.a. mengatakan, “Carilah ilmu dan ajarkan pada orang-orang, dan belajarlah tentang kehormatan dan ketenangan, dan rendah hati lah kepada orang yang kalian belajar darinya dan juga kepada orang yang kalian ajari, jangan menjadi guru pemaksa dan jangan bertindak bodoh dengan ilmu kalian”. Beliau adalah guru sekaligus murid, sehingga tidak heran seorang guru akan mendapat manfaat ilmu dari apa yang dimiliki murid-muridnya. Bahkan guru akan mudah merevisi kesalahan yang terjadi pada dirinya, atau mengatakan: “ Saya tidak tahu “ atau “ Allah lebih mengatahuinya…” terhadap sesuatu yang belum ia ketahui. Hal inilah yang menjadikan ia memiliki kebesaran jiwa, rendah hati dan tidak lancang mengeluarkan fatwa tanpa dilandasi ilmu.
Kita tahu bahwa Islam agama yang adil. Allah SWT berfirman: “ Sungguh Allah memerintahkan untuk bersikap adil dan baik”. Dalam Islam tidak ada kasta, orang kaya tidak dihormati karena kekayaannya dan orang miskin tidak dihinakan dengan kefakirannya. Para murid adalah ‘rakyat’ dan tanggungjawab seorang guru sebagai pengejawantahan hadis Rasulullah SAW: “ Setiap kalian adalah pemimpin dan penanggungjawab atas siapa yang dipimpinnya”. Mereka adalah sama, tidak dibedakan dalam memperlakukan mereka karena kedudukan orangtuanya, keturunan maupun hartanya. Budaya adil dalam pergaulan tidak pernah absen dari para ulama kita terdahulu, mereka wariskan sikap saling memberi nasihat dan saling mengingatkan kesalahan. Diriwayatkan dari Mujahid bin Jabar, ulama taabi’in senior dan murid dari Abdullah ibnu Abbas r.a. mengatakan: “Seorang guru bagi anak-anak, jika ia tidak bersikap adil, kelak di hari kiamat dia akan datang sebagai penindas”. Ibnu Sahnun berkata tentang keadilan diantara anak-anak, “Berlakulah adil diantara mereka, yang mulia ataupun yang sederhana, kecuali engkau seorang pengkhianat”. Namun apa yang kita lihat saat ini, guru yang membeda-bedakan perlakuan diantara muridnya. Mereka abaikan kesalahan murid yang orangtuanya punya jabatan atau kaya raya, mereka berikan hak yang bukan menjadi miliknya dan mengabaikan hak orang lain. Padahal di dalam Islam, para khalifah menekankan agar para guru memperlakukan anak-anak mereka sama seperti murid lainnya. Berikut adalah Khalifah Harun al-Rasyid dalam wasiat yang dikirimkan kepada Al-Kisa’i pendidik puteranya, didalamnya tercantum: “…dan cegahlah ia tertawa, selain pada waktunya, buat agar ia hormat kepada sesepuh Bani Hasyim jika datang kepada mereka, dan menghargai para pemimpin jika mereka menghadiri majlis, dan mengoreksinya dengan kedekatan dan kelembutan sebanyak yang Anda bisa, jika ia mendurhakai maka harus tegas dan kasar”.
Seorang guru yang semangat dan ikhlas tidak akan menghentikan tugas dan perannya sebatas apa yang sudah diberikan di kelas. Peran yang paling penting adalah daya pengaruh terhadap muridnya dan masyarakat, berkata benar dan istiqomah seperti yang kita saksikan pada sejarah guru-guru kita, para ulama dan para imam yang mengemban ilmu dan mengajarkan aqidah, ilmu, amal, metode dan dakwah. Seperti Imam Ahmad, guru dan contoh terbaik dalam kekonsistenan terhadap ideologi dan sabar menghadapi berbagai cobaan. Beliau disiksa dan dipenjara, dipukul dan dihinakan, namun dia tidak goyah dan teguh dalam kebenaran sekalipun berat baginya. Ini adalah pelajaran bagi para guru, ‘ulama dan penyeru umat dimanapun dan kapanpun. Begitu juga dengan guru dan ulama perempuan, Ummu Darda’ Ash-Shugra yang diminta oleh kholifah Malik bin Marwan untuk mengajari istrinya. Ummu Darda’ mendengar bahwa Ia mengejek pelayannya yang lambat dalam menangani sesuatu, maka ia pun berkata kepadanya: “Aku mendengar Abu Darda’ berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” Ummu Darda’ mengatakan seperti itu kepada Kholifah tanpa rasa takut untuk mengatakan kebenaran, dan kedudukan Malik bin Marwan sebagai Kholifah tidak bisa mencegah Ummu Darda’ dari perkataan yang benar. Ummu Darda’ tidak mengatakan bahwa masalah ini tidak ada kaitannya dengan Ku” atau “Ini bukan urusan Ku” seperti yang dilakukan sejumlah guru dan ulama saat ini. Ummu Darda’ tidak bersikap seperti penonton yang diam sebagaimana para guru yang diam tatkala melihat westernisasi pada kebijakan pendidikan dan perubahan kurikulum. Bahkan jika mereka tidak sanggup untuk mengubah kebijakan dan kurikulum – sementara racun-racun telah dimasukkan dalam lembaran kertas dan sampul buku anak-anak kita – hal itu tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk menolak dan meminimalisir bahayanya dengan memberi pemikiran yang lurus yang menjadi tugas mereka sebagai pendidik Muslim, khususnya di saat kita hidup dengan sistem kapitalis dengan segala pemahamannya yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam yang menghancurkan aqidah Islam, menebar kerusakan, sekularisme, liberalisme, dan pemahaman kapitalis lainnya yang busuk. Menjadi kewajiban para guru untuk menampakkan kerusakan ini dan memerangi ide-ide dan menjelaskan kepalsuan dan bahayanya. Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud R.A.: “Ilmu tidak diukur oleh banyaknya perkataan, tetapi oleh rasa takut (kepada Allah) “. Guru wajib mengajarkan metode berfikir yang benar, tidak ridlo terhadap hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, meninggikan kebenaran, tidak lembek dan munafik. Dan hendaknya ia menanamkan dalam hati bahwa umur dan rezeki di tangan Allah, mereka tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, dan tidak mengajarkan rasa takut dan sikap pengecut.
Namun amat disayangkan, di bawah rezim korup yang mengontrol pendidikan dan guru, hari demi hari terus diangkat guru-guru yang berfikir sekuler yang menganggap budaya barat dan konsep hidupnya sebagai contoh terbaik, manfaat dan kepentingan menjadi dasar pergaulannya. Nampak bahwa mereka ikhlas dengan kebijakan pendidikan dan kurikulum dan mereka memposisikannya persis seperti yang diinginkan pembuatnya. Bahkan beberapa guru berusaha untuk mengenalkan ide-ide rusak tersebut ke dalam benak murid dengan segala cara dan sarana, seolah-olah mereka akan mengambil medali kehormatan atas dedikasinya, lupa atau pura-pura lupa akan bahayanya dan adzab dari Allah SWT. Mereka tidak hanya gagal dalam menunjukkan kerusakan, bahkan mendorong dan mengajarkan kurikulum dan ide-ide beracun itu. Mereka tidak melakukan peran sejatinya sebagai penegak kebenaran.
Satu peran yang paling penting dari seorang guru adalah membentuk kepribadian muridnya. Para murid menunggu sosok ideal dari gurunya. Karenanya wajib bagi guru untuk menjadi teladan yang baik bagi muridnya. Teladan yang baik adalah salah satu cara yang paling jitu dalam pembentukan kepribadian murid, menjadi panutan dalam kepribadian, penampilan, karakter, daya pengaruh serta moral. Ibunda Imam Malik berpesan pada puteranya agar ia belajar adab dari gurunya sebelum mengambil ilmu darinya, karena di dalam adab terdapat berbagai hal penting bagi tingkah lakunya, jiwanya, bagi hubungan dia dengan Rabbnya dan dengan manusia yang lain. Saat Imam Malik akan pergi mencari ilmu, ia teringat pesan ibunya, kemudian sang Ibu memilihkan pakaian terbaik dan memasangkan sorban untuknya, kemudian berkata: “Pergilah, cari ilmu sekarang”. Imam Malik R.A. mengatakan: “Ibuku telah memasangkan sorban dan berkata: “Pergi ke Rabi’ah, belajar adab darinya sebelum belajar ilmu”. Akan ada guru yang berbicara kepada murid-muridnya tentang efek dari merokok, misalnya, sambil memegang sebatang rokok di tangannya! Atau orang yang menuntut murid-muridnya untuk jujur, tepat waktu, memenuhi janji, tapi kemudian guru itu berbohong, terlambat datang ke kelas, melanggar janjinya, diam dan menjadi pengecut disaat dibutuhkan keberanian darinya untuk mengatakan kebenaran. Dengan hanya satu tindakan ia telah menghapus sepuluh perkataan yang diajarkannya.
Jadi, guru bukanlah gudang ilmu, tempat murid-murid menimba ilmu pengetahuan, namun ia adalah suri tauladan. Teladan adalah unsur penting dalam penilaian baik dan buruknya guru. Jika ia jujur, amanah, mulia, berani, menjaga diri, berhias dengan akhlak-akhlak yang baik, maka murid-muridnya akan tumbuh menjadi orang yang jujur, amanah, berakhlak mulia, berani dan menjaga diri. Sebaliknya, jika guru berbohong, khianat, munafik, pengecut, maka murid pun akan tumbuh dengan sifat dan akhlak tersebut. Posisi dan peran guru sangat kritis, lihatlah berapa orang yang sudah dibuat baik olehnya dan berapa yang telah dibuat rusak ?!, berapa yang diberi pengaruh positif dan berapa yang negatif ?!. Pendidikan dengan teladan lebih efektif dan kuat pengaruhnya dibanding perkatan teoritis semata. Dan bagaimana jika perbuatan berbeda dengan perkataan, dan tingkah laku menyalahi arahan? Sungguh, Al-Qur’anul Karim telah meratapi keturunan Bani Israil dalam ayat:
﴿أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ﴾ [البقرة: 44].
Artinya: “Mengapa kalian menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) sendiri, padahal kalian membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kalian berpikir?
Kami simpulkan bahwa guru memiliki peran dan posisi yang tinggi dan penting. Ia tidak boleh terpisah dari umat dan masyarakat, seperti yang kami katakan sebelumnya, guru adalah agen perubahan, cerdas dan aktif, ulama dan pejuang, penyuruh pada kebaikan dan pencegah kemunkaran serta penegak kebenaran. Sebuah cerita tentang guru dan ilmuwan wanita, agar kita dapat melihat darinya kekuatan pengaruh seorang guru terhadap penguasa, ia dihormati dan disegani, yaitu kisah tentang Nafisah binti Hasan yang punya pengaruh kelimuan dalam fiqih dua ulama besar, para imam kaum muslimin yaitu Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Satu hari di Mesir, tempat di mana dia tinggal, terjadi penangkapan seorang pria biasa oleh agen penguasa dan mereka akan menyiksanya, sementara dia sedang berjalan dengan mereka, ia melewati rumah Nafisah (r.a), sambil berteriak dan menangis untuk meminta bantuannya. Sayyidah Nafisah berdo’a untuk keselamatan pria tersebut: “Semoga Allah membutakan mata para penindas dari melihat Anda.” Ketika tiba di tempat pemimpinnya, mereka menceritakan kejadian saat melewati rumah Nafisah (r.a), ia berkata: “Apakah Saya sudah melampaui batas Yaa Rabb, Saya bertobat kepada-Mu dan mohon ampunan-Mu. Kemudian pria itu dibebaskan dan ia mengumpulkan uangnya kemudian membagikannya kepada fakir miskin.
Diceritakan ketika Ahmad Ibnu Tulun menindas orang karena kedzalimannya, orang-orang ingin menyelamatkan diri mereka. Mereka pun mengadu kepada Sayyidah Nafisah. Dia berkata: “Kapan ia pergi ?” Jawab mereka: “besok”. Kemudian ia menulis poster dan berdiri di jalan, dan berkata: “ Hai Ahmad bin Tulun”. Ketika ia melihata dan mengenalinya, segera ia turun dari kudanya, mengambil poster dan membaca tulisan yang ada disana, “Anda berkuasa atas mereka tetapi menawan mereka, Anda punya status tetapi menindas mereka, Anda berdaya atas mereka tetapi melanggar hak mereka, kekayaan datang pada Anda tetapi memutus rezeki mereka, dan Anda tahu bahwa anak panah itu tajam dan tidak meleset, terutama bagi orang-orang yang Anda rugikan, untuk mereka yang Anda buat lapar, dan mayat-mayat yang mati karena kemiskinan. Mustahil orang yang tertindas mati sementara penindas masih eksis dan melakukan apa yang dimauinya, sungguh hanya kepada Allah kami serahkan urusan orang-orang yang zalim, Dia tahu siapa yang berbuat zalim dan kuasa untuk membolak balikan sesuatu”. Al Qurmani menceritakan, sejak saat itu dan seterusnya Ibnu Tulun berubah sampai kematiannya, ia tidak lagi menindas orang-orang. Hal inilah yang mesti diketahui semua orang bahwa guru memiliki pengaruh besar, peran, dan kedudukan yang kini telah hilang dari kita karena hilangnya wibawa Islam setelah runtuhnya Daulah Islam. Dan semua itu tidak akan kembali kecuali dengan kembalinya Islam yang kuat dan disegani seperti dulu, dan hal ini mudah bagi Allah untuk mewujudkannya.
Menutup tulisan ini, berikut pesan Sayyidina Ali R.A. untuk Kumail ibnu Ziyad An-Nakha’i. Kumail bin Ziyad berkata: Ali bin Abi Thalib menarik tanganku dan mengajakku kesisi sebuah jaban (tanah datar diketinggian yang subur). Setelah kami tiba di padang sahara ia duduk dan menarik nafas, lantas berkata: “Wahai Kumail bin Ziyad !, Hati ibarat kantong, maka yang paling baik adalah yang paling bisa menjaga ingatan. Ingat-ingatlah apa yang Saya katakan kepadamu, manusia itu ada 3 macam: Pertama adalah ulama Robbani. Kedua adalah orang yang berjalan di atas jalan keselamatan dan Ketiga adalah manusia liar yang tidak mengenal aturan, yang mengikuti setiap penyeru, terhempas kemana arah angin bertiup, tidak diterangi oleh cahaya ilmu serta tidak bersandar pada tiang yang kokoh. Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjagamu, sedangkan harta engkaulah yang menjaganya. Ilmu itu berkembang jika diamalkan sedangkan harta menjadi berkurang jika dibelanjakan. Ilmu itu penguasa sedangkan harta adalah yang dikuasai. Para penumpuk harta telah mati semasa mereka hidup, sedangkan para ulama tetap hidup sepanjang zaman. Diri mereka telah wafat akan tetapi karya baik mereka senantiasa terpatri dalam hati.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh
Ummu Shuhaib