بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan:
Hukum Akad ad-Diwani dan an-Nisfaki Yang Masyhur di Afganistan
Kepada Abdul Jamil Qami’
Soal:
As-Salamu ‘alaikum …
Syaikhuna al-Jalil, di kami di Afganistan ada muamalah yang tidak kami ketahui keshahihannya dan itu sangat marak. Redaksinya: orang fakir mengambil anak sapi umur satu tahun atau sepuluh bulan, ia rawat satu atau dua tahun. Jika anak sapi itu betina lalu bunting dan melahirkan maka orang fakir itu mengambil anak sapi itu dan air susu induk sapi itu dan dia serahkan sapi betina induk ke pemiliknya. Atau ia jual sebelum bereproduksi (beranak) dan dibagi separo-separo. Dan jika anak sapi itu jantan, maka ia jual dengan pembagian separo-separo atau ia tahan (ia rawat) dan berbagi dua manfaatnya. Potret pertama disebut Diwânî dan potret kedua disebut Nisfaki. Apakah akad ini fasid atau shahih?
Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
Jawab:
Wa ’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Sesungguhnya dari syarat-syarat ijarah dalam Islam bahwa ujrah itu, jika disebutkan maka harus jelas dan tidak majhul. Di dalam kitab an-Nizhâm al-Iqtishâdî bab Ujratu al-‘Amal halaman 91 disebutkan: “… dan disyaratkan harta ijarah harus jelas dengan disaksikan dan dengan karakteristik, kejelasan yang bisa menghilangkan ketidakjelasan (kemajhulan). Sebab Nabi saw bersabda:
«إِذَا اِسْتَأْجَرَ أَحَدُكُمْ أَجِيْراً فَلْيُعْلِمْهُ أُجْرَهُ»
“Jika salah seorang dari kalian mempekerjakan seorang ajir maka hendaklah ia beritahukan ujrahnya”.
Kompensasi ijarah itu boleh kontan dan boleh tidak kontan, boleh berupa harta dan boleh berupa manfaat. Semua apa yang boleh menjadi harga maka boleh menjadi kompensasi, dengan syarat harus jelas. Adapun seandainya tidak jelas (majhûl) maka tidak sah. Seandainya seorang pemanen dipekerjakan dengan kompensasi sebagian yang tidak jelas dari hasil tanaman yang dipanen maka tidak sah karena adanya jahâlah (ketidakjelasan). Berbeda seandainya ia mempekerjakannya dengan satu sha’, atau satu mud maka sah. Boleh seorang ajir dipekerjakan dengan kompensasi makanan atau pakaian untuknya, atau untuknya ditetapkan upah dan makanannya serta pakaiannya. Sebab, hal itu boleh dalam wanita yang menyusui. Allah SWT berfirman:
﴿وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ﴾
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf” (TQS al-Baqarah [2]: 233).
Jadi ayat ini menetapkan untuk para wanita yang menyusui itu makanan dan pakaiannya atas aktivitas menyusui. Jika boleh pada wanita yang menyusui maka boleh pada yang lain, sebab semua itu adalah ijarah. Jadi itu adalah bagian dari masalah ijarah…”
Walhasil, ujrah itu ketika disebutkan maka wajib jelas dengan kejelasan yang menghilangkan ketidakjelasan (jahâlah), sehingga mungkin memenuhinya tanpa ada perselisihan. Sebab hukum asal dalam akad semuanya harus menafikan (menghilangkan) perselisihan diantara masyarakat. Oleh karena itu, disyaratkan ujrah itu harus jelas karena Sabda Rasul saw:
«إِذَا اِسْتَأْجَرَ أَحَدُكُمْ أَجِيْراً فَلْيُعْلِمْهُ أُجْرَهُ»
“Jika salah seorang dari kalian mempekerjakan seorang ajir maka hendaklah ia beritahukan ujrahnya” (HR ad-Daruquthni dari Ibnu Mas’ud).
Dan karena apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Abu Sa’id bahwa Nabi saw:
نَهَى عَنْ اِسْتِئْجَارِ اْلأَجِيْرِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ أُجْرَهُ
Nabi saw melarang mempekerjakan ajir sampai jelas untuknya upah (ujrah)nya.
Hanya saja jika ujrah itu tidak jelas, maka ijarah itu terakadkan dan sah, dan ketika terjadi perbedaan dalam kadar (jumlah)nya maka kembali merujuk kepada ajru al-mitsli… Masalah tersebut secara lengkap disebutkan di an-Nizhâm al-Iqtishâdi pada bab Ijârah, dan mungkin dipenuhi di sini.
Berdasarkan hal itu maka pertanyaan Anda seperti yang saya pahami adalah sebagai berikut:
Orang fakir mengambil anak sapi yang umurnya satu tahun atau sepuluh bulan, kemudian ia merawatnya selama satu atau dua tahun. Dan ujrahnya:
** Jika anak sapi yang diambil itu betina dan dirawat sampai menjadi induk sapi betina maka dalam kondisi ini:
- Jika induk sapi itu melahirkan selama masa perawatan itu maka ujrah untuk orang fakir itu adalah anak sapi yang dilahirkan dan air susunya, kemudian induk sapi betina itu diserahkan kepada pemiliknya…
- Atau ia mengambil separo harga induk sapi betina itu pada saat dijual sebelum beranak, sebagai ujrah untuknya, kompensasi perawatan untuk jangka waktu itu.
** Jika anak sapi yang diambil untuk dirawat itu jantan, maka ujrahnya setelah ia rawat satu tahun atau dua tahun:
- Ia menjualnya dan harganya dibagi separo-separo diantara dia dan pemilik sapi.
- Atau ia rawat terus dan dia berbagi manfaatnya diantara keduanya separo-separo.
Jika apa yang saya fahami seperti di atas adalah benar maka hukum syara’ dalam kondisi ini bergantung pada keberadaan ujrah itu harus jelas dan bukan tidak jelas (majhûl), dan jangka waktu perawatan demikian juga harus tertentu dan jelas, maka jawabannya sebagai berikut:
– Point a, tidak boleh akad di dalamnya, sebab ujrahnya adalah apa yang dikandung oleh sapi betina itu dan hal itu tidak jelas (majhûl)…
– Point b, ujrahnya jelas sebab ujrah itu separo harga sapi betina ketika dijual pada jangka waktu yang disepakati, jadi boleh.
– Point c, ujrahnya adalah separo harga anak sapi ketika dijual pada jangka waktu yang disepakati, dan ini boleh.
– Point d, wajib ditentukan manfaat yang dibagi separo-separo agar hal itu menjadi jelas benar sehingga boleh, dan jika tidak jelas maka tidak boleh.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
3 Jumaduts Tsaniyah 1438 H
2 Maret 2017 M
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/42511.html#sthash.E0WJrxm8.dpuf
https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/594815154048893/?type=3&theater