Ustadz, ada pertanyaan. Orang muslim pendukung Ahok kalau mati tidak disholatkan, bolehkah itu? (Koh Martin, Sleman)
Jawab :
Pendukung penista agama tersebut pada dasarnya masih muslim, bukan menjadi kafir (murtad). Hanya saja mereka berdosa dan menjadi orang-orang fasiq (fussaq) dengan perbuatannya mendukung penista agama. Maka dari itu, menyolatkan jenazah mereka hukumnya tetap fadhu kifayah atas kaum muslimin. Hanya saja bagi orang-orang yang menjadi tokoh agama di tengah masyarakat, misalnya seorang Imam (Khalifah) atau para ulama, yang lebih afdhol adalah tidak menyolatkan pendukung penista agama tersebut, untuk memberikan efek jera kepada orang-orang lain yang mengerjakan dosa semisal itu. (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/695; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746; M. Nashirudin Al Albani, Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hlm. 108-109; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 16/37).
Dalil tetap wajibnya menyolatkan jenazah orang-orang fasiq, adalah hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sholat [jenazah] wajib hukumnya atas setiap-tiap [jenazah] muslim entah dia orang baik atau orang fajir (fasik), meskipun dia melakukan dosa-dosa besar.” (Arab : al sholaah waa’jibatun ‘ala kulli muslim barran kaana aw faajiran wa in ‘amila al kabaa`ir). (HR Al Baihaqi, As Sunan Ash Shughra, no 501). Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda,”Shalatlah kamu di belakang [imam] siapa saja yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan shalatilah oleh kamu [jenazah] siapa saja yang mengucapkan laa ilaaha illallaah.” (Arab : shallu khalfa man qaala laa ilaaha illallaah wa shallu ‘ala man qaala laa ilaaha illallaah). (HR Ad Daraquthni & Al Thabrani, lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 597, Bab Maa Jaa`a fi Imamah Al Fasiq).
Imam Syaukani menjelaskan hadits tersebut dengan berkata,”Shalat jenazah atas orang fasik telah ditunjukkan oleh hadits shallu ‘ala man qaala laa ilaaha illallaah (shalatilah oleh kamu [jenazah] siapa saja yang mengucapkan laa ilaaha illallaah)…” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746).
Inilah dalil yang menunjukkan bahwa menyolatkan jenazah pendukung penista agama hukumnya tetap fardhu kifayah. Adapun dalil bahwa pemimpin atau tokoh umat Islam sebaiknya tidak menyolatkan jenazah pendukung penista agama, antara lain hadits dari Abu ‘Amrah dari Zaid bin Khalid Al Juhni RA, bahwa seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi SAW telah terbunuh pada Perang Khaibar. Orang-orang memberitahukan berita laki-laki kepada Rasulullah SAW.Lalu Rasulullah SAW bersabda,”Sholatilah kawanmu!” [Rasulullah SAW tidak mau menyolatkan]. Maka berubahlah wajah orang-orang [terkejut] karena sabda tersebut. Maka ketika Rasulullah SAW mengetahui keadaan mereka [terkejut], bersabdalah Rasulullah SAW,”Sesungguhnya kawanmu itu telah mengambil harta secara curang pada saat berjihad di jalan Allah.” Lalu kamipun memeriksa barang milik laki-laki itu dan kami dapati kharaz (tali untuk merangkai perhiasan seperti permata atau mutiara) milik orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham.” (HR Abu Dawud, no 2712, hadits shahih). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746; Imam Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud; 7/379).
Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa pemimpin atau tokoh umat Islam, yang utama (afdhol) sebaiknya tidak menyolatkan jenazah orang fasiq, untuk memberikan efek jera kepada pelaku kemaksiatan serupa, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Hadits itu juga menunjukkan jenazah orang fasiq tetaplah disholati, sebagaimana ditunjukkan oleh perintah Rasulullah SAW kepada para shahabat, ”Sholatilah kawanmu itu!” (shalluu ‘alaa shaahibikum). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746). Wallahu a’lam. [] M Shiddiq al Jawi