Memotret Politik Kerajaan Saudi Arabia di Dunia, Adakah Harapan?

saudi arabia

Oleh: Sari Kurniawati S.IP

 

Bagi masyarakat Indonesia, kedatangan Raja Salman dan rombongan, mungkin menumbuhkan harapan tertentu di tengah kekecewaan rakyat terhadap gurita investasi China. Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, dan saat ini tengah mengalami dominasi ekonomi china, seolah mendapat angin segar dari Kerajaan Saudi Arabia. Apalagi, ditambah dengan kasus penistaan agama yang baru terjadi dan seolah ada keberpihakan pemerintah dan aparat keamanan terhadap pelaku yang ber etnis China, semakin menimbulkan kebencian masyarakat terhadap non muslim China. Wajarlah, jika euphoria kedatangan Raja Salman dan rombongan sangat gegap gempita, walaupun masyarakat tidak tahu agenda apa yang dibawa raja Salman dan kerajaannya.

Kunjungan Raja Salman ke Indonesia, merupakan rangkaian kunjungan kenegaraan ke kawasan Asia. Sang Raja tidak spesifik hanya mengunjungi Indoensia, namun melakukan lawatan ke beberapa negara, seperti  Malaysia, Indoensia, Brunei Darussalam, Jepang dan China. Masing-masing lawatan, memiliki agenda tertentu yang dibawa oleh sang Raja dan rombongannya.

Di Malaysia, kunjungan Raja Salman, membuahkan hasil berupa kerjasama antar dua negara. Dalam laporan antara news 26/02/2017, Malaysia akan membangun kerjasama dan peningkatan investasi dengan Saudi Arabia, termasuk pembelian Saham Aramco yang akan melakukan IPO atau penjualan perdana di tahun 2018. Selain itu, Malaysia juga sepakat untuk kerjasama di bidang pengembangan energi. Perusahaan minyak Malaysia (Petronas) dan Aramco sepakat untuk menjalankan program Pengembangan Terintegrasi dan Kilang Minyak Malaysia (RAPID).[1]

Secara umum, kantor berita Reuters, Jumat (24/2), melansir bahwa kunjungan Raja Salman ke Indonesia, Malaysia, Cina dan Jepang sekaligus adalah untuk memulai penjajakan rencana penawaran lima persen saham Saudi Aramco, perusahaan migas terbesar yang dimiliki pemerintah Saudi. Rencana IPO ini bahkan bisa dikatakan sebagai penawaran saham terbesar di dunia.

Rencana IPO yang akan dilakukan Saudi Aramco, ditargetkan bisa menggaet investor dari Asia Tenggara dan Timur. Peranan perbankan di Jepang, Indonesia, Malaysia, dan Cina dianggap bisa memainkan peran penting bagi kerajaan untuk mengembangkan industri non-migas sekaligus memperluas investasi di luar Arab Saudi.

Sebelumnya, Pada Agustus 2015 lalu, Saudi sudah menandatangani 15 perjanjian awal dengan Cina. Perjanjian yang disepakati pun bervariasi, mulai dari pembangunan perumahan dan proyek pengairan di Saudi hingga pembangunan kilang minyak. Saat itu, perjanjian dengan Cina dilakukan oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Selain dengan Cina, Saudi juga menawarkan investasi di sektor teknologi hingga 45 miliar dolar AS dengan Japan SoftBank Group.[2]

Di Indonesia, kerajaan Saudi Arabia telah menandatangani beberapa kesepatan dan kerjasama dengan pemerintah RI. Di antaranya, kerja sama bidang perdagangan dan investasi berupa menghilangkan hambatan perdagangan. Kerja sama itu mencakup kesepakatan dengan perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, senilai US$6 miliar atau Rp80 triliun. Terkait program refining development masterplan di Cilacap.[3]

Kedua negara juga mendatangani MoU mengenai keislaman, dakwah, pendidikan dan sains, kerja sama di bidang kelautan dan perikanan. Dalam bidang kelautan, meliputi pengembangan di sektor kelautan dan perikanan serta pengembangan riset di bidang kelautan. Selain itu, juga diteken MoU mengenai pemberantasan kejahatan terorisme dan peredaran obat terlarang, serta pemberantasan korupsi.[4]

 

Ada Apa di Balik Kunjungan?

Setidaknya, ada beberapa point yang bisa dicermati dalam kunjungan Kerajaan Saudi Arabia ke beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia timur. Selain motif ekonomi dan motif politik, konstelasi politik global, politik  kawasan dan lokal kerajaan Saudi Arabia juga turut mewarnai agenda kunjungan.

 

Pengaruh Konstelasi Politik Global terhadap Saudi Arabia

Sebagai sebuah negara nasional yang memiliki sejarah khusus yaitu pemisahan dari Daulah Islamiyah, Kerajaan Saudi Arabia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Inggris selama beberapa dekade.

Sejarah kelam runtuhnya negara adidaya Khilafah Utsmaniyah dan bantuan Inggris pada keluarga Abdul Aziz al Saud (Ibnu Saud) untuk mendirikan negara Saudi Arabia, telah menjadikan Saudi Arabia berada di bawah pengaruh Inggris. Namun, pasca perang dunia dua, perimbangan kekuasaan dunia mengalami pergeseran. Amerika Serikat (AS) tampil sebagai adidaya dunia disusul oleh Uni Sovyet. AS membidik Saudi Arabia untuk kepentingan politik dan ekonomi AS. Peran Inggris yang terus memudar, diiringi menguatnya AS di Eropa melalui Truman doctrine, dan  modal besar AS dalam eksploitasi minyak, telah menjadikan AS memiliki pengaruh besar pada Saudi Arabia. Terlebih lagi pasca perang dingin, dominasi AS di dunia termasuk kawasan Timur Tengah dan Saudi Arabia kian menguat.

Secara geografis, Timur tengah memiliki posisi strategis sebagai jalur perdagangan dunia yang melintasi 3 benua. Secara demografis, padatnya penduduk merupakan pasar dunia yang menggiurkan. Selain itu, Timur tengah memiliki kekayaan alam berupa minyak hingga lebih dari 50% cadangan minyak dunia. Potensi ini membuat AS tidak bisa membiarkan kawasan ini. Terlebih lagi kawasan ini adalah kawasan pusat dunia Islam. Maka didirikannya negara Yahudi Israel bagi kepentingan AS (Barat), adalah hal yang urgent.

Suatu hal yang wajar jika AS terus memandang penting kawasan ini, dan mencari proxy untuk kepentingannya. Dan Saudi Arabia adalah pilihan tepat untuk dijadikan kepanjangan tangan AS dan Barat untuk mereguk kepentingan politik dan ekonomi dari wilayah ini. Hanya saja, AS harus bisa menghilangkan pengaruh Inggris dari kawasan ini dan dari Saudi Arabia untuk dapat menancapkan hegemoninya.

Gayung bersambut, pasca wafatnya Raja Abdullah dan naik tahtanya Raja Salman, haluan politik Saudi Arabia semakin berkiblat ke AS, dan meninggalkan Inggris. Secara ekonomi, hubungan dengan AS dipandang lebih menguntungkan bagi Saudi Arabia, karena AS adalah negara importir minyak bumi Saudi Arabia terbesar, yaitu sebanyak 19% dari total ekspor minyak Saudi.

Investasi Saudi Arabia di AS juga tergolong besar yaitu mencapai 600 miliar dolar AS. Baru-baru ini, Departemen Keuangan AS membuka informasi tentang nilai hutang AS kepada Saudi yang mencapai 116,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.551 triliun.[5]

Hubungan mesra Saudi Arabia dengan AS juga secara kasat mata dapat terlihat dari belanja militer Saudi dan bertenggernya pangkalan militer AS di negara tersebut sejak krisis teluk. Sekitar 56 miliar pound sterling atau sekitar Rp 1.056 triliun per tahun dialokasikan oleh Saudi Arabia untuk anggaran militer.

Dilansir dari Business Insider, Selasa (23/2/2016), British Aerospace Engineering (BAE Systems) menyatakan telah mengirim jet Eurofighter Typhoon dengan total 800 juta pound sterling selama 2015.

Selain dari Eropa, Saudi Arabia juga memesan jet tempur dari AS. Saudi Arabia kini punya lusinan jet tempur F-15, dan akan pesan 80 unit lagi. Negara ini juga punya 82 unit AH64D helikopter APache, yang diproduksi Boeing. Di darat, militer Arab punya 442 unit tank M1A2 Abram yang dibuat di Amerika Serikat. Angkatan laut  Saudi telah menandatangani perjanjian US$ 11,25 miliar dengan Amerika Serikat untuk menyediakan kapal tempur Lockheed Martin. Saudi juga memiliki peluncur roket buatan Amerika Serikat sebanyak 50 unit yang bisa menyasar target yang berjarak 300 km.[6]

Kerajaan Saudi, bahkan mempersilahkan Badan Intelijen Amerika (CIA) mengoperasikan pangkalan udara rahasia di negara itu selama dua tahun terahir. Pangkalan udara yang namanya tidak disebutkan itu dibangun untuk memburu apa yang oleh pihak Barat disebut teroris al Qaida di Yaman.[7]

Bagi AS, Saudi adalah mitra strategis dalam meraih kepentingan-kepentingan global dan nasionalnya. Bukan hanya minyak yang menjadi kepentingan AS. Namun penguasaan terhadap kawasan dan dunia Islam menjadi hal yang lebih penting bagi AS. Saudi Arabia bisa dijadikan sebagai kepanjangan tangan AS dalam mengamankan Timur tengah dan dunia Islam.

Saudi Arabia juga telah menjadi corong kepentingan AS dalam perang melawan terorisme. Bahkan Untuk merespon peningkatan terorisme, Saudi Arabia mengumumkan pembentukan koalisi militer 34 negara muslim untuk memerangi terorisme. Koalisi ini diumumkan langsung oleh menteri pertahanan Saudi yaitu Pangeran Mohammed bin Salman di Riyadh.

Negara-negara yang disebutkan di sini telah memutuskan untuk membentuk aliansi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi untuk memerangi terorisme, dengan pusat operasi gabungan yang berbasis di Riyadh untuk mengkoordinasikan dan mendukung operasi militer, bunyi pernyataan bersama yang diterbitkan pada kantor berita SPA, dikutip dari Reuters, Selasa (15/12).

34 negara Koalisi Islam itu adalah Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), Pakistan, Bahrain, Bangladesh, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Djibouti, Senegal, Sudan, Sierra Leone, Somalia, Gabon, Guinea, Palestina, Republik Federal Islam Komoro, Qatar, Cote d’Ivoire, Kuwait, Libanon, Libya, Maladewa, Mali, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria dan Yaman.

Munculnya, Koalisi Islam ini diduga kuat sebagai jawaban atas seruan Presiden AS, Barack Obama, yang pernah mendesak negara-negara Islam berbuat lebih untuk melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).[8]

Jelaslah, kebijakan Saudi Arabia tidak lepas dari pengaruh AS sebagai negara adidaya. Betapa banyak kepentingan AS yang dijalankan Saudi Arabia, serta hubungan mesra kedua negara baik terkait kepentingan minyak, maupun isu kawasan Timur tengah khususnya masalah Yaman dan Suriah, dan isu terorisme.

Memang, hubungan AS –Saudi juga diwarnai dengan konflik kepentingan antar kedua negara. Sempat terjadi clash antara AS dan Saudi pada masa pemerintahan Obama-Raja Salman, dalam kasus undang-undang baru AS yang mengizinkan keluarga korban serangan teror 11 September untuk menggugat pemerintah negara asing (Saudi Arabia) yang diduga membantu atau membiarkan serangan tersebut. Hubungan manis kedua negara juga terbebani oleh masalah kesepakatan nuklir Iran, serta perang saudara di Yaman dan Suriah.

Saat itu, Saudi Arabia mengancam akan menjual asetnya di AS senilai 750 milyar Dollar. Pada tahun lalu dikabarkan sebanyak USD 200-300 miliar ditarik oleh investor Saudi dari AS (South Front, 17/12/16) dan sisanya sedang menunggu perkembangan.[9]

Selain itu, sebagai akibat dari Trump Effect, kerajaan Saudi Arabia dan para investornya merasa tidak nyaman dan mulai memindahkan dana mereka. Namun, clash tersebut tidak secara signifikan mengubah peta pengaruh AS di Saudi Arabia. AS tetap memiliki pengaruh besar terhadap negara tersebut. Buktinya, pangkalan militer AS, kedutaan besar AS, serta ekspor minyak Saudi ke AS tidak mengalami perubahan. Kebijakan Saudi juga masih meminta restu pada AS. Terbukti pada kebijakan Saudi di Yaman dan Suriah, masih seiring dengan kebijakan AS. Demikian pun  dengan isu terorime, Saudi Arabia masih bersedia menjadi corong AS dalam menjalankannya.

 

Saudi Arabia dan Konstelasi Kawasan Timur Tengah

Dilihat dari sudut pandang kawasan dan dunia Islam, sebagai negara muslim yang kaya, Saudi Arabia ingin menunjukkan peran pentingnya sebagai pemimpin. Hal ini terlihat dengan dibentuknya koalisi 34 negeri muslim dalam isu terorisme. Kepemimpinan Saudi Arabia ini muncul dengan restu dan dorongan AS.

Krisis Suriah dan Yaman telah memaksa Saudi untuk turut berperan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Sayangnya, koalisi dan kepemimpinan Saudi minim visi dan pemikiran ideologis. Semata-mata hanya kepemimpinan kawasan tanpa pengaruh kuat dalam menandingi koalisi negara lain dalam isu yang sama.

Sebagai perbandingan, koalisi Rusia-Iran tidak mampu ditandingi oleh koalisi 34 negara muslim pimpinan Saudi Arabia. Bahkan untuk kasus Aleppo Suriah, seolah hanya ada dua pihak yang berperan yaitu, Koalisi AS yang masih wait and see untuk mencari pengganti Bashar Assad, dan Koalisi Rusia yang mendukung pemerintah Bashar Assad. Sedangkan koalisi Saudi, Turki, dan 32 negara muslim lainnya yang katanya mendukung oposisi nyaris tidak memiliki kekuatan. Padahal belanja militer Saudi adalah yang ketiga terbesar di dunia, melebihi Rusia. Namun, Saudi, Turki dan koalisinya tidak berdaya menyelamatkan Aleppo dari serangan Bashar Assad dan Rusia. Seolah hanya koalisi main-main dengan kekuatan main-main.

Hal ini juga sama dengan kondisi sebelumnya saat menanggapi krisis Suriah. Arab Saudi dan koalisinya mengumumkan siap mengirim pasukan darat ke Suriah. Anehnya, Juru bicara militer Arab Saudi pekan silam menyatakan, siap kirim pasukan membantu koalisi internasional, jika konferensi menteri pertahanan NATO di Brussel, Belgia, bulan ini menyetujuinya.[10]

Bahkan koalisi 34 negara muslim minus Iran dan Indonesia ini juga selalu menunggu restu internasional atau AS dalam melakukan sesuatu, termasuk dalam memerangi terorisme. Dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa (15/12), putra mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, 30, yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan menyatakan akan “mengkoordinasikan” upaya untuk memerangi terorisme di Irak, Suriah, Libya, Mesir dan Afghanistan. “Akan ada koordinasi internasional dengan negara-negara besar dan organisasi internasional, dalam hal operasi di Suriah dan Irak. Kita tidak dapat melakukan operasi ini tanpa berkoordinasi dengan masyarakat internasional,” kata Salman tanpa menjelaskan lebih lanjut.[11] Jadi, koalisi pimpinan Saudi Arabia ini berfungsi untuk apa, jika harus selalu menunggu restu Internasional atau AS. Tidak ada kekuatan untuk membantu atau menyelamatkan kawasan Timur tengah dan dunia Islam yang tengah teraniaya.

Kawasan Timur tengah kini menjadi kawasan tanpa kepemimpinan yang kuat. Negara-negara di kawasan ini tidak pernah berdaya melawan Israel ataupun Bashar Assad. Konflik Timur tengah telah menjadi konflik yang tidak pernah selesai, walaupun di sana ada Saudi Arabia dan koalisinya.

Sangat wajar, jika sekalipun Saudi Arabia memimpin koalisi 34 negara muslim, rasanya tetap sulit bagi Saudi Arabia memimpin Kawasan Timur Tengah dan dunia Islam, walaupun mendapat restu AS.  Bahkan, walaupun Saudi Arabia adalah tempat ummat Islam dunia melaksanakan ibadah, hubungannya hanya sebatas ibadah ritual, penyelenggaraan ibadah haji. Saudi Arabia tidak mampu menjadi pemimpin dunia Islam. Pasalnya, kepemimpinan Saudi Arabia saat ini adalah kepemimpinan kosong dari visi misi yang jelas bagi Timur tengah dan dunia Islam. Minim dari solusi konflik Timur tengah, karena Saudi sendiri kosong dari semua itu.

Selain itu, untuk politik kawasan, Saudi Arabia terganjal oleh kepemimpinan Iran. Perbedaan Sunni-Syiah terus digelorakan untuk tetap memecah kekuatan dunia Islam. Saudi yang dianggap mewakili Sunni terus dibenturkan dengan Iran yang dianggap mewakili Syiah.

Absennya Iran dari daftar negara Islam yang memerangi terorisme ini merepresentasi persaingan dua kekuatan regional di Timur Tengah, yang mempengaruhi situasi politik dan keamanan di sejumlah negara, termasuk Suriah dan Yaman.

Secara posisi di kawasan, Saudi memang dikelilingi oleh pengaruh Iran; di utara, ada Suriah di bawah rezim Bashar al-Assad yang Syiah alawiyah, di timur laut ada Irak yang kini rezim mayoritas Syiahnya mesra dengan Iran, dan  ada Houthi di Yaman yang berbatasan dengan wilayah selatan Saudi di Provinsi Timur yang kaya minyak dan berpenduduk sebagian besar Syiah.

Selain itu, Iran mengambil kebijakan untuk berkoalisi dengan Rusia dalam mendukung Bashar Assad di Suriah. Posisi yang vis a vis berseberangan dengan Saudi Arabia. Hal ini semakin menegaskan bahwa secara konstelasi politik, kawasan Timur tengah tetap terbelah dua. Yaitu kepemimpinan Iran dan Saudi beserta koalisinya. Sayangnya, kepemimpinan kedua negara  ini tidak murni merupakan kekuatan mandiri. Keduanya adalah proxy dari kekuatan AS dan Rusia.

Bahkan jika merunut pada konstelasi politik global kontemporer, Rusia sendiri berperan sesuai dengan skenario AS. Terlebih lagi mengingat hubungan AS-Rusia yang kian mencair pasca kepemimpinan Trump. Bisa dikatakan bahwa kawasan Timur tengah tetap berada dalam genggaman Adidaya AS. Baik Saudi Arabia, Iran, Mesir, Turki, Yordania dan koalisi 30 negeri muslim lainnya adalah para aktor yang memainkan peranan sesuai keinginan sang sutradara. Kawasan ini sepertinya dibiarkan terus didera isu Sunni-Syiah, dan bergejolak. Para pemimpin Muslim termasuk Raja Salman, tidak kuasa menstabilkan kawasan bahkan memimpin kawasan.

Bukan hal yang aneh juga jika kemudian, Saudi Arabia mencari dukungan dari kawasan lain, selain Timur tengah untuk mendapatkan dukungan dan gain ekonomi. Terlebih lagi, mengingat Iran juga mulai menjalin hubungan dengan Indonesia. Kunjungan presiden Jokowi ke Iran, tentu cukup mengkhawatirkan Saudi Arabia, terutama saat Iran kian agresif setelah sanksi internasional dicabut. Iran dianggap bisa merebut pasar Minyak Saudi, dan juga kepemimpinan kawasan Timur tengah dan dunia Islam.

 

Penyelamatan Ekonomi dalam Visi 2030 Saudi Arabia

Dilihat dari sudut pandang kepentingan nasional, Saudi Arabia memiliki kepentingan untuk melakukan penyelamatan ekonomi dan politik negaranya. Saudi Arabia jelas tidak mau dituntut atas kasus terorisme yang banyak ditudingkan AS ke negaranya. Kasus terorisme dan tuduhan negara pendukung teroris adalah alat AS untuk menekan Saudi Arabia agar tetap sejalan dengan kepentingan AS.

Ketidaknyamanan Saudi Arabia terungkap ketika AS mulai membuka hubungan baik dengan Iran. Hal ini terungkap dalam pernyataan bekas kepala intelejen Arab Saudi Turki Al Faisal kepada CNN “Karena anda memanjakan Iran sedemikian rupa, anda melupakan nilai persahabatan dengan kerajaan yang telah berusia 80 tahun.

Dalam wawancara dengan mingguan The Atlantic Maret 2016 silam, Obama mengritik sekutu AS di Timur Tengah yang “bersikeras menyeret AS dalam konflik sektarian yang terkadang tidak ada hubungannya dengan kepentingan kami.” Lagi-lagi yang ia maksud adalah Arab Saudi.[12]

Saudi Arabia memang harus memikirkan cara untuk lepas dari ketergantungannya pada AS, baik secara militer ataupun ekonomi dan politik. Upaya ini sudah mulai digagas sejak kepemimpinan Raja Abdullah.  Saudi Arabia mulai menggeser arah politik luar negerinya mulai tahun 2005. Saudi mulai melirik Asia sebagai mitra untuk melakukan diversifikasi politik dan ekonomi guna mengurangi ketergantungan negara terhadap AS.

Saudi Arabia menggunakan strategi membuat beragam hubungan luar negeri dengan negara-negara utama atau “managed multy dependence” (MMD). Hal ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara tertentu.

Strategi ini mulai dijalankan dengan dipilihnya China dan India sebagai prioritas kunjungan pertama Raja Abdullah di luar kawasan Timur Tengah pada awal 2006. Pada Februari dan Maret 2014, Salman bin Abdul Aziz, semasa menjadi Putra Mahkota, mendapat tugas untuk berkunjung ke Jepang, India dan Cina. Posisi ketiga negara ini dinilai sangat strategis karena penggabungan kekayaan ketiga negara ini ternyata menyamai jumlah kekayaan negara AS yang selama ini menjadi sekutu setia Saudi. Selain itu, ketiga negara Asia ini secara bersama-sama mampu menyerap lebih dari 39 persen minyak Saudi. Lebih besar dibanding AS  yang hanya menyerap 19 persen saja.

Kebijakan Raja Abdullah ini terus berlangsung dan diikuti oleh penerusnya, Raja Salman. Selain Asia, Saudi Arabia juga melirik Rusia sebagai mitra potensial. Pada Juni 2015, Kerajaan Saudi mengutus Wakil Putra Mahkota sekaligus Menteri Pertahanan, Muhammad bin Salman, mengunjungi Moskow guna menandatangani perjanjian kerja sama bilateral di sektor minyak, militer, nuklir dan eksplorasi ruang angkasa.  Setelah itu kunjungan-kunjungan kerajaan dilakukan di negara-negara Asia seperti Jepang, China, Korsel dan India.[13]

Menurut Faisal Al-Shammeri, pakar Saudi di Washington, dalam laman al-Arabiya, menyebutkan bahwa kunjungan Raja Salman ke Asia adalah ilustrasi dari keinginan Saudi untuk segera mengimplementasikan Visi 2030 yang digagas Pangeran Mahkota Muhammad bin Salman, putra Raja Salman yang disebut-sebut raja masa depan dan penguasa di belakang layar Kerajaan Saudi saat ini.

Visi 2030 adalah rencana Saudi mengurangi ketergantungan kepada minyak dan diversifikasi ekonomi dalam sektor apa saja, termasuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pariwisata. Visi ini juga mengidealisasikan Saudi sebagai pusat investasi dan titik temu perdagangan serta logistik dunia. Saudi mencari tempat paling cocok untuk mewujudkan visi itu dan Asia tepi barat Pasifik terpilih karena inilah kawasan di mana ekonomi dunia berpusat.

Di kawasan ini Saudi melihat ruang  dan peluang untuk mencetak pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.  Sekaligus merancang tatanan ekonomi ketika Saudi tak bisa lagi tergantung kepada minyak.

Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Indonesia, Malaysia dan Vietnam yang ada di bagian barat Pasifik sudah menghimpun potensi pasar luar biasa karena disesaki oleh 679 juta manusia dan total PDB per tahun 5,78 triliun dolar AS. Jika digabung dengan Jepang dan China, jumlahnya akan menjadi 30 triliun dolar AS, plus 2 miliar lebih manusia.

Untuk mewujudkan visi 2030 Saudi Arabia inilah, kunjungan ke Asia menjadi hal strategis. Kunjungan ini lebih bermotif penyelamatan ekonomi Saudi Arabia. Tidak dapat dipungkiri, di sektor ekonomi, Saudi Arabia tengah mengalami tekanan berat. Harga minyak yang rendah, antara 50-60 dolar AS, telah membuat Saudi Arabia kehilangan banyak pemasukan dalam anggaran keuangannya. Padahal, dari minyak, Saudi, menerima lebih dari 90% total penerimaan negara. Minyak Saudi juga mendapat tantangan baru tatkala ditemukannya minyak serpih bebatuan (shell oil) di AS. Walaupun biaya produksi minyak serpih ini masih lebih tinggi dibanding minyak fosil, namun Saudi tetap harus was was. Karena bukan tidak mungkin, dalam jangka waktu dekat, ditemukan teknologi yang bisa memeproduksi minyak serpih secara besar-besaran dengan harga murah.

Ada beberapa cara yang dilakukan oleh Arab Saudi, untuk mereformasi ekonominya. Salah satunya adalah menjual sebagian saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) miliknya demi mendapatkan dana segar. Arab Saudi memang berencana untuk menjual saham perusahaan minyak besarnya, yaitu Saudi Aramco. Beberapa poin penting dalam program reformasi tersebut antara lain:

  • . Menjual sekitar 5% saham Saudi Aramco, BUMN minyak Arab Saudi yang nilai perusahaannya ditaksir US$ 2,5 triliun atau sekitar Rp 32.500 triliun.
  • . Uang hasil penjualan saham Aramco sebagian digunakan untuk dana investasi ke luar negeri sebanyak US$ 2 triliun.
  • . Sistem visa baru yang memungkinkan orang asing muslim bekerja jangka panjang di Arab Saudi
  • . Diversifikasi ekonomi, mulai dari investasi di tambang mineral dan memproduksi peralatan militer
  • . Mengizinkan wanita untuk bekerja.[14]

Adnan khan, seorang aktivis Hizbut Tahrir mengkritik visi 2030 Saudi Arabia sebagai visi kosong. Selama ini Saudi Arabia sangat bergantung pada AS dan Inggris. Kebijakan-kebijakan Saudi hanya untuk merealisasikan kepentingan kedua negara tersebut. Tingginya biaya militer adalah untuk impor semua peralatan militer. Kerajaan selama puluhan tahun telah gagal membangun basis pertahanan nasional. Kerajaan selalu mengambil opsi untuk membeli peralatan militer dari luar negeri dan hal ini telah menciptakan hubungan ketergantungan dengan Amerika Serikat dan Inggris.

Arab Saudi tidak memiliki keterampilan, pengetahuan dan kemampuan riset dan pengembangan yang dibutuhkan untuk menjadi Negara modern. Banyak dari hal ini akibat dari sistem pendidikan Saudi yang berfokus pada hafalan semata-mata untuk lulus ujian daripada membangun pemikiran dan mengembangkan ide-ide dan membangun pendekatan untuk ilmu.

Visi 2030 Saudi Arabia kurang memiliki tujuan-tujuan politik. Tidak disebutkan peran regional Arab Saudi atau bahkan peran globalnya. Sudah terlalu lama Saudi menerapkan tujuan-tujuan Inggris dan Amerika di wilayah tersebut. Tujuan-tujuan itu termasuk solusi dua negara atas Palestina, dukungan atas kelompok-kelompok tertentu di Suriah dan menyeimbangkan peran Iran. Membangun ekonomi tanpa tujuan politik telah menjadi resep untuk menimbulkan bencana atas banyak negara di masa lalu. Dan Saudi Arabia mengikuti resep tersebut tanpa adanya perubahan orientasi politik negara, meskipun mereka memiliki kekayaan melimpah.

Lebih dari itu, Visi 2030 penuh dengan retorika dan rencana-rencana muluk, visi itu tidak memiliki detail pada berapa banyak hal itu akan dicapai dan bagaimana tantangan yang dihadapi Saudi saat ini akan bisa diatasi.[15] Jelaslah bahwa secara politik nasional, Saudi Arabia bahkan telah gagal dalam membangun negaranya menjadi negara yang independen, bebas dari intervensi asing. Negara ini gagal untuk menjadi independen di bidang industri dan militer. Gagal dalam membangun masyarakat agar menjadi mandiri. Bahkan gagal dalam membangun ekonomi yang independen.

Jika secara politik nasional saja gagal untuk memimpin diri sendiri, bagaimana mungkin Saudi Arabia bisa menjadi pemimpin kawasan Timur tengah dan Dunia Islam? Apatah lagi menjadi pemimpin dunia.

 

Saudi Bukan Khilafah, Raja Salman bukan Khalifah

Dengan mencermati kondisi politik global, kawasan, dan nasional Saudi Arabia, sungguh sangat naif jika dunia Islam berharap Saudi Arabia menjadi pemimpin untuk memenangkan pertarungan politik dan ekonomi.

Pasalnya, Saudi sendiri hanya memiliki visi misi 2030 yang kosong dari kepemimpinan berfikir ideologis. Saudi tidak memiliki ambisi ataupun visi besar memimpin dunia Islam. Saudi masih dikendalikan AS. Selain itu, Saudi juga masih dibebani dengan konflik Sunni-Syiah dengan Iran. AS dan Rusia sengaja menjadikan Iran sebagai batu sandungan yang terus memecah belah ummat Islam. Iran terus dijadikan sebagai bagian bambu yang dibelah AS untuk melemahkan dunia Islam. Membuat konflik berkepanjangan di dunia Islam, bahkan melemahkan kekuatan Islam di kawasan Timur tengah.

Dari aspek ekonomi nasional, Saudi Arabia tengah mengalami problem ekonomi tersendiri dengan menurunnya harga minyak. Beban negara dan defisit anggaran terjadi di dalam negeri, termasuk beban hutang luar negeri Saudi. Untuk mengatasi problem tersebut, Saudi harus menggadaikan kehormatannya sebagai negara kaya, untuk mencari investor bagi perusahaan minyaknya Aramco, diversifikasi bisnis, dan kerjsaama ekonomi lainnya yang membuat negara ini tidak independen. Jika dulu, dependensinya hanya ke AS dan Eropa, maka dengan kunjungan ke Asia, dependensi Saudi akan melebar ke berbagai negara termasuk China dan Jepang.

Dari aspek keamanan, walaupun Saudi Arabia memiliki angkatan bersenjata dan senjata canggih, bahkan menjadi negara dengan anggaran militer terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China, namun senjata itu tidak dihasilkan sendiri. Senjata-senjata Saudi Arabia adalah pembelian dari AS dan Eropa. Ketergantungan senjata dan industri berat terhadap negara lain, akan menjadikan kepemimpinan Saudi menjadi khayalan.

Dependensi terhadap negara lain akan menjadikan Saudi semakin sulit meraih kepemimpinan di dunia Islam.

Jadi masihkah berharap pada Saudi?

Sungguh, ummat Islam membutuhkan kepemimpinan untuk bangkit dan kembali menjadi adidaya dunia. Ummat Islam membutuhkan Khilafah Islamiyah, satu-satunya institusi negara Islam yang independen, tidak terikat dengan kepentingan negara lain. Khilafah Islamiyah akan menjalankan politik dan ekonomi yang bebas dari intervensi. Khilafah juga memiliki angkatan bersenjata dan persenjataan serta industri yang independen, bebas dari ketergantungan pada negara lain.

Hanya khilafah Islamiyah satu-satunya harapan bagi ummat Islam.

 

Wallahu a’lam

 

Sumber bacaan:

Hizbut Tahrir, Kitab Mafahim Siyasi edisi mu’tamadah 2004 (1425H)

Eugene Rogan, The Fall of the Khilafah, PT Serambi Ilmu Semesta, 2016.

[1] http://www.antaranews.com/berita/614754/malaysia-sambut-kedatangan-raja-salman-dalam-kunjungan-asia

[2] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis-global/17/02/25/olw4xo384-tur-raja-salman-ke-asia-bukti-saudi-tak-ingin-bergantung-pada-minyak

[3] http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39130419

[4] http://www.republika.co.id/index/2017/02/28/40

[5] CNN (17/5/16)

[6] www.liputan6.com

[7] www.hizbut-tahrir.or.id

[8] http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151215074700-120-98260/saudi-umumkan-aliansi-militer-34-negara-islam-lawan-terorisme/

[9] http://www.antaranews.com/berita/614520/kunjungan-raja-salman-ke-indonesia

[10] http://www.dw.com/id/tentara-suriah-terus-maju-arab-siapkan-pasukan-darat/a-19032894

[11] http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151215074700-120-98260/saudi-umumkan-aliansi-militer-34-negara-islam-lawan-terorisme/

[12] http://www.wartaperang.com/2016/04/belanja-militer-saudi-terbesar-ke-3-dunia.html

[13] http://www.antaranews.com/berita/614520/kunjungan-raja-salman-ke-indonesia

[14] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3432465/raja-salman-kaya-tapi-bagaimana-ekonomi-arab-saudi-saat-ini

[15] http://www.khilafah.com/saudi-vision-2030-lacks-vision/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*