Sangat jelas bagi kebanyakan orang Amerika bahwa masalah perlakuan pada para imigran pekan lalu adalah masalah diskriminasi agama, yang ditujukan untuk negara-negara yang mayoritas Muslim, dan sebaliknya memberikan perlakuan istimewa kepada para pengungsi non-Muslim dari negara-negara tersebut. Ketika mencari di Google tentang Islam, agama dan politik, maka akan mudah masuk ke situs seperti “politicalIslam.com”, yang mengklaim menggunakan “metode statistik” untuk membuktikan bahwa Islam adalah lebih dekat ke sistem politik daripada agama.
Akhirnya, perdebatan ini bergerak dari dunia maya ke teori konspirasi. “Ketika kita membahas Islam, maka penting untuk mengetahui bahwa kita sedang berbicara tentang agama, ideologi politik, dan sosial pada saat yang sama,” sebagaimana yang ditulis oleh mantan Asisten Jaksa di Amerika Serikat, Andrew C. McCarthy dalam National Review tahun 2015. “Islam bukanlah agama, melainkan sistem politik yang kesuciannya digunakan untuk mendukung agenda-agendanya guna mendominasi dunia,” seperti yang dikatakan John Bennett, anggota Parlemen Partai Republik di Dewan Legislatif negara bagian Oklahoma, pada tahun 2014.
Baru-baru ini Pastor Evangeli yang berbudaya dan berpendidikan mengatakan kepada saya bahwa ia percaya, “kebebasan beragama harus dilindungi untuk semua sistem kepercayaan, tapi pada saat yang sama perlu untuk mengklarifikasi apakah Islam seluruhnya adalah agama, atau sebenarnya adalah gerakan politik yang bersembunyi di balik lembaga agama.”
Sungguh, semakin populer ide ini, maka akan mengungkapkan sebuah lubang yang dalam terkait dialog Amerika tentang agama dan keyakinan (akidah), juga akan memperluas bidang bagi kebanyakan orang yang mengklaim sebagai pelindung kebebasan beragama untuk membela dan mempertahankan sejumlah kebijakan rasis terhadap kaum Muslim.
Wajahat Ali, seorang penulis dan pengacara, serta kolomnis utama di “Fear Inc”, dalam laporan tentang akar Islamophobia AS, yang melacak munculnya ide ini untuk menemukan keterkaitan dengan para aktivis yang anti-Islam, David Yerushalmi dan Frank Gaffney. Pada tahun 2010, Gaffney Center untuk Kebijakan Keamanan mempublikasikan laporan berjudul: “Syariah: Ancaman bagi Amerika.” Dalam laporan itu disebutkan bahwa undang-undang agama milik kaum Muslim, atau syariah, sebenarnya adalah ideologi politik yang berbahaya, sebab didiktekan oleh sekelompok kaum Muslim untuk dipaksakannya terhadap AS.
“Meskipun syariah mengandung unsur-unsur spiritual, namun itu akan menjadi salah jika kita melihat syariah sebagai undang-undang yang bernuansa agama berdasarkan pemahaman Barat,” sebagaimana dinyatakan dalam laporan. Begitu juga usulan untuk mencegah “masuknya para imigran yang konsisten dengan syariah … sebagaimana hal itu dulu pernah dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti ideologi komunisme provokatif.”
Sesungguhnya, gagasan Islam sebagai ideologi politik sangat cocok dengan kebijakan kami saat ini. Sejak jatuhnya komunisme, banyak kaum intelektual Barat, khususnya ilmuwan politik dari Harvard, Samuel Huntington yang berbicara tentang konflik global baru yang akan terjadi antara peradaban Barat dan peradaban Islam.
“Ideologi yang dulu melawan Amerika Serikat atau terhadap nilai-nilai Amerika adalah komunisme. Namun, sekarang adalah Islam. Sehingga tidak mungkin Islam dianggap sebagai agama, melainkan Islam harus dijadikan sebagai ideologi politik,” demikian kata Jocelyne Cesari, seorang profesor di University of Birmingham di Inggris. [Sumber: Washington Post]
Selama beberapa dekade, Barat ingin semua orang percaya bahwa Islam adalah agama seperti Kristen, yang hanya sekedar agama. Namun hari ini, setelah menyaksikan kembalinya globalisasi Islam, maka para pemikir Amerika ingin mengenalkan Islam dan memperlihatkannya sebagai ideologi politik. Hanya saja, alasan mereka berbeda. Dengan demikian, mereka ingin membawa rakyat Amerika untuk berperang jangka panjang dengan Islam (kantor berita HT, 13/3/2017).