Presiden Turki Erdogan menegaskan dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di Moskow (10/03/2017) dengan didampingi Presiden Rusia Putin, bahwa ada koordinasi dan kerjasama antara Turki dan Rusia terkait operasi militer dan kemanusiaan di Suriah.
*** *** ***
Sejak dimulainya operasi “Perisai Efrat” pada bulan Agustus 2016, Presiden Turki Erdogan telah menetapkan tujuannya yaitu untuk menghilangkan ancaman sejumlah organisasi teroris di Suriah utara, maksudnya adalah organisasi negara Islam (ISIS), dan organisasi Kurdi yang dianggap sebagai perpanjangan Partai Buruh Kurdistan (PKK) di Turki. Setelah lama jalan di tempat, karena tidak adanya lampu hijau untuk itu, kini pasukan “Perisai Efrat” telah berhasil mengontrol kota al-Bab. Kemudian Erdogan menegaskan berulang kali bahwa tujuan berikutnya dari “Perisai Efrat” adalah kota Manbij, dan kemudian kota Ar-Raqqah. Bahkan telah dikeluarkan berbagai pernyataan dari para pejabat senior Turki yang meminta Washington untuk melaksanakan janjinya, yaitu mengeluarkan pasukan Kurdi Demokratik Suriah (QSD, Quwwāt Sūriyā al-Dīmuqrāṭīya) dari kota Manbij. Erdogan juga berkali-kali mengancam bahwa Turki akan membombandir pasukan Kurdi di Manbij Jika terus tidak keluar darinya. Namun dengan semua pernyataan mainan ini, tetap menjadi coretan di atas kertas atau letupan suara yang tidak berarti sama sekali. Dan kemudian jawabannya adalah tamparan keras kepada rezim Turki ketika Rusia mensponsori kesepakatan antara pasukan Kurdi untuk menarik diri dari sejumlah desa di pedalaman Manbij untuk kepentingan pasukan rezim Bashar al-Assad. Lalu, datang masalah lain bahwa Amerika telah mengirim pasukan militer dengan bersenjata berat ke Manbij. Semua peristiwa ini telah membuat pernyataan Erdogan skandal bergaung, sehingga Perdana Menteri Turki Ben Ali Yildirim terpaksa membuat pernyataan dengan mengatakan: “Tidak ada artinya operasi militer di Manbij tanpa koordinasi dengan pihak Rusia dan Amerika. Sehingga dalam konteks ini, tengah berlangsung sejumlah kontak antara para ahli militer Turki dengan rekan-rekan mereka ahli militer dari Rusia dan Amerika.”
Dan diketahui bahwa pertemuan para Kepala Staf dari Turki, Rusia dan Amerika di Antalya (07/03/2017) tidak menghasilkan kesepakatan untuk satu kata dalam upaya mengusir organisasi negara (ISIS) dari kota Ar-Raqqah. Sementara Erdogan berharap untuk bisa meyakinkan Presiden Rusia Putin untuk tidak membiarkan tentara Kurdi berpartisipasi dalam serangan terhadap Ar-Riqqah. Namun keduanya (Erdogan dan Putin) sangat menyadari bahwa garis merah dibuat di Washington, bukan di Ankara atau Moskow.
Jadi, fakta-fakta ini menunjukkan dengan jelas bagi setiap orang yang punya visi bahwa rezim Turki tidak memiliki kontrol komandonya, dan tidak memiliki kebebasan untuk memutuskan “secara independen”, bahkan Turki memohon kesepakatan Washington untuk melawan apa yang dilihatnya sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasional Turki, yang tercermin pada aktivitas Kanton Kurdi di Suriah utara.
Beberapa orang yang berpikir sederhana, serta banyak dari penggemar rezim Turki, yang melihat Turki sebagai model bagi politik “Islamisasi bertahap”, sehingga mereka membenarkan sikap rendah Erdogan bahwa Turki sedang menghadapi ancaman serius, sebagaimana ini tercermin dalam kudeta yang gagal pada bulan Juli 2016, dan bahwasannya Presiden Turki dipaksa untuk menguasai realitas politik internasional yang dipasang di arena Suriah, yang disebut politik realistis, yaitu “apa yang tidak dapat dijalankan seluruhnya, maka jangan ditinggalkan semuanya”. Rezim Turki, dalam pandangan mereka yang lalai dan terpesona, tidak salah dengan upaya Turki untuk mewujudkan tujuan semampunya, sesuai dengan banyaknya tekanan yang menimpanya.
Sayangnya, mereka ini tidak memulai pandangannya dari perspektif akidah Islam, namun mereka menerima bahwa sistem politik di kawasan Timur Tengah yang dipaksakan oleh kolonialisme Barat berdasarkan perjanjian Sykes-Picot, yang menentukan landasan konflik dan politik. Sehingga mereka membenarkan Erdogan yang tidak memperdulikan rakyat Suriah, dan ia dipaksa untuk menyerahkan Aleppo pada tentara bayaran Amerika dan alat-alatnya dalam rangka menjaga keamanan nasional Turki. Inilah bahasa kepentingan nasional Turki, yaitu bahasa saling kepentingan politik, sehingga tidak ikut di dalamnya, menurut mereka adalah kenaifan yang menyederhanakan kompleksitas politik internasional.
Hal ini mengingatkan kita pada perkataan seorang penyair Tunisia Abu Al-Qasim Al-Syabi: “Siapa saja yang takut mendaki gunung * maka selamanya ia akan hidup di antara lubang.” Mereka itu berangkat dari kepatuhan tentang keharusan untuk menghormati Sykes-Picot dan situasi yang tercipta darinya.
Dan seandainya mereka berangkat dari sudut pandang akidah Islam serta benar-benar yakin, tidak sekedar dalam kata-kata saja, bahwa Allah SWT itu lebih besar dari semua tiran di muka bumi ini, dan para algojonya, seandainya mereka yakin bahwa umat Islam mampu segera mewujudkan kabar gembira Rasulullah saw untuk menaklukkan Roma ketika umat Islam berpegang teguh dengan agama Allah SWT, tentu mereka tidak menerima dengan nyanyian lama berbagai pembenaran yang lemah tersebut, yang mengungkapkan kelemahan imannya terhadap Allah SWT, dan tidak adanya pemahaman mutlak akan kekuatan umat Islam; juga tentu mereka akan berjuang bersama para pejuang untuk menolong agama Allah SWT, serta meninggikan syariah-Nya dengan cara mendirikan negara Khilafah ‘ala minhājin nubuwah. [Insinyur Osman Bakhash].
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 11 Maret 2017.