Tindak Tegas Koruptor E-KTP!

ektpOleh : Taufik Setia Permana – (Analis di PKDA)

Skandal korupsi mega proyek E-KTP semakin memanas. Proyek yang merugikan negara sebesar 2,5 triliun dengan nilai proyek 5,9 triliun ini turut menyeret beberapa pejabat tinggi di DPR. Beberapa saksi telah dilibatkan dalam kasus ini, KPK menghadirkan 173 saksi fakta 5 saksi ahli untuk tersangka Irman, untuk tersangka Sugiarto terdapat 294 saksi fakta dan 5 saksi ahli, dan terdapat 280 saksi yang telah dipanggil oleh KPK. Dari 280 orang tersebut 3 di antaranya adalah Ganjar Pranowo, Setyo Novanto serta terpidana kasus korupsi wisma atlet Hambalang Anas Urbaningrum. seword.com (15/3)

Kasus skandal E-KTP sebenarnya sudah lama mencuat namun kasus tersebut tidak kunjung terselesaikan. Pada awal kejadian tersebut ketika 11 Mei 2010 Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri (KEMENDAGRI) menggelar rapat komisi DPR untuk memaparkan kebutuhan biaya proyek E-KTP berbasis data yang ditengarahi sebesar 6,67 triliun.  Pada tanggal 22 November 2010 melalui mekanisme rapat kerja dengan Kemdagri yang diwakili oleh Gamawan Fauzi, terdakwa I (Irman), dan Diah Anggraini, Komisi II DPR memberikan persetujuan anggaran terhadap pelaksanaan proyek pengadaan dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional untuk tahun 2011 sejumlah Rp 2.468.020.000.000. dilansir detik.com (9/3)

Proyek ini dilanjutkan pada bulan Juni 2011 untuk memilih konsorsium percetakan yang diumumkan secara langsung kepada pemegang konsorsium pemenang tender. Pada 1 Juli 2011, dua pihak antara Kementrian Dalam Negeri dengan konsorsium pemenang tender mulai menandatangani kontrak mega proyek E-KTP. Berjalannya proyek ini ternyata semakin membuka kejanggalan-kejanggalan. Hal inilah mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki kejanggalan persekongkolan tender. Hingga pada 14 November 2012 secara terbuka KPPU memutuskan adanya skandal yang terjadi pada mega proyek E-KTP. Konsorsium pemegang proyek tidak mampu menyelesaikan proyek divonis membayar 20 miliar kepada negara.

Pada 22 April 2014, KPK menetapkan Sugiharto selaku direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementrian Dalam Negeri sebagai tersangka korupsi E-KTP. Penelusuran KPK membuahkan hasil dengan tertangkapnya Irman selaku Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri. Dua tersangka tersebut diduga melakukan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, yakni dengan menggelembungkan anggaran proyek pengadaan KTP elektronik. dilansir kompas.com (19/10/16)

Kasus ini berlangsung hingga Januari kemarin KPK mengungkap 14 orang dari DPR, dan pengusaha yang berkaitan dengan skandal ini. Skandal mega proyek ini telah membuktikan bahwa tataran DPR tidak menjamin bebas dari tindakan korupsi. Bancaan bagi-bagi keuntungan menjadi hal yang dimaklumi.

Jika kita melihat kasus mega proyek ini sebenarnya ada empat elemen yang bersangkutan, yaitu antara lain peran negara, DPR komisi 2, Kemendagri, dan Konsorium. Maka peran yang terlibat dalam skandal ini antara lain ketika dana turun ke DPR lalu diteruskan ke Konsorium dengan dana yang tidak utuh, artinya bahwa ketika dana proyek turun ke DPR lalu dari DPR nantinya ada pasang tender sebenarnya dana proyek tersebut sudah dibagi-bagikan ke kantong para pejabat korup tersebut. Dari tender juga menjadi masalah, karena ada terindikasi kecurangan. Mereka sebelumnya diduga melakukan persekongkolan tender dengan cara mempermudah pemenang konsorsium memenangkan tender pengadaan e-KTP. dilansir tempo.co (13/10/12)

Belakangan terungkap rencana bagi-bagi hasil pejabat korup. Sekitar 51 persen dana proyek digunakan untuk belanja riil pembiayaan proyek sebesar Rp 2.662.000.000.000, sekitar 49 persen dibagikan dengan rincian 7 persen dibagikan ke beberapa pejabat KEMENDAGRI termasuk ke para terdakwa, 5 persen ke anggota komisi 2 DPR RI, 11% dibagikan ke Setya Novanto, Andi Narogong, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazarudin, 15 persen diberikan ke pelaksana pekerja, jadi total dana bancaan korupsi sekitar Rp 2.558.000.000.000. Wajar jika pihak konsarium tidak mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kontrak, karena dana yang turun ke konsarium hanya setengah dari dana proyek selain itu konsarium juga membayar suap untuk memenangkan tender pengadaan E-KTP. Imbasnya rakyat jelatalah yang merasakan, hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan negara tidak terpenuhi secara maksimal.

 

Maka apabila kita menelisik kasus di atas sebenarnya kita dapat meruntut sebab-akibat adanya tindakan korup di proyek E-KTP.

Pertama, dari segi hukum pidana di negeri ini masih tidak memberikan efek jera. Dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2)  Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Secara pelaksanaan hukuman di atas sangat jarang dijatuhkan kepada para koruptor. Hingga saat ini hanya Akil Mochtar dan Adrian Waworuntu yang merasakan hukuman penjara seumur hidup. Jelas ini tidak memberikan efek jera, berbeda halnya dengan hukuman yang diatur oleh Islam.

Hukuman korupsi (ikhtilas) dalam Islam termasuk dalam hal  ghulul yaitu mengambil harta negara atau masyarakat dengan melanggar syariat Islam. Kasus korupsi (ikhtilas) berbeda dengan pencurian yang masuk bab hudud, tindakan korupsi masuk pada bab ta’zir  hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada Khalifah atau qadhi (hakim). Rasulullah saw. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).

Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.

Maka sudah saatnya para koruptor di negeri ini harus ditindak tegas. Selama ini pemerintah tidak memiliki ketegasan untuk menindak mereka, pemberian fasilitas di dalam penjara merupakan bentuk diskriminasi yang menyebabkan mereka tidak jera terhadap hukum.

Kedua, ditinjau dari sistem yang mengatur negeri ini. Praktek korupsi tidak terselesaikan apabila sistem di negeri ini masih menggunakan sistem demokrasi liberal. Kebebasan ada di tangan rakyat yang menyebabkan mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuai dengan hawa nafsunya, maka tidak heran para pemangku kebijakan sering membuat kebijakan sesuai dengan pesanan para pemangku kekuasaan yaitu para pemilik modal.

Sudah seharusnya rakyat sadar akan permasalahan bangsa ini, bahwa negeri ini membutuhkan supremasi hukum yang tegas. Supremasi hukum tersebut tidak lain adalah syariat Islam.[]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*