Sebuah survei yang dilakukan oleh The Institute for Social Policy and Understanding menyebutkan bahwa diskriminasi agama merupakan hal biasa yang dialami kebanyakan Muslim Amerika. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden telah menyebarkan kebencian di seluruh negeri.
Survei dilakukan bulan Januari lalu terhadap 800 Muslim. 60 persen Muslim menyatakan memperoleh perlakuan diskriminasi dalam satu tahun terakhir karena agama yang mereka anut. Dan 42 persen mengaku bahwa anak-anak mereka menjadi korban bullying.
Lebih dari sepertiga Muslim mengaku khawatir atas keselamatan mereka sendiri atau keluarga dari kelompok kebencian yang muncul saat musim kampanye dan pemilu. Sejumlah kecil Muslim mengatakan bahwa sejak pemilu mereka telah membuat persiapan untuk meninggalkan negara tersebut jika diperlukan, mengubah penampilan agar tidak terlalu jelas sebagai Muslim atau mendaftar untuk kelas bela diri.
Dewan juru bicara Council on American-Islamic Relations (CAIR) Zainab Chaudry mengatakan, insiden kebencian di AS meningkat sejak musim pemilu. “Setelah beberapa minggu pertama setelah pemilu, kecemasan dan ketakutan masih sangat nyata,” ujar Chaudry seperti dilansir huffingtonpost.com, Selasa (21/3).
Sementara itu, direktur Newseum Institute’s Religious Freedom Center Charles Haynes mengatakan, terdapat lebih dari 15 tahun propaganda, kampanye yang tidak mendidik, untuk meyakinkan publik Amerika bahwa Islam sebagai agama jahat dan mengandung kekerasan.
Umat Islam juga dikaitkan dengan terorisme dan ketakutan di masyarakat. Bahkan dalam koridor kekuasaan sekarang, propaganda ini sudah sangat lazim. Pemilu kali ini telah membawa Islamofobia ke Gedung Putih dalam bentuk perintah eksekutif yang diterbitkan presiden dengan melarang wisatawan dari beberapa negara mayoritas Muslim untuk masuk AS.
Menurut survei, hanya 15 persen Muslim yang menyukai Trump saat pemilu. Lebih dari setengahnya mendung calon presiden Demokrat, Hillary Clinton, dan hampir sepertiga tidak mendukung siapa pun. (republika.co.id, 22/3/2017)