Dipersepsi sebagai pemimpin boneka (13,1 persen) dan terlalu pro Cina (6,2 persen) oleh publik seperti diungkap survei Indo Barometer, rezim Jokowi-JK harus instropeksi.
“Mereka akan mengatakan (angka persentase itu kecil lantaran) ada 80-an persen publik tidak mengatakan seperti itu. Karena itu, lagi-lagi, ini soal bagaimana kita melakukan introspeksi. Itukan warning, bahwa publik ada yang melihat seperti itu,” ungkap Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.com, Kamis (23/3/2017).
Menurut Ismail, meskipun publik yang menyatakan itu hanya seperlima dari total sampel tentu saja pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Artinya, mereka punya dasar, punya bukti, punya indikasilah paling tidak, untuk berpendapat bahwa rezim ini adalah rezim boneka dan terlalu pro Cina. Salah satu indikasinya adalah soal Ahok.
“Kalau memang betul mereka mandiri, artinya tidak seperti dikatakan publik bahwa rezim ini boneka, kalau rezim ini tidak sangat pro Cina, maka seharusnya rezim sekarang ini bisa bertindak independen. Bisa mengambil keputusan lebih tegas,” bebernya.
Ahok menjadi tersangka saja setelah mendapat tekanan dari aksi jutaan umat bukan karena keputusan rezim, padahal bukti-bukti penistaan agama sudah nyata. Setelah itupun tidak ditahan, padahal semua terdakwa penista agama ditahan. Setelah menjadi terdakwa, tidak juga diberhentikan sementara dari jabatan gubernur. Malah setelah cuti, dilantik lagi. “Ini kan dilihat oleh publik sebagai rezim yang tidak independen tetapi rezim yang sangat pro kepada Cina,” ungkap Ismail.
Belum lagi, kalau berbicara tentang kasus-kasus lainnya yang melibatkan Ahok. Misalnya, RS Sumber Waras, Pembelian Tanah Cengkareng, Taman BMW, Bus Way, E KTP, Reklamasi yang sudah dibatalkan PTUN berulangkali. “Itu semua dilihat oleh publik. Dan rezim ini seolah menganggap itu semua tidak punya makna apa-apa. Padahal kalau rezim itu independen, tentu akan bertindak,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan, ketika reklamasi dibatalkan PTUN itu kan sebagai penanda berarti ada sesuatu yang tidak beres proses pengajuan izin ataupun proses pelaksanaan proyek reklamasi itu. Tetapi yang terjadi rezim tidak begitu, malah mengabaikan putusan-putusan pengadilan itu. Padahal proyek reklamasi ini jelas-jelas melawan rakyat. Jadi bukan sengketa antar pengembang atau pebisnis.
“Sebenarnya kalau rezim itu diasumsikan berdiri untuk menjaga kepentingan rakyat maka harus berada di posisi membela kepentingan rakyat bukan membela pihak yang salah, apalagi di pihak kepala daerah yang nyata-nyata banyak sekali melakukan kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan,” pungkasnya. (mediaumat.com, 24/3/2017)