Corporated Democracy


Awal Maret lalu, saya hadir dalam acara yang diberi tajuk Pengajian Kebangsaan dengan tema, “Perspektif Islam dalam Menyikapi Dinamika Politik-Ekonomi Nasional dan Global”. Acara diselenggarakan di rumah dinas Ketua MPR-RI, Zulkifli Hasan, di Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Oleh pengundangnya, Prof. Rokhmin Dahuri, pengajian ini disebut bersifat lintas firqah dan lintas fraksi (politik) untuk Islam yang satu.
Sesuai dengan nama dan sifatnya, hadir  banyak tokoh dari berbagai kalangan. Di antaranya: Prof. Jimly Assidiqi, Prof. Nasaruddin Umar, Prof. Komaruddin Hidayat, Sutrisno Bachir, Muhammad Siddiq (Ketua Umum DDII), Syafii Antonio, Ahmad Riawan Amin, Eggy Sujana, Chusnul Mar’iyah, Neno Warisman, Hanafi Rais, Muhammad al-Khaththath  dan masih banyak lagi yang lain. Ada beberapa topik yang disoroti oleh forum yang dimoderatori oleh Siti Zuhro itu. Namun, yang paling mengemuka tak lain adalah soal Ahok dan peran politik umat Islam.Ketika berbicara tentang peran politik umat Islam, tak sedikit peserta mengkhawatirkan kecenderungan liberalisasi politik saat ini, yang tampaknya akan makin meminggirkan peran umat Islam. Mengenai hal ini, Prof. Jimly memberikan penjelasan yang menarik. Pada intinya ia mengatakan, saat ini  demokrasi di Indonesia memang telah berkembang menjadi corporated democracy. Aslinya, demokrasi itu dikatakan sebagai sistem politik “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Namun, dalam faktanya demokrasi sekarang telah dikooptasi oleh para pemilik modal. Dengan kekuatan uangnya, mereka menguasai media massa, market (pasar), society (masyarakat), bahkan state (negara), termasuk di dalamnya partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik.

Sebenarnya gejala berkembangnya corporated democracy sudah lama ditengarai. Presiden Rutherford B. Hayes pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi demokrasi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company”. Gejala itu ia lihat hanya  sebelas tahun setelah Presiden Abraham Lincoln (1860-1865)—yang semasa hidupnya dengan gagah mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people”—meninggal.

++++

Peran para pemilik modal dalam dunia politik di Indonesia dilihat oleh Nanik S Deyang, mantan wartawan senior, sangatlah nyata. Ia, yang pernah menjadi salah satu wartawan dengan spesialisasi meliput konglomerat di Indonesia ini, paham betul bagaimana perangai konglomerat Cina atau para taipan di Indonesia; termasuk hubungan mereka dengan lembaga-lembaga negara mulai Kepresidenan, TNI/Polri, DPR dan lainya. Nanik mencontohkan, ketika seorang presiden hendak melakukan reshuflle kabinet, konsultasinya dengan konglomerat Cina.

Singkat cerita, ia menegaskan, negara ini sejatinya memang dikuasai oleh para pemilik modal dari kalangan konglomerat Cina. Seperti disebut Prof. Jimly, mereka kini praktis sudah menguasai society melalui penguasaan media massa dan market. Bahkan mereka juga sudah menguasai state melalui penguasaan partai politik yang dibeli atau dibiayai, serta tentu saja lembaga parlemen tempat berkumpul para wakil rakyat dari partai-partai yang sudah mereka kuasai itu. Bila partai politik sudah dikuasi maka pejabat sipil, militer maupun kepolisian, termasuk pejabat di lembaga penegak hukum, yang diangkat oleh partai politik itu, juga ikut dikuasai dan dikendalikan. Dari sini bisa dimengerti mengapa sedemikian banyak kasus-kasus korupsi—seperti kasus Sumber Waras, Busway, tanah Cengkareng, juga proyek reklamasi—yang melibatkan Ahok hingga sekarang tak kunjung diproses. Hanya setelah ada tekanan dahsyat dari umat melalui Aksi 411 saja, Ahok dijadikan tersangka untuk kasus penistaan agama.

Namun belakangan, mereka merasa “membeli” terlalu mahal politikus dan partai politik. Lalu mereka berpikir, mengapa tidak memunculkan presiden dari kalangan mereka sendiri. Apalagi demokrasi di Indonesia sudah demikian longgar. Rakyat mudah dikuasai melalui market dan media massa. Mereka pun mudah dipecah-belah. Di sinilah mereka bertemu dengan fenomena Ahok.

Jadi, menurut Nanik, soal Ahok ini bukan masalah agama saja, tetapi ada masalah yang lebih besar. Kalau tidak, tentu tidak akan energi seluruh pejabat negeri ini ditumpahkan hanya untuk membela Ahok. Ahok adalah representasi kekuatan para pemilik modal besar untuk menguasai perekonomian melalui politik, juga sebagai kartu truf mereka untuk Pilpres 2019. Mereka ingin, setelah Ahok jadi gubernur DKI, nanti pada tahun 2019 ia dipasangkan sebagai Wapresnya Jokowi. Mereka sangat yakin bisa berhasil. Buktinya, mereka juga bisa menjadikan Jokowi sebagai presiden. Setelah itu, nanti pada tahun 2024 Ahok didorong menjadi presiden. Tentu untuk itu semua biayanya akan sangat mahal. Namun, bila rencana itu berhasil, pasca 2024 melalui tangan Ahok, seluruh negeri  ini, dari Sabang sampai Merauke, bisa mereka kuasai. Bila itu benar-benar terjadi nanti, maka kasus Singapura yang dulu didominasi Melayu—melalui rekayasa politik kini dikuasai Cina—akan  kembali terulang dengan skala yang lebih besar dan lebih dahsyat.

++++

Jadi, jelaslah bahwa demokrasi memang telah menjadi alat bagi para pemilik modal, baik dari Barat (asing) maupun dari Timur (aseng) untuk menguasai  negeri-negeri Muslim. Inilah penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Oleh karena itu, William Blum, penulis buku America’s Deadliest Export Democracy, menyebut demokrasi adalah alat dominasi Amerika Serikat—kini juga dipakai Cina—atas seluruh dunia. Simpulnya, demokrasi merupakan alat untuk menguasai dunia demi kepentingan ekonomi, politik dan ideologi.

Melalui demokrasi, lahirlah negara yang dikontrol oleh korporasi. Dominasi korporasi terhadap negara semakin mencengkeram setelah korporasi multinasional turut bermain. Mereka turut menentukan siapa yang menjadi pemimpin sebuah negara dan apa kebijakan negara tersebut.

Alhasil, dengan demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, tetapi kedaulatan pemilik modal; dari teokrasi dan otokrasi yang mereka jauhi ke korporatokrasi. Semakin lama negara-negara demokrasi berjalan, semakin masuk dalam ketundukan kepada pemilik modal. Selama dua abad ini, kekuasaan pemilik modal pun semakin kuat, bahkan lintas negara. Kekuatannya tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Lihatlah, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia, 49 adalah negara, 51-nya adalah korporasi.

Jadi, bagaimana caranya menghentikan Ahok? Mestinya kemarin ia jangan dicalonkan. Kalau sudah terjanjur dicalonkan, ya jangan dipilih. Namun, andaipun Ahok kali ini tidak terpilih, masih mungkin akan lahir ’Ahok-Ahok’ baru karena sistem demokrasi membolehkan orang seperti Ahok memimpin dan para pemilik modal terus bermain. Oleh karena itu, untuk mencegah munculnya ’Ahok-Ahok’ baru pada masa mendatang, corporated democracy—sistem yang memungkinkan dijadikan tunggangan pemilik modal bagi meraih kepentingan ekonomi, politik dan ideologi—tidak bisa tidak harus dihentikan![H. M. Ismail Yusanto]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*