Fungsi al-Liwa‘ dan ar-Rayah dalam Sejarah Islam


Rasulullah saw. adalah teladan yang baik (uswat[un] hasanah) bagi umat Islam (QS al-Ahzab [33]: 21). Apa saja yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. wajib diikuti oleh umat Islam. Sebaliknya, umat Islam haram menyelisihi beliau. Bendera (al-‘alam) termasuk perkara yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., juga Khulafaur-Rasyidin sesudah beliau. Bendera Rasulullah saw. ada dua macam yaitu Al-Liwa‘ (bendera putih) dan ar-Rayah (bendera hitam) bertuliskan: Lâa ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh. Menurut sebagian ulama seperti Imam Ibnul Atsir dalam kitabnya An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts, juga Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, Al-Liwa‘ dan ar-Rayah adalah sinonim (sama). Namun, pendapat yang râjih (lebih kuat), sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnul ‘Arabi, al-Liwa‘ berbeda dengan ar-Rayah. Dalilnya adalah hadis dari Ibnu ‘Abbas ra. yang mengatakan, “Rayah Rasulullah berwarna hitam, sedangkan Liwa‘-nya berwarna putih.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).Imam Ibnul ‘Arabi berkata, “Al-Liwa` berbeda dengan ar-Rayah. Al-Liwa` diikatkan di ujung tombak dan melingkarinya. Ar-Rayah diikatkan pada tombak dan dibiarkan hingga dikibarkan oleh angin.” (Abdul Hayyi al-Kattani, Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah [At-Tarâtib al-Idâriyyah], I/263).Makna Bendera/Panji Rasulullah saw.

Bendera Rasulullah saw., baik al-Liwa‘ (bendera putih) maupun ar-Rayah (bendera hitam) bukanlah sembarang bendera yang berhenti sebagai simbol. Keduanya mengekspresikan makna-makna mendalam yang lahir dari ajaran Islam. Di antara makna-makna di balik bendera Rasulullah saw. tersebut adalah: Pertama, sebagai lambang ‘Aqidah Islam. Pada al-Liwa‘ dan ar-Rayah tertulis kalimat syahadat: Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh. Kalimat inilah yang membedakan Islam dan kekufuran; kalimat yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Dalam hadis-hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Thabrani dari Buraidah ra.  diterangkan, “Rayah Nabi saw. berwarna hitam dan Liwa‘-nya berwarna putih.”

Ibnu Abbas ra. menambahkan, “Tertulis pada Liwa` Nabi saw. kalimat: Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh (Abdul Hayyi Al-Kattani, ibid., I/266).

Maka dari itu, sebagai simbol syahadat, bendera tersebut akan dikibarkan oleh Rasulullah saw. kelak pada Hari Kiamat. Bendera ini disebut oleh Rasulullah saw. sebagai Liwa‘ al-Hamdi (Bendera Pujian kepada Allah). Rasulullah saw. bersabda, “Aku adalah pemimpin anak Adam pada Hari Kiamat dan aku tidak sombong. Di tanganku ada Liwa‘ al-Hamdi dan aku tidak sombong.” (HR at-Tirmidzi).

Kedua, sebagai pemersatu umat Islam. Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh adalah kalimat yang mempersatukan umat Islam sebagai satu kesatuan tanpa melihat lagi keanekaragaman bahasa, warna kulit, kebangsaan ataupun mazhab dan paham yang ada di tengah umat Islam.

Imam Abdul Hayyi Al-Kattani menjelaskan rahasia tertentu yang ada di balik suatu bendera, yaitu jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtimâ’i kalimatihim) dan juga tanda persatuan hati mereka (ittihâdi qulûbihim). Dengan demikian kaum itu akan menjadi  bagaikan satu tubuh  (ka al-jasad al-wâhid) dan  akan terikat satu sama lain dalam satu ikatan yang bahkan jauh lebih kuat daripada ikatan antar saudara yang masih satu kerabat (dzawil arhâm) (Abdul Hayyi al-Kattani, ibid., I/266).

Ketiga, sebagai simbol kepemimpinan. Faktanya, al-Liwa‘ dan ar-Rayah itu selalu dibawa oleh komandan perang pada zaman Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Misalnya pada saat Perang Khaibar, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh aku akan memberikan ar-Rayah ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberikan kemenangan kepada dirinya.”

Umar bin al-Khaththab berkata, “Tidaklah aku menyukai kepemimpinan kecuali hari itu.” (HR Muslim).

Keempat, sebagai pembangkit keberanian dan pengorbanan dalam perang. Makna ini khususnya akan dirasakan dalam jiwa pasukan dalam kondisi perang. Pasalnya, dalam perang, pasukan akan terbangkitkan keberaniannya dan pengorbanannya selama mereka melihat benderanya masih berkibar-kibar. Pasukan akan berusaha mati-matian agar bendera tetap berkibar dan menjaga jangan sampai bendera itu jatuh ke tanah sebagai simbol kekalahan (Abdul Hayyi al-Kattani, ibid., I/267).

Bendera sebagai pembangkit semangat dan keberanian itu tampak jelas dalam Perang Mu’tah. Saat itu komandan perang yang memegang bendera berusaha untuk tetap memegang dan mengibarkan bendera walaupun nyawa taruhannya. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa yang memegang ar-Rayah dalam Perang Mu’tah awalnya adalah Zaid bin Haritsah, tetapi ia kemudian gugur. Ar-Rayah lalu dipegang oleh Ja’far, tetapi ia pun gugur. Ar-Rayah lalu berpindah tangan dan dipegang oleh Abdullah bin Rawwahah, tetapi ia akhirnya gugur juga di jalan Allah SWT (HR al-Bukhari, Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, IV/281).

Kelima, sebagai sarana untuk menggentarkan musuh dalam perang. Bagi diri sendiri bendera berfungsi untuk membangkitkan semangat dan keberanian. Sebaliknya, bagi musuh bendera itu menjadi sarana untuk memasukkan rasa gentar dan putus asa kepada mereka. Imam Ibnu Khaldun dalam kaitan ini menyatakan, “Banyaknya bendera-bendera itu, dengan berbagai warna dan ukurannya, maksudnya satu, yaitu untuk menggentarkan musuh…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, II/805-806).

 

Fungsi Bendera/Panji Rasulullah saw. Saat Perang dan Damai

Al-Liwa‘ dan ar-Rayah mempunyai fungsinya masing-masing, baik dalam kondisi perang maupun dalam kondisi damai. Berdasarkan kajian terhadap berbagai peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat, dapat disimpulkan hukum-hukum syariah mengenai fungsi al-Liwa‘ dan ar-Rayah sebagai berikut:

Pertama, dalam kondisi perang. Al-Liwa’ selalu menyertai panglima angkatan bersenjata (amîr al-jaisy) di mana pun dia berada. Pada dasarnya al-Liwa’ tidak dikibarkan, tetapi dibawa dalam keadaan terikat dengan tombak. Al-Liwa’ dapat dikibarkan jika setelah ada kajian strategis mengenai keamanannya.

Adapun ar-Rayah dibawa oleh komandan pertempuran (qâ’id al-ma’rakah) di medan perang. Jika Khalifah turut terjun di medan perang, Khalifah juga boleh membawa al-Liwa’.

Kedua, dalam kondisi damai. Al-Liwa’ menyertai para komandan pasukan (qâ’id al-jaisy) dalam keadaan terikat dengan tombak (tidak dikibarkan). Namun, al-Liwa’ boleh dikibarkan di markas-markas para komandan pasukan itu berada.

Sementara itu, ar-Rayah dikibarkan oleh masing-masing satuan pasukan, seperti batalion, kompi, dst. Setiap satuan itu dari segi administrasi boleh mempunyai rayah khusus yang dikibarkan di samping rayah yang standar.

Hukum-hukum syariah di atas adalah ketentuan penggunaan al-Liwa’ dan ar-Rayah untuk pasukan perang. Adapun untuk lembaga-lembaga negara Khilafah, seperti Baitul Mal (Kas Negara), Majelis Umat, termasuk instansi-instansi militer, maka yang dikibarkan hanyalah ar-Rayah saja. Kecuali di Darul Khilafah (Kantor Kekhalifahan), yang dikibarkan adalah al-Liwa’ mengingat Khalifah berkedudukan sebagai komandan pasukan (qâ’id al-jaisy). Dari segi administrasi, boleh pula di Darul Khilafah itu dikibarkan ar-Rayah di samping al-Liwa‘ mengingat Darul Khilafah adalah instansi tertinggi dari lembaga-lembaga negara yang ada.

Adapun lembaga-lembaga swasta, termasuk masyarakat umum, boleh membawa dan mengibarkan ar-Rayah di kantor-kantor atau rumah-rumah mereka, khususnya pada momentum Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, atau pada saat pasukan Khilafah memperoleh kemenangan, dan pada momentum-momentum lainnya (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah [fi al-Hukm wa al-Idârah], hlm. 172).

 

Bendera/Panji Rasulullah saw. dalam Sejarah Islam

Pada masa Khulafaur Rasyidin, al-Liwa‘ dan ar-Rayah mengikuti yang ada pada masa Rasulullah saw., yaitu al-Liwa‘ (bendera putih) dan ar-Rayah (bendera hitam) bertuliskan: Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh. Pada masa Khalifah Abu Bakar, misalnya, sebanyak 11 (sebelas) al-Liwa‘ dibawa pasukan Islam dalam perang untuk memerangi orang-orang murtad di berbagai pelosok Jazirah Arab (Ibnul Atsir, Al-Kâmil fî at-Târîkh, II/358).

Pada masa Khilafah Bani Umayyah, ar-Rayah mereka warnanya hijau. Sebagaimana disebutkan Imam al-Qalqasyandi, “Syiar mereka adalah warna hijau.” (Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah, II/805). Namun, sebagian sejarahwan seperti George Zaidan dalam bukunya, Târîkh at-Tamaddun al-Islâmi (I/88) menyebutkan warna ar-Rayah atau al-Liwa` masa Khilafah Umayah adalah hijau atau putih (Shalih bin Qurbah, Ar-Rayât wa al-A’lam fî at-Târîkh al-‘Askari al-Islâmi, hlm. 3).

Pada masa Khilafah Bani ‘Abbasiyah, al-Liwa’ dan ar-Rayah mereka berwarna hitam. Dengan demikian berakhirlah penggunaan warna hijau pada masa Khilafah Bani Umayah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qalqasyandi (Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah, II/805).

Pada masa Khilafah Utsmaniyah, pada al-Liwa‘ atau ar-Rayah mereka terdapat gambar hilal (bulan sabit), meneruskan tradisi yang dirintis oleh rezim Fathimiyyin di Mesir. Sebagian orientalis mengklaim bahwa rezim Fathimiyyin mengambil gambar hilal tersebut dari tradisi Kerajaan Bizantium yang menggunakan gambar bulan sebagai simbol mereka (Amin al-Khauli, Al-Jundiyah wa as-Silm, hlm. 149).

Namun, ahli sejarah yang lain menolak klaim tersebut. Mereka mengatakan bahwa simbol hilal tersebut diambil karena berhubungan dengan sebagian ibadah umat Islam, yaitu shaum Ramadhan dan Idul Fitri, juga karena ada hubungannya dengan salah satu mukjizat Rasulullah saw., yaitu terbelahnya bulan. (Shalih bin Qurbah, Ar-Rayât wa al-A’lam fî at-Târîkh al-‘Askari al-Islâmi, hlm. 3).

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, al-Liwa’ dan ar-Rayah pada masa Khilafah Utsmaniyah itu akhirnya berpengaruh ke negeri-negeri Islam yang berada di bawah pengaruhnya, termasuk Nusantara. Maka dari itu, tidaklah aneh jika di tengah-tengah masyarakat Nusantara berkembang bendera yang melambangkan syiar Islam tersebut, yaitu bendera bertuliskan Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh yang sering disertai simbol hilal (bulan sabit). Sebagai contoh, bendera pasukan Aceh saat berperang melawan Belanda, bentuknya mengikuti pola al-Liwa‘ atau ar-Rayah, yaitu bertuliskan: Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh. Demikian pula bendera Kesultanan Cirebon yang tampaknya merupakan kombinasi al-Liwa‘ atau ar-Rayah. Bendera ormas Muhammadiyah menggunakan kalimat  syahadat Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh (Deni Junaedi, Bendera Khilafah Representasi Budaya Visual dalam Budaya Global, hlm. 3).

 

Penutup

Setelah keruntuhan Khilafah di Turki tahun 1924, negeri-negeri Islam terpeca-belah atas dasar konsep nation-state (negara-bangsa) mengikuti gaya hidup Barat. Implikasinya, masing-masing negara-bangsa mempunyai bendera nasional dengan berbagai macam corak dan warna. Sejak saat itulah, al-Liwa‘ dan ar-Rayah seakan-akan tenggelam dan menjadi sesuatu yang asing di tengah masyarakat muslim.

Kondisi inilah yang mengakibatkan munculnya pandangan curiga dan sinis dari penguasa sekular terhadap bendera Islam yang bertuliskan Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh. Bendera yang dicontohkan sendiri oleh Rasulullah saw. ini pun kemudian sering dicap atau dihubungkan dengan terorisme atau radikalisme.

Pandangan curiga tersebut sesungguhnya lahir dari kebodohan yang nyata terhadap ajaran Islam selain karena adanya sikap taklid buta terhadap konsep nation-state (negara-bangsa) yang membelenggu dan memecah-belah umat Islam di seluruh dunia.

Alhasil, sudah saatnya umat Islam sadar dan kembali pada ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw., termasuk dalam persoalan bendera Islam ini.

WalLâhu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al Jawi]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*