Pernyataan Presiden Jokowi yang meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dan agama untuk menghindari gesekan antarumat, dinilai salah sasaran. “Ini salah sasaran. Seharusnya presiden itu menyerukan hadirkan agama dalam politik. Supaya politik itu menjadi politik yang benar, politik yang lurus, yang bermartabat,” ungkap Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.com, Sabtu (25/3/2017).
Menurut Ismail, kalau terjadi gesekan, itu pasti ada yang salah. Seperti apa? Seperti Ahok itu. Ini kan semua terjadi berawal dari Ahok yang menista agama. Itukan biangnya, Presiden semestinya menunjuk itu saja. Tapi alih-alih menunjuk itu, justri dia malah menampakan pembelaan terhadap Ahok, pembelaan terhadap penista agama dan sekarang dia menyerukan pemisahan agama dan politik.
Ismail menegaskan, agama tidak akan pernah bisa dipisahkan dari politik. Indonesia merdeka itu di antaranya justru karena pengaruh agama. Orang berani perang oleh karena dorongan agama, takbir itu dorongan agama, resolusi jihad itu dorongan agama. “Ini aneh, sampai ada presiden mengatakan seperti itu. Berarti dia tidak memahami sejarah dan tidak memahami peranan agama itu dalam politik di Indonesia,” bebernya.
Coba lihat dalam sejarah, lanjutnya, siapa yang paling berani menghadapi penjajah? Hari Pahlawan itu terjadi karena peristiwa Hotel Oranye. Itu semangat pemuda Surabaya melawan Belanda. Dengan semangat apa? Semangat jihad. Semangat jihad itu timbul karena ada Resolusi Jihad. Resolusi Jihad itu muncul karena pemahaman agama. Ada Pangeran Diponegoro, ada Imam Bonjol, ada Syarikat Islam, ada “Berkat Rahmat Allah” di dalam konstitusi.
“Kata ‘Allah’ itu kan kata-kata agama, jadi bagaimana bisa-bisanya Presiden mengatakan agama dan politik itu harus dipisahkan. Agama itu harus hadir dalam politik. Sebab kalau agama itu tidak hadir dalam politik maka politik tidak punya kekuatan, tidak punya spririt!” tegasnya.
Dan politik yang lepas dari agama menjadi politik Machiapelis seperti yang sekarang ini terjadi. Menjadi politik transaksional, menjadi politik duit. Korupsi muncul karena politik duit. “Apakah itu yang dikehendaki?” tanyanya retoris.[] Joko Prasetyo