Mengembalikan Kemuliaan dan Kewibawaan al-Liwa’ dan ar-Rayah

liwa dan royaAl-Liwa’ dan ar-Rayah adalah nama untuk bendera dan panji Rasulullah saw. Walaupun sama-sama disebut sebagai bendera (al-’alam), keduanya memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda. Al-Liwa berwarna putih dengan tulisan khath berwarna hitam ”La ilaha illalLah Muhammad RasululLah.” Al-Liwa’ disebut juga ar-rayah al-’azhim (panji agung); berfungsi sebagai bendera negara atau simbol kedudukan pemimpin. Panji ini tidak dipegang kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan brigade pasukan (amir jaisy), yakni Khalifah atau orang yang menerima mandat dari Khalifah sebagai simbol kedudukan komandan pasukan. Al-Liwa’ menjadi pertanda posisi amir atau komandan pasukan dan turut beredar sesuai peredaran amir atau komandan pasukan itu.Adapun ar-Rayah adalah panji berwarna hitam, dengan tulisan khath berwarna putih, “La ilaha illalLah Muhammad RasululLah.” Ukuran bendera ini lebih kecil daripada al-Liwâ’; digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan (satuan-satuan pasukan [katâ’ib]). Bendera ini tersebar sesuai dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan sehingga berjumlah lebih dari satu.Banyak hadis yang menjelaskan tentang al-Liwa’ dan ar-Rayah ini, di antaranya dari Ibn Abbas ra.:

«كَانَ لِوَاءُ -صلى الله عليه وسلم- أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ»

Bendera (Liwâ’) Rasulullah saw. berwarna putih dan panji (Râyah)-nya berwarna hitam (HR al-Hakim, al-Baghawi dan at-Tirmidzi).

Dari Ibn Abbas ra. juga dinyatakan:

«كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ»

Panji (Râyah) Rasulullah saw. berwarna hitam dan bendera (Liwâ’)-nya berwarna putih, tertulis padanya: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh  (HR ath-Thabrani).

Dari Jabir bin Abdullah ra. juga dituturkan:

«أَنَّ النبي -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ»

Sungguh Nabi saw. Itu, Liwa’-nya pada Hari Penaklukkan Kota Makkah, berwarna putih (HR Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban).

Dari al-Hasan ra. pun dikatakan:

«كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ»

Râyah Nabi saw. berwarna hitam disebut al-‘Uqab (HR Ibn Abi Syaibah).

Kemuliaan dan Kewibawaan al-Liwa’ dan ar-Rayah

Di dalam Islam, sesungguhnya bendera menduduki posisi yang sangat tinggi. Dulu bendera ini selalu diusung oleh tangan yang suci dan mulia, tangan Baginda Rasulullah saw., di atas sebilah tombak dalam setiap peperangan dan ekspedisi militer. Panji dan bendera juga memiliki kedudukan yang sangat mulia karena di dalamnya bertuliskan kalimat tauhid yang mulia, “La Ilaha illalLah Muhammad RasululLah.

Meskipun bendera ini hanya selembar kain yang akan berkibar bila tertiup angin, di hati musuh-musuh Islam, ia laksana sambaran tombak dan panah yang melesat secepat kilat. Sebaliknya, kecintaan pembawa bendera terhadap benderanya melebihi cintanya seorang yang dimabuk asmara.

Begitu mulianya kedudukan bendera ini, Nabi saw. pernah menyerahkannya kepada beberapa sahabat yang sangat pemberani, seperti Ja’far ath-Thiyar, Ali bin Abi Thalib dan Mush’ab bin Umair. Para sahabat ini senantiasa menjaga bendera dan panji ini dengan penjagaan yang sangat sempurna. Mereka menjaganya dengan sepenuh jiwa.

Para sahabat yang pemberani, rela terbunuh untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi bendera itu hingga ajal mereka. Semua itu dilakukan karena penghormatan dan pengagungan mereka terhadap panji dan bendera Rasulullah saw. Bahkan mereka rela berkorban untuk menjaga bendera itu. Sebab, bendera adalah simbol kebenaran, simbol jihad dan simbol tauhid. Bendera juga merupakan simbol kemuliaan, keagungan dan kewibawaan.

Untuk menggambarkan kemuliaan, keagungan dan kewibawaan bendera dan panji Rasulullah saw., cukuplah kisah Mush’ab bin Umair pada Perang Uhud dalam mempertahankan panji Rasulullah saw. sebagai pelajaran yang menyentuh hati siapapun yang mengimani Allah dan Rasul-Nya.

Mush’ab bin Umair terus membawa bendera tersebut. Lalu datanglah Abu Qamiah, dengan mengendarai kuda, menyabetkan pedangnya hingga tangan kanannya putus. Namun Mush’ab bersyair dengan lantang: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul (TQS Ali Imran [3]: 144).

Lalu bendera itu ia ambil dengan tangan kirinya. Ia terus bertahan. Namun, tangan kirinya berhasil ditebas oleh orang kafir. Lalu ia menelungkupkan bendera itu di dada dan lehernya. Dia lalu mengulang lantang Quran Surat Ali Imran ayat 3. Kemudian datanglah serangan ketiga. Akhirnya, beliau menemui syahid. Tombaknya patah. Mush’ab tersungkur ke tanah. Benderanya pun jatuh, kemudian diambil oleh Abu ar-Ruum bin Harmalah. Tatkala kaum Muslim kembali ke Madinah bendera itu terus ia pegang hingga memasuki Madinah.

Hadis-hadis yang berbicara tentang bendera merupakan hadis yang membicarakan salah satu bagian dari sistem pemerintahan Islam, yakni bagian dari atribut kenegaraan Daulah Islamiyah, juga sebagai simbol tertinggi dalam menjalankan misi-misi Daulah Islam. Para sahabat besar sangat memperhatikan hal tersebut. Pada Perang Khaibar Rasulullah saw. bersabda:

«لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ»

Sungguh aku akan memberikan ar-Râyah ini esok hari kepada seseorang, yang ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya; ia mencintai Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Malam harinya semua orang tidak tidur dan memikirkan siapa di antara mereka yang besok akan diserahi bendera itu.

Adanya mandat resmi dalam mengemban al-Liwâ’ dan ar-Rayah ini menunjukkan bahwa ia adalah simbol negara sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah saw. sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (Daulah Islam).

 

Al-Liwa’ dan ar-Rayah Kini

Sungguh kemuliaan dan kewibawaan al-Liwa’ dan ar-Rayah terus terjaga selama beberapa abad lamanya hingga berakhir dengan tragis setelah muncul dan berkembangnya nasionalisme dan negara bangsa (nation state). Keduanya menjadi faktor utama keruntuhan Khilafah Islamiyah pada 3 Maret 1924. Dalam nation-state, rakyat mengidentifikasi diri mereka sebagai sebuah “bangsa” (nation), yaitu suatu komunitas manusia yang menganggap dirinya satu kesatuan berdasarkan kesamaan etnis, sejarah, bahasa, budaya, atau faktor pemersatu lainnya.

Gagasan nation-state telah menjadi racun yang mematikan karena telah menimbulkan disorientasi jatidiri, juga disintegrasi dan perpecahan kaum Muslim. Gara-gara ide nasionalisme yang terkandung dalam konsep nation-state, umat Islam mengalami disorientasi jatidiri sehingga tersesat dalam mengidentifikasi-kan dirinya. Sebagai contoh, umat Islam dari berbagai bangsa, seperti Turki dan Arab, yang awalnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai umat Islam” yang dipersatukan dengan akidah Islam, akhirnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai bangsa Turki” dan “bangsa Arab. Inilah racun yang menjadi cikal-bakal disintegrasi dan perpecahan umat Islam.

Ada juga faktor eksternal berupa konspirasi kafir penjajah untuk memaksakan perpecahan umat Islam melalui Perjanjian Sykes-Picot pasca Perang Dunia I (1914-1918). Menurut perjanjian ini, Inggris dan Prancis sepakat untuk membagi Dunia Arab di antara mereka berdua. Inggris mengambil kendali atas Irak, Kuwait dan Yordania. Prancis diberi Suriah modern, Lebanon dan Turki selatan. Adapun status Palestina ditentukan kemudian, dengan memperhitungkan ambisi Zionis. Zona kontrol yang diberikan kepada Inggris dan Prancis memperbolehkan beberapa jumlah pemerintahan Arab sendiri di beberapa wilayah meskipun dengan kontrol Eropa atas kerajaan-kerajaan Arab tersebut. Di wilayah lain, Inggris dan Prancis dijanjikan kontrol total.

Dalam perkembangan selanjutnya, negeri kaum Muslim yang dulunya ada dalam satu negara, yakni Negara Khilafah, dan satu orang pemimpin, yakni Khalifah, menjadi terpecah-belah dalam negara-bangsa (nation state). Mereka memiliki batas wilayah, penguasa, identitas kebangsaan dan bendera sendiri. Paling tidak, saat ini ada sekitar 57 negara-bangsa dan 57 bendera negara yang dulunya ada dalam wilayah Khilafah Islam. Sejak itulah keberadaan al-Liwa’ dan ar-Rayah menjadi asing dan terasingkan. Kemuliaan dan kewibawaannya seketika hilang diganti dengan simbol-simbol murahan yang dipaksa untuk dikeramatkan.

Upaya mengalienasi syariah Islam dan simbol pentingnya, termasuk di antaranya al-Liwa’ dan ar-Rayah, dilakukan secara sistematis oleh negara kafir penjajah dengan dibantu oleh penguasa anteknya di negeri kaum Muslim. Al-Liwa’ dan ar-Rayah yang dulu dimuliakan, diagungkan, bahkan orang-orang terbaik berharap untuk mengusungnya, kini distigmatisasi. Tujuannya adalah agar umat Islam menjauhinya. Kemunculan ISIS dengan bendera tauhidnya, yang sangat jauh dari konsep Khilafah yang benar—bahkan diidentikkan oleh media dengan kekejaman dan dibiarkan oleh negara kafir penjajah—adalah bukti ada upaya monsterisasi Khilafah, sekaligus monsterisasi simbol-simbolnya. Ekspos berita ISIS di berbagai media telah berhasil” membuat stigma negatif bahkan kriminalisasi terhadap Khilafah Islam dan bendera tauhidnya. Kasus penangkapan Nurul Fahmi yang mengusung bendera merah putih bertuliskan kalimat tauhid “La Ilaha IllalLah Muhammad RasululLah” serta pengambilan paksa ar-Rayah ketika kedatangan Raja Salman oleh Kepolisian adalah bukti bahwa kriminalisasi telah dan sedang dilangsungkan.

 

Erat Kaitannya dengan Khilafah dan Jihad

Al-Liwa’ dan ar-Rayah sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan Daulah Islam/Khilafah dan jihad fi sabilillah. Liwa’’ (bendera) adalah bendera resmi Daulah Islam pada masa Rasulullah saw. dan para Khalifah setelah beliau. Ini adalah kesimpulan Imam as-Sarakhsi, yang dikuatkan dalam kitab Syarh as-Sayr al-Kabir karya Imam Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah. Disimpulkan: “Liwa’ adalah bendera yang berada di tangan penguasa. Ar-Rayah adalah panji yang dimiliki oleh setiap pemimpin divisi pasukan, di mana semua pasukan yang ada dalam divisinya disatukan di bawah panji tersebut. Liwa’ hanya berjumlah satu buah untuk keseluruhan pasukan. Liwa’ digunakan sebagai patokan pasukan ketika mereka merasa perlu untuk menyampaikan keperluan mereka ke hadapan penguasa (Imam). Liwa’ dipilih berwarna putih. Ini ditujukan agar ia bisa dibedakan dengan panji-panji berwarna hitam yang ada di tangan para pemimpin divisi pasukan.

Sejak Daulah Islamiyah (Negara Islam) berdiri pada masa Rasulullah saw., beliau mulai membangun pilar-pilar negara Islam, menjaga stabilitas keamanan negara dengan berbagai cara yang dibenarkan syariah, mengirimkan delegasi ke negara-negara tetangga, dan melakukan futuhat dengan jihad fi sabilillah.

Para ulama sirah berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah peperangan, ekspedisi militer serta utusan-utusan yang dilakukan Rasulullah saw. Ada yang mengatakan 25 peperangan. Ada yang berpendapat 26. Ada yang menyatakan 27. Ada juga yang mengatakan 29 peperangan. Rasulullah saw. tidak hanya melakukan peperangan, tetapi juga mengirimkan ekspedisi militer dan utusan-utusan untuk memberikan pelajaran kepada orang munafik, Yahudi dan bangsa Arab sekitarnya. Ekspedisi militer (saraya) ini ada yang mengatakan 47 kali hingga 70 kali.

Di dalam perang dan ekspedisi militer beliau menyerahkan al-Liwa’ kepada sahabat beliau yang terpercaya. Di antara sahabat yang diberi kepercayaan memegang bendera tersebut di antaranya: Hamzah bin Abdul Muthallib, Saad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Mush’ab bin Umair, Saad bin Muadz, Hubbab bin Mundzir, Usaid bin Hudhair, Saad bin Ubadah, Abu Bakar Shiddiq, Zubair bin Awam, Saad bin Abi Waqash, dan sahabat lainnya.

Salah seorang sahabat yang dipercaya membawa bendera dalam ekspedisi Perang Mu’tah adalah anak paman Rasulullah saw, Ja’far bin Abi Thalib. Beliau membawa bendera dengan tangan kanannya. Namun, tangannya berhasil ditebas. Lalu bendera itu dibawa dengan tangan kirinya. Lagi-lagi tangan kirinya berhasil ditebas. Selanjutnya ia menggamit bendera dengan lengan atasnya, hingga ia menemui syahid. Saat itu beliau ra. baru berumur 33 tahun.

Fakta sejarah tersebut menunjukkan kepada kita bahwa al-Liwa’ dan ar-Rayah tidak bisa dipisahkan dari Negara Khilafah dan Jihad fi Sabilillah. Karena itu satu-satunya jalan untuk mengembalikan kemuliaan, keagungan dan kewibawaan al-Liwa’ dan ar-Rayah adalah mewujudkan kembali Khilafah Islamiyah serta Jihad fi Sabilillah. [Luthfi Afandi, SH. MH.]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*