Rindu pemimpin Islam. Begitulah kiranya salah satu fenomena yang tampak beberapa waktu ini. Awal Maret 2017, masyarakat begitu antusias menyambut kehadiran Raja Salman dari Kerajaan Arab Saudi. Alhamdulillah, bi qadarillâh, sesaat sebelum kehadiran beliau di Bogor, saya ditakdirkan melewati sekeliling jalan Kebun Raya. Tampak di sana hiruk-pikuk penyambutan. Bendera dan spanduk bertebaran. Saya dapat merasakan detak jantung masyarakat kala itu. Ada salah satu spanduk bertuliskan Bahasa Arab yang menarik perhatian. Maknanya kurang lebih, “Duhai Raja, sampaikan kepada Presiden Jokowi, jangan lindungi Ahok.”
Spanduk itu barangkali wakil dari suara hati banyak orang. Betapa tidak, umat Islam melakukan aksi berkali-kali dengan mengerahkan jutaan orang untuk menuntut sang penista al-Quran dihukum. Namun, sang penista tetap melenggang. Dia malah bebas berkampanye dan menikmati fasilitas negara sebagai gubernur. Perasaan luka umat Islam akibat agamanya dihina malah dibalas dengan tudingan bahwa mereka antikebhinekaan, antikeragaman, bahkan intoleransi. Presiden tak bisa diharap. Para anggota DPR diam seribu bahasa. Para aktivitas yang selalu berkoar-koar tentang hak asasi manusia pun membisu. Masyarakat kehilangan pemimpin yang berpihak kepada mereka, pada akidah mereka, pada al-Quran mereka, kepada Islam.
Di tengah kondisi demikian, kehadiran Raja Salman Khâdimul Haramain, dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai harapan. Ibarat musafir yang kehausan di padang pasir, lalu datanglah air. Terlepas dari tidak terkabulnya harapan itu, itulah harapannya.
Ada pelajaran penting dari peristiwa itu. Pelajaran itu adalah masyarakat sangat merindukan pemimpin Islam.
***
Pada saat yang tidak berselang lama, saya ada aktivitas di Jakarta. Oleh karena kondisi macet, saya naik ojek menuju lokasi acara. Cukup jauh. Sepanjang perjalanan saya ngobrol dengan tukang ojek. Salah satu obrolan itu tentang pemimpin. “Kita ini ‘kan Muslim, Pak. Masa iya dipimpin oleh bukan Islam,” ujarnya saat saya tanya pendapatnya tentang kepemimpinan DKI Jakarta.
“Ada orang bilang, Muslim atau bukan Muslim tidak ada pengaruhnya. Bagaimana dengan hal ini?” tanya saya.
Ia mengatakan, “Pasti beda, Pak. Coba saja perhatikan, masa penyembelihan hewan kurban dilarang di tempat umum, hanya boleh di tempat jagal. Monas tidak boleh digunakan untuk pengajian, tetapi untuk hura-hura tahun baru dibiarkan. Gubernur non-Muslim itu pun melarang guru dan kepala sekolah memerintahkan para siswi mengenakan jilbab. Beda atuh, Pak,” paparnya panjang lebar.
Berikutnya, saya naik taksi. Obrolan pun dimulai. “Meskipun saya ini hanya sekadar sopir taksi, gini-gini juga saya Muslim, Pak. Kalau pemimpin ya harus Islam,” paparnya.
“Salah satu syarat seorang pemimpin dalam Islam itu harus beragama Islam, Pak Bambang, tetapi juga harus menerapkan Islam,” ungkap saya.
Ia pun merespon, “Setuju, Pak. Itu mantap banget!” Ia segera menambahkan, “Bila ada pemimpin zalim beragama Islam dan ada pemimpin kafir yang adil, menurut saya yang bodoh tetap saja pemimpin itu harus Islam. Sebab, seperti kata bapak, agama Islam itu syarat sahnya pemimpin. Adapun zalim itu kan tindakan sesudah memimpin. Apalagi, masa iya sih tidak ada pemimpin Islam yang adil. Pasti ada. Bukan sombong, saya ini korban penggusuran. Sekarang pindah ke pinggiran Bekasi.”
Dari dua obrolan sederhana itu, ada benang merah yang sama. Mereka sama-sama merindukan pemimpin Islam. Apalagi gairah untuk menolak kepemimpinan kafir sangat kuat. Bahkan ada kelompok masyarakat yang mengumumkan tidak mau mengurusi mayat orang yang mendukung penista al-Quran dan kafir sebagai pemimpin.
Terlepas saya kurang sependapat dengan hal terakhir, semua ini menggambarkan betapa umat Islam sangat merindukan kepemimpinan Islam. Hanya saja sering para pemimpin merekalah yang justru menghalang-halanginya.
Dalam acara ‘Ngobrol Politik’ alias ‘Ngopi’ pekan lalu, saya ditanya seorang peserta, apa yang dimaksud pemimpin Islam yang seharusnya dirindukan masyarakat. Saya sampaikan bahwa pemimpin Islam yang sejatinya dirindukan itu adalah pemimpin Muslim yang menerapkan seluruh aturan/syariah Islam secara kâffah serta menyatukan umat Islam sebagai ummat[an] wahidah.
***
Gejala ini akan makin menguat. Bukan hanya ingin pemimpin beragama Islam, melainkan juga ingin agar sistem yang diterapkan pun adalah Islam. Penelitian Setara Institute pada Mei 2016 menyimpulkan bahwa 58% siswa SMA di Jakarta dan Bandung setuju seluruh aspek kehidupan diatur oleh syariah Islam. Bahkan 11% para siswa itu setuju Khilafah. Bayangkan, para siswa SMA ini dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan akan menjadi kelas menengah ke atas. Hal ini akan mendorong pembentukan kelas menengah ke atas yang rindu akan syariah Islam dan kepemimpinan Islam.
Pada tahun 2016 juga, Smarta menyampaikan penelitiannya bahwa 66,9% masyarakat setuju diterapkan syariah Islam. Fenomena rindu pemimpin Islam tampaknya merupakan perkara yang akan terus menguat pada tahun-tahun mendatang.
Menarik apa yang disampaikan oleh KH. Prof. Didin Hafidhuddin (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia/MUI). Beliau mendorong agar umat Islam tetap memiliki optimisme luar biasa terkait kepemimpinan dan kebangkitan umat Islam ini. “Berbagai masalah saat ini jangan membuat kita putus asa. Kita harus terus mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan ber-taqarrub kepada Allah, insya Allah akan diberikan berbagai rahmat dan solusi kepada kita semua,” tegasnya dalam acara Tabligh Akbar di Masjid Az-Zikra (19/3/2017).
Ustadz Didin, panggilan saya dari dulu kepada beliau, mengatakan, “Kalau kita bersatu dalam barisan yang solid, semua saling berkolaborasi antarkelompok, antargerakan umat Islam, insya Allah potensi yang ada itu akan menjadi kekuatan yang dahsyat.”
Optimisme ini bukanlah sekadar harapan, melainkan ditopang oleh lima potensi besar umat Islam. Menurut mantan Ketua Baznas ini, potensi umat Islam itu adalah ajaran Islam yang luar biasa, umat Islam yang kian bertambah termasuk di Eropa dan Amerika, sumberdaya alam yang besar, potensi sejarah gemilang umat Islam, dan potensi pertolongan dari Allah SWT. “Peradaban Islam itu sangat manusiawi dan luar biasa, semua ilmu pengetahuan muncul saat peradaban Islam berkuasa,” tegasnya.
Perkembangan masyarakat makin memberikan gambaran bahwa umat Islam makin merindukan pemimpin Muslim dan penerapan syariah Islam secara kâffah. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]