Sejak 2 April hingga 23 April Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan kampanye Masirah Panji Rasulullah saw. Bahkan pemanasannya sudah dimulai sejak Maret lalu. Sebagaimana namanya, kegiatan ini berupa masirah (semacam longmarch) dengan membawa aL-Liwa dan ar-Rayah Rasulullah saw. secara maraton dari kota ke kota. Para peserta ada yang konvoi dengan mobil dan motor, ada juga yang berjalan kaki. Mereka mengibarkan al-Liwa’ dan ar-Rayah sepanjang perjalanan. Kegiatan ini dimulai dari ujung timur Indonesia, Papua dan dari ujung barat Indonesia, Aceh. Semuanya menuju Jakarta.Mengapa kampanye ini dilakukan? Mengapa pula panji Rasulullah saw lebih difokuskan? Untuk mengupasnya, wartawan majalah Al-Waie, Joko Prasetyo, mewawancarai Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Rokhmat S Labib. Berikut petikannya. Apa latar belakang kampanye Masirah Panji Rasulullah diadakan?Kampanye ini merupakan bagian dari kegiatan kita dalam momentum Rajab. Sebagaimana kita ketahui, pada bulan Rajab ada beberapa kejadian penting bagi umat Islam. Selain peristiwa Isra’ Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 dan selalu diperingati di negeri ini, juga ada peristiwa besar lainnya yang menimpa umat Islam. Apa itu? Yakni pembubaran Khilafah Islamiyah di Turki oleh Mustafa Kemal pada 28 Rajab 1342 H. Peristiwa tersebut bertepatan dengan 3 Maret 1924. Sejak itu umat Islam di seluruh dunia hidup tanpa Khilafah.
Keruntuhan Khilafah menjadi tragedi besar bagi umat Islam. Tanpa Khilafah, Islam tidak dapat diterapkan secara kaffah. Sebaliknya, yang diterapkan malah hukum-hukum kufur. Umat Islam pun terpisah-pisah oleh sekat-sekat negara-negara kebangsaan. Mereka tidak lagi memiliki junnah atau perisai yang melindungi mereka. Para penguasa alih-alih menjadi pelindung bagi umat Islam, mereka bahkan menjadi kaki tangan bagi negara-negara kafir penjajah. Akibatnya, keadaan mereka yang lemah dan tercerai-berai makin memudahkan musuh untuk mengalahkan mereka; bahkan menjajah dan membantai mereka. Ringkasnya, ketiadaan Khilafah merupakan umm al-jarâim, biang segala kejahatan.
Oleh karena itu, harus ada upaya keras dan sungguh-sungguh dari umat Islam untuk mengembalikan Khilafah dalam kehidupan. Perjuangan menegakkan Khilafah wajib dijadikan sebagai agenda utama bagi umat; bahkan menjadi al-qadhiyyah al-mashîriyyah, perkara amat penting hingga menyangkut hidup mati umat ini.
Ini pula yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir sejak awal berdirinya. Hizbut Tahrir tak pernah berhenti mengajak umat untuk berjuang bersama. Nah, khusus pada bulan Rajab ini kita lebih menggiatkan berbagai kegiatan dengan tema Khilafah. Rajab tahun ini kita mengangkat tema ‘Khilafah Kewajiban Syar’i, Jalan Kebangkitan Umat’. Tema ini kita usung dalam berbagai kegiatan, termasuk dalam tiga kegiatan besar yang kita adakan di bulan Rajab ini.
Apa saja itu?
Pertama: Masirah Panji Rasulullah saw. Sebagaimana namanya, kegiatan ini berupa masirah, semacam longmarch, dengan membawa al-Liwa’ dan ar-Rayah Rasulullah saw. secara maraton dari kota ke kota. Para peserta ada yang konvoi dengan mobil dan motor, ada juga yang berjalan kaki. Mereka mengibarkan al-Liwa’ dan ar-Rayah sepanjang perjalanan. Kegiatan ini dimulai dari ujung timur Indonesia, Papua dan dari ujung barat Indonesia, Aceh. Semuanya menuju Jakarta. Masirah ini berlangsung mulai 2 April hingga 23 April.
Kedua: Tablig akbar. Setelah para peserta pawai dan konvoi membawa al-Liwa’ dan ar-Rayah dari tempat masing-masing, mereka kemudian berkumpul di satu tempat, untuk mengikuti tablig akbar yang kita adakan. Kegiatan ini diselenggarakan di 36 kota.
Ketiga: Indonesia Khilafah Forum (IKF). Khusus di Jakarta disebut International Khilafah Forum karena melibatkan pembicara dan peserta dari luar negeri. Kegiatan ini dilakukan pada sore atau malamnya dengan mengundang para tokoh dari berbagai kalangan untuk membahas lebih dalam tentang Khilafah. Berbeda dengan tablig akbar yang sifatnya searah, IKF ini dikemas lebih banyak dialog dan diskusi.
Dengan demikian Masirah Panji Rasulullah saw. adalah salah satu di antara kegiatan Rajab yang tema utamanya adalah tentang Khilafah. Namun, pada Rajab tahun ini kita menambahkan konten lain, yakni mengenalkan secara masif al-Liwa’ dan ar-Rayah Rasulullah saw. ke tengah umat.
Jadi, apa yang difokuskan dalam kegiatan Rajab tahun ini?
Sebagaimana tema yang kita tetapkan, kita ingin menyampaikan dua hal penting tentang Khilafah. Pertama: Khilafah adalah kewajiban syar’i, bukan ‘aqli. Kesimpulan hukum itu merupakan mujma’ ‘alayhi, perkara yang disepakati oleh para ulama mu’tabar. Hingga menjadi kesepakatan, tentu didasarkan pada dalil-dalil yang jelas dan kokoh.
Oleh karena itu kita ingin menegaskan bahwa menegakkan Khilafah merupakan kewajiban dari Allah SWT. Jika Allah SWT Tuhan semesta alam telah mewajibkan Khilafah, lalu atas dasar apa kita berani menolak perintah-Nya? Tidakkah kita takut dengan siksa-Nya yang pedih jika kita berani membangkang perintah-Nya?
Kedua: Khilafah adalah jalan kebangkitan bagi umat. Telah maklum bahwa umat Islam sekarang terpuruk dalam semua aspek. Penyebab utamanya sangat jelas: karena meninggalkan hukum Allah SWT. Ironisnya, yang diterapkan justru sistem buatan negara-negara kafir penjajah, seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme dan demokrasi. Maka dari itu, untuk membebaskan umat ini dari semua keterpurukan ini adalah mencampakkan semua sistem itu dan menggantinya dengan Islam. Dengan kata lain, terapkan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah. Itulah jalan satu-satunya bagi umat ini untuk bangkit dari semua keterpurukan dan kemorosotan. Bukankah Islam ketika diterapkan secara kaffah akan menghasilkan rahmatan li al-‘alamîn? Bukankah Allah SWT telah menjanjikan kepada penduduk suatu negeri yang mau beriman dan bertakwa akan dicurahkan berkah dari langit dan bumi?
Atas dasar itu, kita berharap sambutan umat terhadap perjuangan penegakan Khilafah semakin besar.
Lalu kaitannya dengan al-Liwa’ dan ar-Rayah Rasulullah saw. yang masif dikampanyekan?
Keduanya memiliki keterkaitan erat dengan Khilafah. Al-Liwa’ dan ar-Rayah adalah panji dan bendera Rasulullah saw., sekaligus panji dan bendera Daulah Khilafah.
Menurut pengamatan kami, penerimana umat terhadap Khilafah, alhamdulillah, semakin besar. Opini tentang kewajiban Khilafah juga kian meluas. Dukungan terhadap perjuangan Khilafah semakin meningkat. Karena itu kita perlu juga mengenalkan beberapa hal lain terkait dengan Khilafah. Di antaranya yang kami anggap penting adalah al-Liwa’ dan ar-Rayah. Karena al-Liwa’ dan ar-Rayah adalah panji dan bendera Daulah Khilafah, kita berharap umat akan semakin rindu dengan Khilafah. Tatkala mereka melihat al-Liwa’ dan ar-Rayah berkibar, maka ingatan mereka langsung tertuju pada Khilafah.
Bisa dijelaskan keistimewaan keduanya?
Yang jelas, ini adalah panji (rayah) dan bendera (liwa) yang dibawa oleh Rasulullah saw. Banyak riwayat yang menjelaskan itu. Di antaranya adalah Hadits riwayat an-Nasai dan at-Tirmidzi yang berasal dari Jabir bahwa ketika Rasullah saw. masuk ke Makkah, beliau membawa al-Liwa’ yang berwarna putih. Dalam Hadis ath-Thabarani yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, diterangkan bahwa al-Liwa’ adalah bendera putih yang bertuliskan kalimat Lâ ilâha illâl-Lâh Muhammadur RasûluLlâh yang berwarna hitam. Al-Liwa’ inilah yang diserahkan Rasulullah saw. kepada Usamah bin Zaid sebagai panglima perang yang dikirim ke Romawi.
Adapun ar-Rayah, menurut hadis riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai dari al-Bara’ bin ‘Azib adalah bendera berwarna hitam persegi panjang yang terbuat dari Namirah. Sebagaimana liwa, di dalamnya terdapat tulisan Lâ ilâha illâlLâh Muhammadur RasûlulLâh dengan berwarna putih. Rayah itu pula yang diserahkan Rasulullah saw. kepada Sayidina Ali ra. dalam Perang Khaibar. Rayah Rasulullah saw ini disebut juga al-‘Uqab.
Rasulullah saw tidak pernah membawa bendera kecuali dua bendera itu: al-Liwa’ dan ar-Rayah. Karena itu disimpulkan, itulah panji dan bendera yang disyariahkan Rasulullah saw. sehingga wajib diambil dan diteladani oleh umatnya. Para Khulafâ‘ ar-Râsyidûn dan para khalifah sesudahnya juga telah meneladani demikian. Mereka menjadikan keduanya sebagai panji dan bendera mereka. Karena berasal dari Rasulullah saw., adakah panji dan bendera yang lebih istimewa dan lebih agung dari keduanya?
Selain itu?
Umat Islam adalah ummah wâhidah, umat yang satu. Kesamaan umat itu terwujud dalam banyak hal, mulai dari Tuhannya, Kitabnya, Rasulnya, kiblatnya, dan lain-lain. Semuanya sama. Karena itu mereka layak disebut sebagai ummah wâhidah. Pensyariatan al-Liwa’ dan ar-Rayah sebagai panji dan bendera umat Islam menambah deretan bukti bahwa umat Islam adalah ummah wâhidah, umat yang satu. Karena itu ketika kita ingin menyatukan kembali umat Islam sebagaimana ketika Khilafah belum runtuh, kita perlu mengingatkan kepada mereka bahwa kita memiliki satu panji dan bendera yang sama, yakni al-Liwa’ dan ar-Rayah yang diwariskan Rasulullah saw. Itulah panji dan bendera yang menyatukan kita.
Patut diingat, al-Liwa’ dan ar-Rayah bukan sekadar panji dan bendera yang berwarna putih atau hitam. Bukan. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah tulisan yang tertera di dalamnya. Apa itu?
Kalimat: Lâ ilâha illâl-Lâh Muhammadur RasûluLlâh…
Ya, benar. Itu adalah dua kalimat amat penting. Dua kalimat itulah yang menjadi pembatas antara keimanan dan kekufuran. Siapa yang mengimaninya beserta semua turunannya dikategorikan sebagai Mukmin. Sebaliknya, siapa pun yang mengingkarinya terkategori sebagai kafir. Konsekuensi dari kategori itu sangat besar. Yang satu disebut sebagai khayr al-bariyyah, sebaik-baik makhluk. Yang lain dinyatakan sebagai syarr al-bariyyah, seburuk-buruk makhluk. Yang satu akan menjadi penghuni surga. Yang lainnya ditempatkan di dalam neraka dan ditetapkan sebagai penghuninya selama-lamanya.
Dalam konteks negara, dua kalimat itu seolah menegaskan perkara yang menjadi asas bagi Daulah Khilafah, yakni akidah Islam yang teringkas dalam dua kalimat tersebut: Lâ ilâha illâl-Lâh Muhammadur RasûluLlâh. Konsekuensinya, seluruh interaksi, pemikiran dan perundang-undangan yang berlaku di dalam Daulah Islam bersumber dari Islam.
Lalu bagaimana dengan adanya upaya sistematis untuk menyudutkan bahkan mengkriminalisasi panji dan bendera Rasulullah saw. saat ini?
Tindakan itu, jika dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Muslim, sungguh sangat aneh. Betapa tidak. Bagaimana mungkin ada sesorang yang menyudutkan bendera warisan Rasulullah saw. yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Bukankah dua kalimat itu yang membuat mereka dapat dikategorikan sebagai Muslim? Jika mereka membenci apalagi mengkriminalisasinya, lalu di mana letak keimanan mereka?
Saya juga ingin mengingatkan kepada siapa pun yang melakukan itu, bahwa kalimat syahadat adalah miftâh al-jannah, kunci surga. Bagaimana bisa dia dimasukkan ke dalam surga di akhirat kelak, sementara ketika di dunia dia menganggap kunci surga itu sebagai sebuah simbol kejahatan atau tindakan kriminal?
Oleh karena itu, semua tindakan yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan umat Islam terhadap al-Liwa’ dan ar-Ryah harus dicegah. Jangan sampai umat terpengaruh dan ikut membenci keduanya sebagaimana orang kafir.
Nah, Masirah Panji Rasulullah saw. dan semacamnya adalah di antara ikhtiar yang kita lakukan untuk menghadang black campaign terhadap al-Liwa’ dan ar-Rayah. Lebih dari itu, umat Islam pun mencintai, mengibarkan dan memperjuangkan keduanya agar kembali berkibar dengan keagungannya.
Bagaimana kita bisa mengembalikan keagungan al-Liwa’ dan ar-Rayah?
Al-Liwa’ dan ar-Rayah termasuk syiar Islam yang wajib diagungkan dan dijunjung tinggi. Keduanya juga sekaligus merupakan panji dan bendera Daulah Khilafah. Oleh karena itu, para sahabat amat memuliakan keduanya. Ketika Perang Mu’tah, para panglima perang yang telah ditunjuk Nabi saw. tidak membiarkan bendera tersebut terjatuh ke tanah. Setelah Zaid bin Haritsah wafat, bendera segera diambil-alih oleh Ja’far bin Abi Thalib. Setelah Jafar gugur, segera disambar oleh Abdulllah bin Rawahah. Bahkan dalam peristiwa itu, sikap heroik ditunjukkan oleh Ja’far. Setelah tangan kanannya yang membawa bendera terpotong musuh, dia memegang dengan tangan kirinya. Ketika tangan kirinya juga terpotong, dia pun memegang bendera itu dengan dadanya. Akhirnya, ia syahid dengan tubuh penuh luka dan sayatan pedang. Atas kegigihannya itu, Allah SWT pun memasukkan Ja’far ke dalam surga. Dalam hadis riwayat al-Hakim disebutkan bahwa Rasulullah saw. melihat Ja’far di dalam surga seperti malaikat, dengan sayap lebar yang berlumuran darah dan terbang di dalamnya.
Itulah al-Liwa’ dan ar-Rayah ketika umat Islam berada dalam naungan Khilafah. Jangankan dinista dan dikriminalisasi, nyawa pun menjadi taruhannya agar tidak sampai terjatuh ke tanah.
Oleh karena itu, siapa pun yang menginginkan al-Liwa’ dan ar-Rayah kembali berkibar dengan penuh keagungan dan kewibawaannya, maka harus ikut berjuang untuk mengembalikan Khilafah dalam kehidupan. []