[Al-Islam No. 850, 2 Rajab 1438 H – 31 Maret 2017]
Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Barus Sumatera Utara berpesan agar rakyat Indonesia tidak mencampuradukkan politik dengan agama. Hal itu demi mencegah gesekan antar umat beragama. “Inilah yang harus kita hindarkan. Jangan sampai dicampuradukkan antara politik dan agama. Dipisah betul sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik”, kata Jokowi (Antaranews, 24/3/17).
Ungkapan Presiden Jokowi tersebut menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Pidato ini dianggap mempertegas prinsip sekularisme di Indonesia. Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ma’ruf Amin, menjelaskan, “Agama dan politik itu kan saling mempengaruhi. Politik kebangsaan itu kan juga harus memperoleh pembenaran dari agama. Kalau tidak, bagaimana?” ujarnya saat menghadiri Refleksi Kebangsaan 71 Tahun Muslimat NU di Hotel Crowne Plaza, Jakarta Selatan, Senin (27/3) (Tribunnews.com 27/3/17).
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr. H. Amien Rais, MA, juga menanggapi, “Itu kata-kata seseorang yang tidak paham Pancasila,” katanya usai menjadi pembicara dalam Tabligh Akbar di PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (26/3/2017), seperti dikutip Panjimas.com. “Karena kalau politik dipisahkan dari agama, politik menjadi kering dari nilai-nilai kebaikan; akan jadi beringas; akan jadi eksploitatif,” tegasnya.
Sejarah Sekularisme
Gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) pertama kali muncul di Barat sebagai kritik terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan. Ketika itu Gereja Kristen menjadi institusi dominan. Dengan pembentukan Sistem Kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan; khususnya aspek politik, sosial dan pemikiran (Idris, 1991: 75-80; Ulwan, 1996: 73). Dominasi ini ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan melalui persekongkolan Gereja dan raja/kaisar; mengakibatkan kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Kemudian muncul upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531) dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan kemunculan para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592). Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki agama disingkirkan dari kehidupan dan menuntut kebebasan. Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778) dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah terjadinya perang selama 30 tahun, yang diakhiri dengan adanya Perjanjian Westphali 1846. Melalui perjanjian ini, akhirnya secara total Gereja dipisahkan dari masyarakat, negara dan politik (Qashash, 1995: 30-31). Sejak itulah lahir sekularisme yang menjadi dasar ideologi dan peradaban Barat.
Sekularisme di Indonesia
Sekularisme masuk ke Indonesia secara paksa melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan, bahwa Pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama (Suminto, 1986: 27).
Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada Pemerintah Kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan Pemerintah Kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah: (1) dalam bidang ibadah murni, Pemerintah hendaknya memberikan kebebasan sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, Pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, Pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam (Suminto, 1986: 12).
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekuler yang ditanamkan penjajah. Sayang sekali, ini tidak terjadi. Revolusi Kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tetapi ideologi tetap sekuler. Karena itu sejak awal Indonesia adalah negara sekuler.
Alhasil, gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) sebagaimana yang diutarakan oleh Presiden Jokowi tak lain sekadar mengekor ke peradaban Barat; mengikuti dan melanggengkan arahan penjajah.
Sekularisme Pangkal Kerusakan
Sebagai warisan penjajah Barat, sekularisme merupakan paham yang rusak karena jelas-jelas menolak peran agama (Islam) dalam pengaturan kehidupan, khususnya politik. Di bidang politik, sekularisme merusak karena melenyapkan aspek spiritual (nâhiyah rûhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. Akibatnya, kekuasaan pun hanya dijadikan alat untuk meraih keuntungan materi, bukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka, sebagaimana yang Islam perintahkan.
Dalam politik sekuler, kebebasan hanya menjadi alat pembenaran berbagai perilaku maksiat. Sebaliknya, tidak ada kebebasan untuk taat dalam bersyariah secara kaffah. Demokrasi adalah sistem sekuler yang menipu rakyat dengan konsepnya: kedaulatan di tangan mereka. Faktanya, pemilik modallah yang mengendalikan para penguasa dan wakil rakyat. Akibatnya, para penguasa dan wakil rakyat sering abai terhadap rakyat. Mereka lebih banyak memperkaya diri dengan perilakunya yang koruptif, tak peduli urusan rakyat. Akibat sekularisme pula, umat tidak paham bahwa Islam mengharamkan mengangkat pemimpin kafir bagi mereka.
Sekularisme di bidang ekonomi didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi, misalnya, dianggap menguntungkan meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. Sistem perbankan ribawi, sistem perusahaan kapitalisme (PT) dan sistem uang kertas (fiat money) melahirkan berbagai krisis ekonomi dan moneter. Sistem ini dibangun tanpa mengindahkan sama sekali aturan Allah SWT.
Di bidang sosial sekularisme menyebabkan kerusakan moral. Wanita, misalnya, hanya dianggap komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”, sementara poligami justru dianggap perbuatan kriminal. Sistem sosial yang bobrok seperti ini telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral dan melahirkan anak-anak hasil zina.
Itulah sekularisme, pangkal segala kerusakan.
Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Keburukan sekularisme semestinya melahirkan kesadaran pada umat Islam akan keindahan ajaran Islam. Islam rahmatan lil alamin. Islam melahirkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik yang berdasarkan syariah. Sistem politik Islam dibangun di atas dasar akidah islamiyah sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiah), yaitu terkait dengan Allah SWT; terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan hakiki bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah menaati Allah SWT dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya, orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah SWT dan merasa berdosa.
Tujuan sistem politik Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok dan keadilan di dalam negeri.
Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tetapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Faktanya, penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sukarela seperti para penakluknya. Ini menunjukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik.
Wahai kaum Muslim!
Sungguh tak mungkin Islam dapat berdampingan dengan sekularisme. Sekularisme menciptakan kerusakan serta menyuburkan kemaksiatan dan pelanggaran terhadap aturan Allah SWT. Sebaliknya, Islam menebarkan rahmat bagi semesta alam. Karena itu pantas jika Allah SWT berfirman:
)أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ(>
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Karena itu pula, saatnya kita mencampakkan sekularisme, lalu kita ganti dengan akidah dan syariah Islam. Hanya saja, penegakan syariah Islam membutuhkan institusi pemerintahan Islam. Itulah Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Khilafah inilah yang harus segera kita tegakkan. []
Komentar al-Islam:
MUI: Politik Tanpa Agama akan Buat Manusia Jadi Serigala (Republika.co.id, 29/3/2017).
- Apa yang dinyatakan MUI di atas sebetulnya sudah terjadi dalam sistem politik demokrasi saat ini. Pihak yang kuat memangsa pihak yang lemah.
- Penguasa menjadikan rakyat sebagai ‘mangsa’ yang terus ditindas dengan berbagai kebijakan yang zalim seperti: membebani rakyat dengan ragam pajak, kenaikan harga BBM, gas, listrik; menyerahkan kekayaan milik rakyat kepada pihak asing; dll.
- Hanya dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah, politik benar-benar ditujukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka.