Studi Baru: 60 % Muslim di Amerika Melaporkan Adanya Diskriminasi Agama Pada Tahun Lalu

muslim ASKaum Muslim yang tinggal di Amerika Serikat sudah sering menjadi pusat perdebatan nasional. Tapi suara mereka jarang didengar.

Sebuah studi baru oleh Institut Kebijakan Sosial dan Pemahaman, sebuah lembaga penelitian ilmu sosial, akhirnya memberikan kepada masyarakat gambaran yang akurat tentang kehidupan Muslim di AS pada zaman di Trump.

Studi yang dirilis pada hari Selasa itu menemukan bahwa total 60% Muslim yang tinggal di AS telah mengalami beberapa bentuk diskriminasi agama pada tahun 2016.

Penelitian itu juga menemukan bahwa Muslimah (68%) lebih mungkin mengalami diskriminasi agama pada tahun lalu dibandingkan dengan laki-laki Muslim (55% ).

Selain itu, laporan itu juga menemukan Muslim mengalami kemungkinan dua kali lipat dibandingkan orang beragama Yahudi, Katolik atau Protestan untuk dihentikan di perbatasan AS untuk mendapatkan screening tambahan.

Penelitian oleh ISPU ini juga menemukan bahwa kaum Muslim menyatakan ketakutan bahwa hasil pilpres tahun 2016 memberi semangat kepada kaum ekstremis kulit putih: Yakni sekitar 38% Muslim menyatakan ketakutan atas keluarga mereka dan keselamatan pribadinya dari gangguan kelompok supremasi kulit putih. Dan diskriminasi dan kekerasan juga memasuki ruang bermain dan ruang kelas.

Menurut penelitian, sekitar 42% Muslim yang memiliki anak melaporkan adanya bullying yang dimotivasi oleh agama. Satu dari empat dari insiden intimidasi dilaporkan berasal dari guru atau pejabat sekolah.

Dalia Mogahed, direktur penelitian ISPU, mengatakan hal yang paling mengejutkan yang dia temukan tentang temuan penelitian ini adalah “tingkat trauma” Muslim yang terus-menerus sebagai akibat kemenangan presiden Trump dan kampanye pemilu.

“Apa yang paling mengejutkan yang saya temukan adalah tingkat trauma komunitas Muslim Amerika yang mereka rasakan dalam hasil pemilu 2016,” kata Mogahed.

“Saya terkejut bahwa begitu banyak orang yang merasa bahwa keselamatan pribadi mereka sendiri sedang terancam oleh supremasi kulit putih.”

Ketakutan itu bisa dimengerti. Realitas politik dan sosial seputar kehidupan Muslim Amerika, berada di belakang pertempuran hukum yang intens atas larangan kepada Muslim oleh Presiden Donald Trump, serta, larangan TSA yang baru atas perangkat elektronik yang lebih besar daripada ponsel yang diterapkan oleh sepuluh operator maskapai penerbangan dari delapan negara dengan mayoritas Muslim.

Pada bulan Februari, lembaga Perlindungan Perbatasan Bea Cukai AS melakukan diskriminasi terhadap Muslim dan wisatawan yang namanya “berbau Muslim” dengan mencabut kartu izin masuk global mereka tanpa adanya penjelasan.

Pemerintahan Trump juga mengundang para aktivis anti-Muslim, beberapa di antaranya dari Southern Poverty Law Center yang dicap sebagai anggota kelompok-kelompok yang penuh kebencian, untuk datang ke Gedung Putih untuk mendapatkan briefing atas kebijakan dan pertemuan itu.

Di luar lingkungan politik – serangan Islamofobia adalah tertinggi sejak Peristiwa 9/11. Sejak awal siklus pemilu, negara itu telah melihat adanya lonjakan eksponensial dalam kejahatan kebencian anti-Muslim.

Enam hari setelah malam pemilihan, FBI mengumumkan bahwa mereka mencatat adanya kenaikan sebesar 67% dalam kejahatan kebencian anti-Muslim pada tahun 2015.

Hanya sebulan lalu, kita melihat serangkaian serangan pembakaran terhadap masjid dan ancaman pembunuhan yang dikirim ke pusat-pusat komunitas Islam di seluruh negeri. [Sumber: AOL News]

Komentar:

Sekularisme yang dipamerkan oleh Amerika tidak lebih baik dari sekularisme Eropa, dan kaum Muslim harus memberikan pertanyaan yang mendalam tentang kelangsungan hidup sekularisme di tempat-tempat lain di dunia. (khilafah.com,31/3/2017)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*