Dua Panji, Dua Kemuliaan

ar royah al liwa

Oleh: Ayyat Akhras F.

Logo adalah pintu gerbang bagi seseorang mengenal dan memperkenalkan produk, termasuk di dalamnya produk pemikiran. Logo semacam jejak yang menyimpan banyak makna dan falsafah yang menjadi value perusahaan maupun model peradaban. Logo atau simbol merupakan alat strategis yang mampu menanamkan citra di benak orang yang melihatnya. Perjuangan menapaki simbol-simbol pada dasarnya setara dengan batu pertama peradaban. Simbol adalah identitas maknawi dan raga, visi dan perjuangan, tinta sejarah dan tokoh, terangkum dalam kilatan visual itu sendiri.

Islam sebagai sebuah entitas peradaban yang kuat, dengan ideologi yang mendominasi hati manusia, tidak bisa lepas dari simbol-simbol. Kendati perjuangan tidak boleh sebatas simbol, namun kepentingan memperkenalkan simbol adalah hal yang niscaya. Bagaimana kita dengan mudah mengenali seorang muslimah melalui hijab yang dikenakannya. Dan dalam konteks yang lebih mendalam, Rasulullah Saw memperkenalkan simbol islami sebagai pengejewantahan kemuliaan agama ini.

Bendera al-Liwa dan ar-Rayah adalah bentuk kemuliaan Islam yang tidak boleh kita lupakan. Meski kerap terjadi pembajakan dan pemelintiran identitas, dimana media Barat mengidentikkan bendera tersebut sebagai simbol teror dan terorisme, kaum muslimin seharusnya maju untuk membela identitas bendera ini yang sebenarnya.

Al Liwa, yakni bendera berlatar putih dengan tulisan (khat) kalimat syahadat berwarna hitam. Sedangkan Ar-Rayah adalah panji hitam dengan khat putih “La ilaha illallah Muhammad Rasulullah”.  Keberadaan dua panji Rasulullah Sa ini disandarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra yang menyatakan: “Panji (Rayah) Rasulullah Saw, berwarna hitam dan bendera (liwa)-nya berwarna putih; tertulis padanya; La ilaha illallah Muhammad Rasulullah” (HR ath-Thabrani).

Keduanya merupakan simbol kehormatan dan kekuatan Rasulullah Saw dan barisannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Suatu kehormatan besar tatkala Rasulullah Saw menyerahkan tampuk kepercayaannya, yang tampak dari penyerahan bendera ini sebagai bentuk mandat dan kemuliaan dunia akhirat. Bendera ini menjadi kehomataan bagi Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Ja’far bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, dan sahabat terpilih lainnya. Maka adalah kehormatan pula tatkala seorang muslim mengenalinya, memperkenalkannya, menjunjung, terlebih lagi turut memperjuangan kehormatan agama ini baik simbol, substansi dan sistem Islam itu sendiri.

 

Jika Muslim, Kenapa Takut?

Suatu hal yang menggelikan jika ada seorang muslim yang alergi dengan bendera Rasulnya sendiri. Sementara lafadz bendera itu adalah lafadz yang diucapkannya sehari-hari, dalam shalat, salawat dan doa-doa yang kelak mendapat syafaat. Apakah ini sebuah pertanda keberhasilan Barat menakut-nakuti umat Islam, ataukah ini bentuk penjagaan sekularisme melalui kaki tangannya yang telah berhasil merekrut kalangan muslim itu sendiri. Monsterisasi bendera Rasulullah Saw ini adalah pengkerdilan Islam yang tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus ada upaya memperkenalkan, secara lisan dan aksi real yang mampu membuka mata hati manusia akan indahnya Islam dan naungannya.

Bergulirnya tagar #Indonesiamoveup di sosial media dalam rangka memanaskan acara pawai akbar Panji Rasulullah  “Khilafah Kewajiban Syar’i, Jalan Kebangkitan Umat” yang sedang dan estafet dilaksanakan di berbagai kota di Indonesia. Sambutan meriah dan sukacinta kaum muslimin memperkenalkan indahnya Islam melalui parade al-liwa dan ar-rayah kepada khalayah, diharapkan membangkitkan nuansa keislaman dan kerinduan pada islam rahmatan lilalamiin. Kendati demikian, jalan dakwah tidak selalu mulus dan tanpa tantangan. Tantangan lisan, baik di belakangan maupun terang-terangan terus terjadi terutama dari mereka yang telah termakan ide-ide turunan demokrasi-sekular. Di balik isu kebhinekaan, sosialisasi panji ini dicap sebagai bentuk anti keberagaman budaya Indonesia. Sejatinya, tudingan ini sama sekali tidak memiliki bukti mengingat acara ini legal, didukung oleh banyak partisipan dan berlangsung damai. Kiranya,  bagaimana acara ini bisa mendapat dukungan luas kalau bukan karena memang Islam yang diperkenalkan itu menjadi kebutuhan dan kewajiban masyarakat Indonesia. Tentu keberagaman ini pun telah memiliki pengaturan tersendiri dalam pandangan Islam, sama sekali tidak menolak apalagi mendiskriminasi kaum minoritas. Isu anti keberagaman itu justru lebih banyak menikam kaum muslimin sebagai pemeluk mayoritas di bumi Indonesia.

 

Dua Kemuliaan

Tatkala seorang muslim memperjuangkan kalimat  La ilaha illallah Muhammad Rasulullah, sesungguhnya itu lebih baik dari dunia seisinya. Dialah Azzam yang diperjuangkan Bilal Bin Rabbah, yang tidak takut kepada tuannya, sebab Tuan yang sebenarnya hanyalah  Allah Azza Wajalla. Dialah kalimat yang memperjalankan Salman Al Farisi dari lembah  ke bukit mencari agama yang sebenar-benarnya. Kalimat ini, persaksian kuat antara jasad yang didalamnya ditanamkan ruh, yang menghidupkan jiwa yang tadinya redup dalam kejahiliyahan. Bagaimana mungkin kita menawarkan kemuliaan ini di meja-meja perkongsian kaum kafir? Apakah kelicikan dan kedengkian mereka telah berhasil menawan hati kita sebagai muslim? Apakah bungkus manis sekularisme telah membuat kaum muslimin rela menggadaikan tujuan perjuangan.

“Tidak layak seseorang, ketika menyaksikan suatu tempat di dalamnya ada kebenaran, kecuali dia akan mengatakannya. Sesungguhnya sekali-kali hal itu tidak akan pernah memajukan ajalnya dan tidak akan pernah mencegah apa yang telah menjadi rezeki baginya.” [HR. al-Baihaqi].

Buah manis perjuangan bukanlah kekalahan atau berjatuhannya nyawa-nyawa. Jika perkara mati, seorang bujang tidur di ranjang, jika telah datang ajalnya, maka ia mati juga. Jika perkara harta, telah tetap garis tangan, jumlah dan takarannya, tidak tukar dan dipetukarkan dengan rezeki orang lain. Sesungguhnya orang yang memperjuangankan panji dan tekad tauhid ini akan mendapatkan dua kemuliaan : hidup dalam kemenangan yang Allah Swt berikan atau mati dalam perjuangan. Merugilah orang-orang yang berpangku tangan. Celakalah orang menghalang-halangi tapak-tapak hamba menuju Tuhannya, menegakkan panjinya. Sesungguhnya orang yang celaka itu tengah menantang  Sang Maha Raja, penguasa jagat raya, sebaik-baik pembuat perkara, Allahu Ta’ala.

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (TQS. Al Imran : 54). []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*