Merebut Kembali Sumberdaya Alam Indonesia

[Al-Islam No. 852, 17 Rajab 1438 H – 14 April 2017]

Banyak warga Indonesia yang tidak menyadari bahwa negeri ini telah lama dicengkeram oleh sistem ekonomi neoliberalisme. Mereka hanya tahu kalau ekonomi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan. Itu hanyalah slogan kosong.

Apakah neoliberalisme itu? Neoliberalisme adalah wujud pembaruan dari paham ekonomi liberalisme yang telah ada sebelumnya. Ekonomi neoliberalisme ini dikembangkan sejak tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia dan Pemerintah AS melalui Washington Consensus. Ekonomi liberalisme memiliki tujuan agar negara-negara kapitalis, yaitu Amerika dan sekutunya, dapat terus menguasai ekonomi negara-negara berkembang, sehingga dapat terus menjadi sapi perahannya.

Dengan neoliberalisme kegiatan ekonomi harus berjalan mengikuti prinsip-prinsip pasar bebas. Paham ekonomi ini menghendaki agar negara tidak banyak berperan dalam penguasaan ekonomi. Pengembangan sektor ekonomi cukup diserahkan kepada pihak swasta atau korporasi, baik nasional maupun asing. Hal-hal seperti inilah yang didiktekan oleh IMF atas Indonesia. Dengan demikian neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara menuju corporate state (korporatokrasi). Negara akan dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi hanya untuk kepentingan perusahaan baik lokal maupun asing.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly, menjelaskan bahwa saat ini demokrasi di Indonesia memang telah berkembang menjadi corporated democracy, yakni demokrasi yang dikuasai oleh para pemilik modal. Dengan kekuatan uangnya, mereka menguasai media massa, market (pasar), society (masyarakat), bahkan state (negara), termasuk di dalamnya partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik.

Untuk mewujudkan nafsu neoliberalismenya, kekuatan kapitalis asing dunia telah memaksakan kepada Indonesia maupun negara Muslim lainnya sejumlah undang-undang yang bernuansa liberal. Di Indonesia lebih dari 76 UU yang bernuansa liberal, draft (rancangan)-nya telah “dipaksakan” oleh pihak kapitalis asing. Contohnya adalah: UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Alam, UU Sumber Daya Air, UU Perbankan dan sebagainya. Muatan berbagai macam UU tersebut sangat jelas, yaitu untuk meliberalisasi ekonomi di sektor-sektor yang vital di Indonesia. Alhasil, negeri ini maupun negeri-negeri Islam lainnya tengah dalam ancaman neoimperialisme (penjajahan gaya baru) melalui neoliberalisme.

Neoliberalisme dan neoimperialisme telah menyebabkan dampak yang sangat buruk bagi Indonesia maupun Dunia Islam pada umumnya. Dengan menggunakan tangan lembaga keuangan dunia, seperti IMF, World Bank, WTO, serta lembaga yang ada di bawahnya, seperti ADB, Indonesia dibelenggu utang yang sudah menembus angka Rp 4000 triliun. Neoliberalisme dan neoimperialisme juga telah mengakibatkan BUMN strategis Indonesia harus dijual kepada pihak swasta asing.

Memiskinkan

Neoliberalisme dan neoimperialisme telah mengakibatkan berbagai macam malapetaka kehidupan seperti tingginya angka kemiskinan dan lebarnya kesenjangan ekonomi. Mengacu pada laporan Lembaga Oxfam, ditengarai kekayaan 4 orang di Indonesia setara dengan jumlah harta 100 juta orang termiskin seindonesia. Hanya dalam satu hari, orang Indonesia terkaya bisa mendapatkan bunga deposito dari kekayaannya lebih dari seribu kali daripada dana yang dihabiskan penduduk Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari kekayaan itu bahkan cukup untuk mengangkat lebih dari 20 juta orang Indonesia keluar dari jurang kemiskinan.

Kemiskinan berakibat luas, di antaranya mengakibatkan tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan data UNICEF tahun ini sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Adapun angka putus sekolah di tingkat SMA Indonesia menempati peringkat kedua di bawah Cina. Dampak berikutnya adalah meningkatnya angka kriminalitas. Di wilayah Jakarta saja setiap 12 menit terjadi kejahatan. Di level pejabat dan eksekutif tindak pidana korupsi semakin menjadi-jadi. Korupsi pada tahun 2016 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, dari 13.977 perkara menjadi 14.564 kasus. Kasus bancakan dana E-KTP yang mencapai Rp 5,3 triliun rupiah diduga melibatkan banyak pejabat juga anggota legislatif. Neoliberalisme mendorong pejabat dan legislatif menjadi rakus dan melupakan pelayanan masyarakat.

Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak pro rakyat seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik dan lain-lain.

Dengan demikian neoimperialisme dapat kita katakan sebagai penjajahan baru negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain

Selamatkan dengan Syariah!

Islam adalah agama yang tidak pernah memisahkan urusan dunia dengan kehidupan, termasuk urusan politik, pemerintahan dan kebijakan ekonomi. Di bidang pemerintahan dan kebijakan ekonomi, Islam telah mewajibkan negara untuk mengelola urusan umat dan berkhidmat pada mereka. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus (HR al-Bukhari).

Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala negara di Madinah. Beliau melayani masyarakat dan menjadi penanggung hidup mereka. Beliau bersabda:

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ

Aku lebih utama menjamin kaum Mukmin daripada diri mereka sendiri. Karena itu siapa saja yang meninggal dunia dari kalangan kaum Mukmin, lalu meninggalkan utang, maka akulah yang wajib membayarnya; siapa yang meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya (HR al-Bukhari).

Negara dalam Islam tidak boleh berlepas diri dari kewajiban mengurus rakyat. Tidak boleh dengan alasan untuk menghemat kas negara, lalu negara mengurangi kewajiban mereka menjamin kehidupan masyarakat, misalnya mengurangi anggaran dan pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan; atau mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari BBM, listrik atau gas dengan cara menjual semua itu kepada rakyat.

Sejarah mencatat bagaimana negara pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab bekerja keras menangani krisis ekonomi akibat paceklik pertanian dalam jangka panjang. Khalifah Umar bersama aparat yang lain menyiapkan bantuan pangan hingga keluar Madinah agar rakyat tidak kelaparan. Hal itu terjadi selama sembilan bulan.

Negara juga haram menjual badan usaha milik negara dan kekayaan alam milik rakyat kepada pihak swasta lokal maupun asing. Semua kekayaan alam yang menjadi hajat hidup umat harus dikelola oleh negara dan keuntungannya dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Dalilnya,  Rasulullah saw. pernah menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyadh bin Hammal setelah diberitahu bahwa deposit yang terkandung di dalamnya amat besar. Beliau juga bersabda:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat (meliki hak yang sama) dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah).

As-Sarakhsi dalam Al-Mabsûth menjelaskan, “Di dalam hadis ini terdapat penetapan hak bersama manusia baik Muslim maupun kafir dalam ketiga hal itu… Status pemanfaatannya seperti pemanfaatan matahari dan udara; Muslim maupun non-Muslim memiliki hak yang sama. Tidak seorang pun boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu. Statusnya seperti pemanfaatan jalan umum…”

Selain itu privatisasi (penjualan aset milik rakyat kepada swasta/asing) juga membuat pihak asing leluasa menjarah dan menguasai kedaulatan sebuah negara. Mereka melakukan praktek suap-menyuap (risywah) kepada penguasa untuk memuluskan usaha mereka sehingga akhirnya pemerintah dikendalikan oleh korporat. Inilah yang dinamakan korporatokrasi; kekuasaan pemerintah takluk di bawah kepentingan para pengusaha, terutama pemilik perusahaan-perusahaan asing. Dalam hal ini Allah SWT telah berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Dalam Tafsir Jalalayn, kata “sabîl” dalam ayat tersebut diartikan “tharîq[an] bi al-isti’shal” ,  artinya jalan untuk mencabut hingga ke akar-akarnya. Pemberian izin usaha pengelolaan sumberdaya alam kepada pihak asing seperti migas, pertambangan dan air terbukti telah amat menyengsarakan rakyat.

Wahai Kaum Muslim!

Sebenarnya telah amat jelas dan gamblang kerusakan yang terjadi di negeri ini. Semua malapetaka yang menimpa negeri ini bukanlah disebabkan oleh syariah dan Khilafah, justru akibat syariah dan Khilafah tidak diterapkan. Sebuah kebohongan nyata bila dikatakan syariah dan Khilafah adalah ancaman bagi negeri ini. Kerusakan kehidupan hari ini jelas adalah buah dari neoliberalisme. Lantas mengapa kita masih juga mempertahankan sistem kehidupan yang rusak dan menyusahkan ini? Sekaranglah saatnya kita mengibarkan panji Rasulullah saw., menjalankan syariah yang beliau bawa dan menegakkan kembali Khilafah sembari mencabut sistem neoliberalisme dari akarnya yang terbukti telah membuat negeri jatuh ke dalam jurang kebinasaan. []

 

Komentara al-Islam:

Rektor UIN Jakarta: Umat Harus Paham Sejarah Islam di Nusantara (Republika.co.id, 11/4/2017).

  1. Jika kita mau jujur, sejarah Islam di Nusantara tidak terlepas dari sejarah Kekhilafahan Islam yang terakhir, yakni Kekhilafahan Turki Utsmani.
  2. Sebagian pendakwah Islam di Nusantara, yakni Wali Songo, justru merupakan utusan resmi Kekhilafahan Islam yang berpusat di Turki.
  3. Karena itu tentu aneh dan ahistoris jika bangsa ini anti terhadap Khilafah yang memiliki peran yang sangat kuat bagi keberadaan Islam di Nusantara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*