Tuntutan Baik Tak Perlu Panik
Oleh: dr. Estyningtias Prihatiningsih (Lajnah Siyasi MHTI)
Menyoal Isu SARA
Isu SARA menguat menjelang pilkada DKI putaran dua. Survei yang dilakukan Populi Center setelah Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, menunjukkan isu SARA yang digunakan dalam Pilkada Jakarta antara lain munculnya himbauan untuk tidak memilih calon muslim dan masalah tidak mensalatkan jenazah.[1] Fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Munculnya keengganan masyarakat untuk menyolatkan jenazah yang mendukung penghina Al Qur’an tampak pasca pilkada putaran satu usai. Namun logika berpikir yang seharusnya mucul, bukan pada isu SARA yang merugikan salah satu paslon. Logika yang jernih seharusnya meletakkan pembahasan pada penyebab terjadinya isu SARA ini. Dan jika ditelisik kembali ke belakang perlakuan aparat yang tidak segera bertindak tegas terhadap penista agama inilah penyebab utamanya.
Dengan demikian umat Islam memang tidak boleh terjebak pada tuduhan penggunaan isu SARA sebab yang memantik isu SARA ini justru sikap pemerintah sendiri yang bersikap tidak adil dan mengabaikan tuntutan masyarakat. Apalagi ungkapan-ungkapan pihak pemerintah semakin menyudutkan umat Islam dan memantik kemarahan umat Islam. Ungkapan Jokowi untuk memisahkan betul agama dan politik adalah contoh yang sangat jelas dalam persoalan ini.[2] Terkesan pemerintah menjadi sangat panik ketika umat Islam berusaha menunjukkan izzahnya dengan menuntut si penghina Al Qur’an. Padahal sebagian besar dari orang-orang yang duduk di pemerintah juga bagian dari umat Islam. Berarti ada hal lain yang membuat pemerintah semakin lama semakin panik dan bersikap irrasional terhadap umat Islam.
Trump Effect
Sebagaimana telah diketahui bahwa AS telah menabuh genderang perang melawan kelompok Islam radikal pasca pelantikan Donald Trump Januari yang lalu. Dan kebijakan ini dipastikan berimbas pada Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam. Hal ini dikemukakan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat membuka Rapim Polri 2017[3].
Dan sebelum Trump dilantik menjadi presiden, kebijakan Jokowi pun sudah mengarah pada upaya untuk memerangi Islam Radikal sebagaimana Trump. Hal ini tampak jelas dari hasil pertemuan dengan Surya Paloh di bulan Nopember tahun lalu. Bahkan untuk mengawal kebijakannya itu Jokowi telah memastikan dukungan dari TNI dan Polri.[4]
Hal ini diperkuat dengan hasil pertemuan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R Donovan Jr dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang membahas penanganan masalah terorisme di Indonesia. Amerika Serikat saat ini melihat Indonesia sebagai salah satu negara yang mendapatkan apresiasi dari negara-negara lain terkait perlawanannya terhadap terorisme. Oleh karena itu, Pemerintah AS bersedia untuk saling bertukar pengalaman dengan Indonesia mengenai langkah-langkah penanganan kejahatan tersebut.[5]
Bisa ditarik kesimpulan Trump effect sebenarnya justru memperkuat posisi Jokowi untuk memerangi Islam radikal dengan menggunakan Polri dan TNI sebagai alatnya. Hasilnya adalah sikap yang gegabah dan irrasional terhadap umat Islam, seperti kriminalisasi para ulama yang terlibat aksi pengerahan umat dalam menolak pemimpin penista Al Qur’an. Yang terbaru, penangkapan Sekjen FUI, Muhammad Al Khatthath menjelang aksi Umat 313. Semua itu menjadi bukti nyata tidak rasionalnya langkah-langkah yang dilakukan rezim, seakan-akan hanya demi menjalankan program anti Islam radikal seperti yang diteriakkan Trump.
Dalam konstelasi internasional jelas posisi Indonesia adalah negara pengikut AS. Sehingga hampir semua kebijakan yang dibuat telah di”drive” oleh AS. Demikian pula dalam mengidentifikasi gerakan Islam radikal. Indonesia secara otomatis membebek pada kebijakan AS. Dalam Laporan Khusus Syamina edisi 2 Februari 2017 digambarkan dengan jelas upaya Trump untuk mengalahkan Islam Radikal. Dan yang terpenting ungkapan yang menyatakan “Menariknya, Flynn menyatakan bahwa “usaha yang sama sedang dijalankan di Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia”.[6] Michael Flynn adalah mantan penasihat keamanan Trump.[7] Ini berarti AS tengah melancarkan perang terhadap gerakan Islam radikal di Indonesia melalui tangan-tangan Polri dan TNI.
Dari sini bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa sikap gegabah dan irrasional pemerintah dalam menghadapi umat Islam yang terus menuntut perlakuan adil adalah efek dari kepanikan rezim karena desakan dan pesanan AS. Pemikiran dan sikap pemerintah menunjukkan secara jelas kemana mereka berpihak.
Karakter Umat
Jika diikuti dengan benar, sebenarnya gelombang massa umat Islam yang hadir dalam aksi 411, 212 dan 313 adalah gelombang yang muncul dari rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap ketegasan pemerintah dalam menghadapi kasus penista agama. Mestinya gelombang massa ini dilihat sebagai sebuah keniscayaan akibat ketidakadilan yang ditimbulkan. Namun kacamata pemerintah telah salah menilai gelombang massa ini. Kacamata tidak fair yang digunakan oleh pemerintah dalam melihat gelombang massa ini memunculkan sebuah persepsi bahwa ini adalah hasil dari sebuah ajaran radikalisme, ajaran Islam yang intoleran dan selalu menebar kebencian. Akibatnya pemerintah telah melakukan kesalahan fatal dalam memandang umat Islam dan ajarannya.
Dalam ajaran Islam, umat Islan digambarkan memiliki karakter yang jauh dari apa yang dituduhkan oleh Barat. Karakter ini disebutkan dengan jelas dalam QS. Ali Imran ayat 110.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali Imran 110)
Dalam ayat tersebut umat Islam digambarkan sebagai umat terbaik yang memiliki karakter khas yakni melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah SWT. Artinya aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar adalah karakter utama umat ini. Muhasabah pada peguasa adalah bagian dari aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar. Sebab tanpa aktivitas semacam ini kejahatan akan terus merajalela. Tentu ini adalah hal yang tidak diinginkan oleh siapapun. Karena hidup aman dan tentram adalah hal yang sangat manusiawi.
Kacamata Objektif
Wal hasil, gelombang massa yang muncul menjelang pilkada DKI bukanlah hal yang harus ditakuti. Gelombang massa ini hanyalah salah satu bentuk ketidakpecayaan rakyat terhadap sikap pemerintah yang tidak bertindak dengan tegas terhadap penista agama. Oleh karena itu seharusnya pemerintah tidak perlu panik melihat hal ini.
Seseungguhnya kepanikan pemerintah itu akibat perbedaan sudut pandang yang muncul akibat desakan AS dengan kebijakan barunya dalam mengakhiri perang suci melawah Islam Radikal. Karena itu alangkah arifnya jika pemerintah melepaskan kacamata Barat dari dirinya dan membiarkan dirinya dengan sudut pandangnya sendiri dalam menyikapi aspirasi rakyatnya sendiri.[]
[1] http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39372353
[2] http://www.antaranews.com/berita/620139/presiden-minta-persoalan-politik-dan-agama-dipisahkan
[3] https://news.detik.com/berita/d-3404713/buka-rapim-polri-2017-kapolri-soroti-kebijakan-donald-trump
[4] https://m.tempo.co/read/news/2016/11/22/078822129/jokowi-pemerintah-akan-hadang-gerakan-radikalisme
[5] http://www.antaranews.com/berita/617792/dubes-as-temui-menko-polhukam-bahas-terorisme
[6] Lapsus Syamina ed 2/Februari 2017
[7] Michael Flynn dipecat karena memiliki biro Flynn Intel Group dibayar sebesar 530.000 dollar AS dari sebuah perusahaan konsultan di Belanda yang dikelola pebisnis Turki yang dekat dengan pemerintahan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Flynn diminta untuk melakukan riset dan penyelidikan sekaligus memfilmkan Fethullah Gulen, yang merupakan musuh politik Erdogan dan dituduh berada di belakang kudeta gagal tahun lalu. Pada saat itu, Flynn sedang menjadi penasihat politik Trump yang belum dilantik sebagai presiden. http://epaper1.kompas.com/kompas/books/kompas/2017/20170326kompas/#/3/