Menyoal Perbudakan Modern
Oleh: dr. Arum Harjanti (Lajnah Siyasi DPP MHTI)
Tanggal 14 Maret 2017 yang lalu, para tokoh lintas agama mendeklarasikan Penghapusan Perbudakan Modern. Deklarasi tersebut dilakukan oleh tujuh perwakilan agama di Indonesia di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia dan disaksikan langsung oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Ketujuh perwakilan agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu menegaskan komitmen mereka dalam melawan perbudakan modern. Indonesia diharapkan memimpin perlawanan global terhadap perbudakan modern. Pada kesempatan itu Rektor Paramadina Firmanzah menyatakan bahwa Melawan perbudakan modern bukan hanya dalam rangka menjunjung salah satu target Sustainable Development Goals yaitu penghapusan perbudakan modern. Terlebih karena melawan segala bentuk perbudakan modern adalah mandat konstitusi Indonesia. [1]
Sebelumnya, tepatnya pada tanggal 21-22 November tahun 2016 yang lalu, UN Women dan the Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) memprakarsai pertemuan para ahli dari berbagai lembaga dunia di Jenewa. Beberapa lembaga yang terlibat diantaranya adalah the Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW); the Committee on Migrant Workers (CMW); the International Migration Research Centre (IMRC); the International Labour Organization (ILO); the International Organization for Migration (IOM); the United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), OHCHR dan UN Women. Hasil Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah rekomendasi untuk mewujudkan hak asasi perempuan untuk mendapatkan migrasi global yang aman, sesuai aturan dan teratur (Recommendations for addressing women’s human rights in the global compact for safe, orderly and regular migration Outcome of expert meeting in Geneva November 2016). Rekomendasi tersebut merupakan hasil dari proyek “Promoting and Protecting Women Migrant Workers’ Labour and Human Rights” – yang dilakukan oleh UN Women’s Economic Empowerment Section dan didukung oleh the European Union– dan disusun untuk mengatasi berbagai masalah migrasi tenaga kerja perempuan yang terjadi saat ini.
Kampanye Penghapusan Perbudakan Modern
Deklarasi tokoh lintas agama melawan perbudakan tersebut ternyata diinisiasi oleh Universitas Paramadina bersama dengan Global Freedom Network Australia. Dalam acara penandatanganan deklasari itu juga diluncurkan Global Freedom Network (GFN) di Indonesia. Pimpinan GFN Andrew Forrest mengatakan, aksi ini akan menginspirasi pemerintah dan pelaku bisnis untuk bergabung bersama para pemuka agama dalam perlawanan terhadap perbudakan modern. Global Freedom Network berkomitmen untuk melawan perbudakan modern dengan melibatkan pemuka agama di dunia untuk mengambil langkah spiritual, dan nyata dalam memberantas perbudakan modern. [2]
Global Freedom Network (GFN) adalah jaringan global yang didasarkan atas agama dengan visi dan tujuan untuk memberantas perbudakan modern dan perdagangan manusia di seluruh dunia dan untuk selamanya. Organisasi ini didirikan pada tanggal 17 Maret 2014 di Vatikan. Nota Kesepahaman dan Pernyataan Bersama yang membentuk GFN disahkan dan ditandatangani oleh CasinaPio IV, Lambeth Palace, Masjid Al Azhar, dan Walk Free Foundation.
GFN adalah bagian penting dari Walk Free Foundation, suatu organisasi dengan beragam aktifitas untuk menghapuskan perbudakan modern. GNF bekerja bersineregi dengan berbagai inisiatif untuk menghapuskan perbudakan modern, seperti The Global Fund to End Slavery dan The freedom Fund. Peran GNF adalah mengumpulkan dukungan untuk deklarasi bersama para tokoh dunia, yang diawali oleh para pemuka agama, dan selanjutnya merangkul berbagai tokoh seperti pemimpin dunia, pemimpin sipil, pemimpin perusahaan, tokoh berpengaruh tingkat global dan sebagainya.
Pada Hari Penghapusan Perbudakan Internasional, tanggal 2 Desember 2014, Global Freedom Network (GFN) berhasil menyatukan seluruh pemimpin agama yang meliputi Kristen Katolik, Anglikan dan Ortodoks, Budha, Hindu, Yahudi, dan Islam, untuk bersatu mendeklarasikan satu komitmen bersama (The Joint Declaration of Religious Leaders Against Modern Slavery). Event ini menjadi ajang yang pertama dalam sejarah dimana para pemimpin agama Kristen Katolik, Anglikan dan Ortodoks, Budha, Hindu, Yahudi, dan Islam bersatu untuk bersama‐sama mendaklarasikan satu komitmen perjuangan bersama. Para pemimpin berbagai agama berkomitmen menghapus perbudakan modern yang ditargetkan pada tahun 2020. Selanjutnya, mereka inginkan perbudakaan akan dilenyapkan dari muka bumi selama-lamanya karena hal itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam deklarasi bersama disebutkan bahwa perbudakan modern mencakup perdagangan manusia, buruh dan prostitusi paksa, perdagangan organ tubuh manusia, dan segala tindakan yang merusak keyakinan fundamental bahwa semua manusia itu memiliki harkat, martabat, dan kebebasan yang sama. Deklarasi kedua ditandatangani pada tanggal 2 Desember 2015 di Canberra oleh para pemuka agama Australia, dan deklarasi ketiga ditandatangani di New Delhi, India pada tanggal 2 Desember 2015, oleh para pemuka agama yang ada di India.[3]
Perbudakan modern adalah perampasan sistematis kebebasan seseorang, pelecehan tubuh sang korban –seperti mutilasi dan pengambilan organ tubuh- untuk tujuan dan kepentingan pribadi seseorang atau untuk ekploitasi komersial. Berdasarkan laporan Indeks Perbudakan Global tahun 2016, terdapat 45,8 juta orang masih hidup dalam perbudakan modern. Di Indonesia, tercatat 736.100 orang masih terjerat dalam kondisi diperbudak. Menurut Organisasi Buruh Internasional, laba total yang dihasilkan dari penggunaan buruh paksa di sektor swasta di seluruh dunia mencapai 150 miliar dolar/tahun.[4]
Dalam laporan yang dikeluarkan GFN terbitan tahun 2016 “A United Faith Against Modern Slavery” disebutkan Perbudakan modern meliputi perbudakan, praktek seperti perbudakan (seperti imbalan utang, dipaksa menikah, eksploitasi anak-anak), perdagangan manusia, kerja paksa, dan praktek-praktek lainnya seperti yanag dijelaskan di dalam ketiga perjanjian internasional tersebut. Karakteristik yang signifikan dari semua bentuk perbudakan modern adalah bahwa hal itu melibatkan seseorang merampas kebebasan orang lain untuk mendapatkan keuntungan, kebebasan untuk cuti satu pekerjaan ke pekerjaan lain, kebebasan untuk meninggalkan satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, dan kebebasan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri.
Di indonesia sendiri, Mengutip data laporan Indeks Perbudakan Global 2016, di Indonesia terdapat sekitar 736 ribu orang yang masih dalam jeratan perbudakan modern. Beberapa bentuk perbudakan modern yang sering ditemukan di Indonesia adalah perdagangan manusia, kerja paksa, dan perbudakan di laut. Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi terkait isu ini. Namun, praktik perbudakan modern masih terjadi terutama di industri perikanan dan kelapa sawit.[5]
Perbudakan modern ini sesungguhnya erat kaitannya dengan arus migrasi tenaga kerja yang ada saat ini. Migrasi tenaga kerja adalah tindakan berpindah ke negara lain untuk bekerja. Migrasi tenaga kerja ini hampir terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia ada TKI , TKW, atau TKI Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) yang bekerja di luar negeri.
Jumlah perempuan yang bermigrasi amat mencengangkan. Pada tahun 2015, tercatat sekitar 48% dari seluruh migran internasional yang berjumlah 244 juta orang, adalah perempuan, dan jumlahnya terus meningkat. Perempuan melakukan migrasi secara mandiri untuk bekerja dan untuk mendukung keluarganya. Jumlah perempuan yang melakukan migrasi ke luar negeri untuk bekerja telah menunjukkan peningkatan pada beberapa negara. Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan oleh UN Women bekerjasama dengan the European Union, yang diterbitkan bulan Januari 2017 yang lalu, yang berjudul At What Cost? Women Migrant Workers, Remittances And Development, mengutip laporan dari ILO dan UN Women tahun 2015, menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah perempuan yang melakukan migrasi ke luar negeri untuk bekerja. Dalam laporan tersebut. dicontohkan apa yang terjadi di Indonesia. Migrasi tenaga kerja perempuan di Indonesia meningkat jumlahnya dari 75% pada tahun 2006, menjadi 83% pada tahun 2009. Dan sembilan puluh persen dari peningkatan ini adalah untuk kerja domestik. Peningkatan tenaga kerja perempuan di luar negeri juga terjadi di Philipina.
Peningkatan jumlah perempuan yang bekerja secara mandiri, merupakan respon terhadap munculnya permintaan akan pekerjaan feminin seperti dalam perawatan dan peningkatan akses perempuan terhadap pendidikan dan pelatihan. Saat ini, perempuan semakin diperluas aksesnya untuk mendapatkan kesempatan dalam pelatihan kejuruan, akses terhadap informasi dan teknologi, dan permintaan untuk tenaga kerja perempuan. Semua itu jelas memperluas kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja internasional.[6]
Sistem Kapitalis sebagai Sumber Masalah
Di tengah penerapan ideologi kapitalis termasuk dalam bidang ekonomi, akan sulit untuk mendapatkan migrasi yang aman dan jaminan kesejahteraan bagi para perempuan pekerja migraan tersebut. Pada Deklarasi tokoh Lintas Agama tanggal 14 Maret 2017 yang lalu, Wapres menyatakan bahwa perbudakan modern saat ini terjadi karena aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah dilanggar oleh para pengusaha yang tidak memberikan kebebasan bekerja kepada para pegawainya. Padahal, pemerintah Indonesia telah membuat banyak kebijakan guna mencegah terjadinya perbudakan modern, mulai dari jam kerja yang dibatasi, hari kerja yang dibatasi, upah minimum kerja yang harus dilaksanakan, umur pekerja dan lingkungan kerja. Namun perbudakan modern tetap saja terjadi, bahkan juga terjadi di banyak negara. Human traficking berkembang pesat, yaitu membawa orang-orang bekerja tanpa aturan dan tanpa izin. [7]
Perbudakan moden juga terjadi diberbagai negara, meski sudah ada banyak aturan dan perjanjian internasional yang mengatur keamanan tenaga kerja, seperti the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families(ICRMW), the International Convention on the Elimination of Racial Discrimination (ICERD), the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), dan the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan masih banyak perjanjian lainnya. Namun pada faktanya tetap saja ada masalah, bahkan sampai muncul istilah perbudakan modern. Mengapa demikian?
Hal ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam sistem kehidupan saat ini termasuk sistem ekonominya. Migrasi tenaga kerja terjadi karena adanaya kemiskinan dan sulitnya lapangan pekerjaan di negara asal, termasuk di indonesia. Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kadin Benny Soetrisno mengatakan bahwa migrasi menjadi tumpuan Indonesia untuk mengurangi pengangguran dan kemisikinan. Hal itu karena Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Terlihat, dari jumlah Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) atau pekerja rumah tangga masih begitu besar. Berdasarkan data dari Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumlah PLRT domestic worker yang dikirim ke negara penempatan mencapai 76.050. [8]
Kemiskinan adalah salah satu penyebab terjadinya migrasi untuk mendapatkan pekerjaan. Dan perempuan pun ikut bekerja demi peningkatkan kesejahteraan keluarga, terbukti dengan meningkatnya jumlah perempuan indonesia yang belerja di luar. Dengan pengarusan pemberdayaan ekonomi sebagai bentuk kesetaraan gender, dan dalih bahwa keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan, berbondong-bondonglah para perempuan ke dunia kerja.
Mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat dalam pernyataan tertulis yang diterima Liputan6.com pada 17/5/2013, menyatakan “1 Orang TKI yang berangkat bekerja di luar negeri, berarti 1 angka pengangguran teratasi dan 5 orang terbebas dari masalah kemiskinan karena 1 orang TKI menanggung rata-rata 4 anggota keluarganya. Di tengah keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri menjadi alternatif bagi warga untuk bekerja ke luar negeri.” Berdasarkan data BNP2TKI, terdapat sekitar 6 juta orang yang bekerja di 143 negara yang berarti 6 juta orang terbebas dari pengangguran dan 30 juta orang teratasi dari ancaman kemiskinan. Adanya remitansi atau kiriman uang TKI ke keluarga mereka, juga dapat menggerakkan roda perekonomian keluarga. [9]
Kemiskinan di Indonesia dan banyak negara lain di dunia, sesungguhnya adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis ini berpihak kepada para pemilik modal. Hal ini nampak dengan dipilihnya parameter pertumbuhan ekonomi untuk mengukur kesejahteraan masyarakat. Tingginya pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan para pemilik modal, sementara para pekerja sesungguhnya tidak mendapatkan tambahan kesejahteraan.
Dalam Global Wealth Report edisi ke-6, dilaporkan bahwa Koefisien Gini untuk Indonesia adalah sebesar 73,6 dan merupakan yang tertinggi di Asia. Hal ini mengindikasikan terjadinya distribusi kekayaan yang tidak merata. Indikator ini menyimpulkan bahwa Indonesia memerlukan adanya perubahan substansial dan struktural serta terus mengoptimalkan pertumbuhan untuk memperbaiki distribusi kekayaan di antara penduduknya. [10]
Lembaga Oxfam menyebutkan harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Dalam laporannya, Oxfam menyatakan kekayaan empat milyader terkaya di nusantara, tinggi dari total kekayaan 40 persen penduduk miskin – atau sekitar 100 juta orang. Indonesia masuk dalam enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. Pada tahun 2016, satu persen orang terkaya memiliki hampir setengah (49 persen) dari total kekayaan populasi. [11] Fakta diatas secara jelas menunjukkan bahwa sistem ekonomi kapitalis saat ini menghasilkan kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi.
Tidak hanya itu saja. Sistem ekonomi kapitalis juga menjadikan manusia sebagai komoditas atau barang demi meraih keuntungan materi, yang bahkan bisa diperjual belikan. Maraknya perbudakan modern adalah hasil sistem ekonomi kapitalis. Tujuan mendapatkan kekayaan melimpah membuat mereka menghalalkan segala macam cara, meski dengan merampas kebebasan dan kemerdekaan orang lain, bahkan dengan memperdagangkan dan mengeksploitasi, termasuk anak-anak dan perempuan.
Adanya berbagai rekomendasi untuk menciptakan migrasi global yang aman, sesuai aturan dan teratur, sesungguhnya adalah upaya tambal sulam ideologi ini untuk menyelesaikan masalah yang muncul. Namun sesungguhnya semua itu akan gagal karena ideologi kapitalis memiliki cacat sejak kelahirannya. Sehingga perbaikan apapaun tidak akan membawa perubahan termasuk dalam mewujudkan kesejahteraan. Demikian halnya dengan melibatkan perempuan dalam dunia kerja. Justru hal ini akan membawa dampak buruk terhadap ketahanan keluarga, rusaknya generasi dan pada akhirnya akan menghancurkan tatanan masyarakat. Hal ini justru yang tidak pernah diperhitungkan bahkan diabaikan oleh para pegiat gender saat mengaruskan pemberdayaan ekonomi perempuan demi mewujudkan kesetaraan gender, terlebih dengan target tahin 2030 “Planet 50×50”.
Menjadikan para pemuka agama untuk mendeklarasikan penghapusan perbudakan hanyalah akal-akalan korporasi untuk menjadikan komunitas agama mengesahkan deklarasi tersebut. Padahal, persoalan perbudakan adalah persoalan sistemik, bukan persoalan relijius yang bisa diselesaikan dengan komitmen atau himbauan saja. Hanya Islam, yang memiliki kompatibilitas sebagai sistem kehidupan yang menyelesaikan semua permasalahan yang ditimbulkan oleh sistem duniawi. Apalagi, Islam adalah ideologi yang mampu menantang kebathilan ideologi lain –dalam hal ini Kapitalisme- yang menghasilkan semua keburukan yang timbul akibat migrasi perempuan.
Islam menjamin kesejahteraan
Berbeda dengan sistem kapitalis yang cacat sejak lahir, maka Islam adalah tatanan kehidupan sempurna yang berasal dari Pencipta manusia. Allah telah menetapkan bahwa tujuan politik ekonomi islam adalah mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Karena itu, Allah mewajibkan negara untuk menyiapkan berbagai sarana demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Lapangan pekerjaan yang memadai dengan gaji yang layak wajib disiapkan oleh negara.
Negara memiliki berbagai mekanisme yang akan menjamin terjadinya migrasi secara aman dan teratur. Islam telah menetapkan bahwa kehormatan dan kemuliaan manusia termasuk perempuan dan anak-anak harus dijaga. Rasulullah SAW memerintahkan untuk berlaku baik kepada sesama manuisia, termasuk kepada peerempuan dan anak-anak. Rasulullah juga telah melarang untuk menimbulkan kemadharatan bagi diri sendiri juga bagi orang lain. Rasulullah SAW juga memerintahkan untuk membayar upah pekerja sebelum kering keringatnya. Dengan demikian, Islam mencegah terjadinya perbudakan modern.
Islam juga menetapkan kewajiban bekerja mencari nafkah adalah kewajiban para laki-laki. Meski Islam membolehkan perempuan untuk bekerja, namun bukan dengan kewajiban menafkahi keluarga. Hal ini karena Islam telah memberikan amanah kepada perempuan untuk menjadi istri bagi suaminya, dan ibu serta pendidik anak anaknya. Islam juga menetapkan lapangan pekerjaan perempuan adalah bidang yang sesuai dengan kodratnya dan tetap menjaga kehormatannya sebagai perempuan.
Berbagai aturan Islam tersebut. tidak hanya menjamin kesejahteraan individu dan keluarga saja, namun juga menjaga keutuhan keluarga dan kuatnya ketahanan keluarga serta menjaga kualitas generasi. Dan pada akhirnya akan membangun peradaban yang mulia.
Semua itu hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam berbagai bidang kehidupan, dalam bangunan Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a’lam bishshawab
[1] http://news.detik.com/berita/d-3446324/tokoh-lintas-agama-deklarasi-antiperbudakan-modern
[2] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/03/14/omsr1x396-tokoh-lintas-agama-melawan-perbudakan-modern
[3] https://www.multivu.com/players/English/7391151-faith-leaders-eradicate-slavery/links/7391151-Indonesian.pdf
[4] http://www.globalslaveryindex.org/findings/?gclid=Cj0KEQjw2fLGBRDopP-vg7PLgvsBEiQAUOnIXIjvbsFXkDrfH3akSzjlaX31FR0MFcLZ2H7kK-sRU8kaAvxU8P8HAQ
[5] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/03/14/omsr1x396-tokoh-lintas-agama-melawan-perbudakan-modern
[6] women-migrant-workers-remittances-and-development.pdf
[7] http://www.tribunnews.com/nasional/2017/03/15/wapres-jk-dan-sejumlah-tokoh-agama-sepakat-hapuskan-perbudakan-modern
[8] http://bisnis.liputan6.com/read/2135156/ri-masih-akan-bergantung-pada-pengiriman-tki
[9] http://news.liputan6.com/read/589725/jumhur-1-tki-kerja-di-luar-negeri-5-orang-bebas-dari-kemiskinan
[10] http://www.beritasatu.com/ekonomi/327535-distribusi-kekayaan-di-indonesia-belum-merata.html
[11] https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2017/02/28/112611/oxfam-kekayaan-4-orang-terkaya-di-indonesia-setara-kekayaan-100-juta-penduduk-termiskin.html