Berpihaklah Pada Perjuangan Islam!

[Al-Islam No. 855, 8 Sya’ban 1438 H — 5 Mei 2017]

Umat Muslim sejatinya adalah insan-insan yang penuh ketaatan pada Allah SWT. Mereka tidak sekadar berikrar akan keesaan Allah SWT serta menjaga ibadah semisal shalat, shaum, atau zakat. Mereka pun tidak pernah tawar-menawar akan perintah dan larangan Allah SWT. Mereka senantiasa mendengar serta siap menjalankan syariah-Nya.

Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Sungguh jawaban kaum Mukmin itu, bila dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan. “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung (TQS an-Nur [24]: 51).

Keimanan kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. yang hakiki tak cukup sekadar ucapan di mulut tetapi kosong dari pembuktian. Keimanan hakiki harus terwujud dalam ketaatan dan keberpihakan pada Allah SWT dan Rasul-Nya. Tanpa itu, keimanan hakiki jauh dari kenyataan.

Penuhi Panggilan Allah SWT dan Rasul-Nya

Di antara tanda keimanan hakiki adalah bersungguh-sungguh memenuhi panggilan Allah dan RasulNya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).

Terkait ayat di atas, Imam ath-Thabari rahimahulLâh mengatakan, “Penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya dengan ketaatan jika keduanya menyeru kalian pada perkara yang menghidupkan kalian, yaitu kebenaran…jika keduanya menyeru kalian pada hukum al-Quran.”

Dalam Tafsîr al-Qaththân juga dikatakan, “Wahai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan bersiaplah dalam hal yang Dia perintahkan kepada kalian, dan jawablah seruan Rasul dalam menyampaikan apa yang Allah perintahkan jika Rasul menyeru kalian pada perintah-perintah Allah dengan hukum-hukum yang di dalamnya ada kehidupan bagi raga, jiwa, akal dan hati kalian.” (Taysîr at-Tafsîr al-Qurân lil-Qaththan, 2/102, Maktabah Syamilah).

Begitu penting dan wajib memenuhi panggilan Allah SWT dan Rasul-Nya, seorang Muslim harus meninggalkan perkara-perkara lain yang masih bisa ditinggalkan. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah menegur seorang sahabat bernama Abu Said bin al-Mualla ra. yang tidak bersegera menjawab panggilan beliau karena memilih untuk menyelesaikan terlebih dulu shalatnya. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada dia, “Apa yang menghalangi kamu untuk datang? Bukankah Allah telah berfirman: Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian.”

Para sahabat mencontohkan bagaimana seharusnya seorang Muslim senantiasa wajib berpihak pada perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketika turun QS al-Maidah (5) ayat 90 yang mengharamkan khamr, mereka segera membuang persediaan, khamr termasuk yang tengah berada di gelas-gelas mereka yang hendak mereka minum, tanpa menunda waktu lagi; tanpa lagi berpikir bahwa itu sudah menjadi adat kebiasaan mereka.

Demikian pula saat Allah SWT mengharamkan menikah dengan pria dan wanita musyrik (QS al-Mumtahanah [60]: 10), para sahabat segera menjatuhkan talak kepada istri mereka yang tidak mau diajak beriman. Pada saat itu Umar bin Khaththab ra. menceraikan dua orang istrinya (lihat: Tafsîr Ibnu Katsîr, 8/94, Maktabah Syamilah).

Seorang Mukmin juga tak rela bila melihat hukum-hukum Allah SWT terabaikan meski hanya satu hukum. Mereka akan bersegera meluruskan setiap penyimpangan dari perintah Allah SWT dan Nabi-Nya. Ketika pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. muncul kelompok-kelompok yang menolak membayar zakat, Khalifah segera mengirim utusan untuk mengingatkan mereka akan kewajiban zakat. Manakala mereka tetap menolak, Abu Bakar ra. akhirnya memutuskan untuk memerangi mereka.

Saat itu Umar bin al-Khaththab ra. mengingatkan Khalifah Abu Bakar ra. karena keputusan itu berarti memerangi orang yang telah bersyahadat dan shalat.

Khalifah Abu Bakar ra. memberikan jawaban yang tak bisa dibantah kebenarannya oleh Umar bin al-Khaththab ra., “Demi Allah, aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat karena sesungguhnya zakat adalah hak atas harta. Demi Allah, jika sekiranya mereka menahan dariku seutas tali, pasti akan aku perangi mereka karena kelakuan mereka itu.”

Ucapan Khalifah Abu Bakar ra. menegaskan kewajiban atas umat untuk melaksanakan syariah Islam secara kâffah tanpa boleh ada satu pun yang tercecer apalagi sengaja diabaikan. Meninggalkan satu perintah Allah SWT berkonsekuensi dosa besar di sisi-Nya. Lalu alasan apa yang bisa kita ajukan ke hadapan Allah SWT bila hari ini banyak sekali hukum-hukum-Nya yang ditinggalkan?

Saat ini ekonomi umat dibiarkan dicengkeram oleh sistem kapitalisme-neoliberalisme. Sistem ini telah menciptakan jurang kemiskinan yang semakin menganga lebar. Sumberdaya alam dikeruk bangsa asing bukan untuk kesejahteraan umat. Praktik ribawi dianggap biasa, padahal itu adalah dosa besar.

Kehidupan sosial umat terpuruk dalam hedonisme, perzinaan dan perselingkuhan. LGBT merebak. Tingkat perceraian justru meroket. Semua ini akibat syariah Islam ditelantarkan.

Padahal tak ada alasan bagi umat Islam untuk menelantarkan syariah Islam dan kewajiban menegakkan Khilafah Islam. Keduanya adalah perkara yang amat agung. Bahkan penegakan Khilafah disebut sebagai tâj al-furûd (mahkota kewajiban) karena banyak kewajiban agama yang tak mungkin terlaksana tanpa keberadaan Khilafah. Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan,  “Ketahuilah juga, para sahabat Nabi saw. telah sepakat bahwa mengangkat imam (khilafah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan pengangkatan imam (khalifah) itu sebagai kewajiban terpenting karena mereka telah menyibukkan diri dengan hal itu ketimbang memakamkan jenazah Rasulullah saw..” (Al-Haitami, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hlm. 17).

Jelas kewajiban melaksanakan syariah Islam dan penegakkan Khilafah secara naqli  merupakan kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Dosa Besar Menghalangi Dakwah

Hari ini umat bukan hanya telah menelantarkan banyak hukum-hukum Allah SWT, tetapi juga di tengah-tengah mereka bermunculan kelompok-kelompok yang menghadang manusia dari jalan Allah SWT. Mereka mencoba memalingkan manusia yang hendak melangkah ke jalan kebenaran, menjemput hidayah. Mereka justru dicegah, dihalang-halangi dan diintimidasi. Perbuatan ini amat dicela oleh Allah SWT, bahkan pelakunya diancam dengan azab yang pedih, sebagaimana firman-Nya:

أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (18) الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ (19) أُولَئِكَ لَمْ يَكُونُوا مُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ وَمَا كَانَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ يُضَاعَفُ لَهُمُ الْعَذَابُ

Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim, (yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Mereka itulah orang-orang yang tidak meyakini adanya Hari Akhirat. Mereka itu tidak mampu menghalang-halangi Allah untuk (mengazab mereka) di bumi ini. Sekali-kali tidak ada bagi mereka penolong selain Allah SWT. Siksaan itu dilipat gandakan atas mereka  (TQS Hud [11]: 18-22).

Yang dimaksud dengan menghalangi manusia dari jalan Allah SWT, menurut Imam ath-Thabari yakni: menolak manusia dari mengikuti kebenaran dan meniti jalan hidayah yang mengantarkan pada (agama) Allah Azza wa Jalla dan mendekatkan mereka ke surga.

Di dalam ayat tersebut Allah SWT menyebutkan berbagai ancaman bagi siapa saja yang menghalang-halangi manusia berjalan di jalan-M. Mereka dilaknat, diancam dengan azab-Nya, tidak akan mendapatkan pertolongan-Nya, dilipatgandakan azab-Nya atas mereka, usaha mereka akan lenyap dan di akhirat akan merugi.

Rasulullah saw. juga mengingatkan orang-orang yang menebarkan permusuhan kepada sesama Muslim dengan kebatilan, padahal mereka tahu yang mereka lakukan adalah perbuatan batil. Beliau bersabda:

وَمَنْ خَاصَمَ فِى بَاطِلٍ وَهُوَ يَعْلَمُهُ لَمْ يَزَلْ فِى سَخَطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ عَنْهُ وَمَنْ قَالَ فِى مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

Siapa saja yang berseteru dalam kebatilan, sementara ia tahui, maka ia senantiasa berada dalam kemurkaan Allah hingga ia meninggalkan perseteruan itu. Siapa saja yang mengatakan pada diri seorang Mukmin sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka Allah akan menempatkan dia dalam perasan penduduk Neraka hingga ia meninggalkan apa yang ia katakan (HR Abu Daud).

Wahai kaum Muslim:

Jadilah bagian dari para pejuang yang berjuang menegakkan syariah dan Khilafah, dan jangan menjadi kelompok orang yang justru menghalangi manusia dari jalan Allah SWT! Sungguh telah jelas kerusakan menimpa kita karena kita jauh dari kehidupan Islam, sedangkan Islam senantiasa mengajak kita ke dalam petunjuk Allah SWT. Tak ada petunjuk yang paling lurus melainkan datang dari agama Allah SWT.

Sungguh besar dosa orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan dakwah dan bersekutu dengan kemungkaran. Perbuatan tersebut adalah pengkhianatan terhadap Allah SWT, Rasulullah saw. dan umat. []

Komentar al-Islam:

Ketua MPR: Jangan Lagi Pertentangkan Islam dan Kebinekaan (Republika.co.id, 2/5/2017).

Benar. Tidak ada masalah antara Islam dan kebhinekaan.
Dalam sejarah, selama lebih dari 13 abad terbukti Islam sanggup menjaga kebhinekaan dengan menaungi ragam suku, bangsa, bahasa, etnik, agama, kelompok dan mazhab.
Namun harus diingat, kondisi demikian terjadi saat syariah Islam diterapkan secara kâffah dalam sistem Khilafah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*