Mendudukkan Kembali Peran ‘Ulama Perempuan’ di Tengah-tengah Umat
Sebanyak 780 ulama perempuan dari berbagai daerah di Indonesia dan juga negara lain menghadiri Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Kupi) di Cirebon, Jawa Barat, 25-27/4. Ulama perempuan yang berjumlah 780 itu terdiri dari 580 orang peserta dan 200 orang pengamat. Tema besar yang diangkat yaitu Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan.
Dalam rangkaian kegiatan tersebut, ratusan ulama perempuan juga mengadakan seminar internasional, seminar nasional dan musyawarah fatwa. Seminar internasional ulama perempuan menghadirkan narasumber dari Indonesia dan luar negeri. Di antaranya Malaysia, Pakistan, Afganistan, Saudi Arabia, dan Nigeria. Untuk seminar nasional ulama perempuan diisi diskusi panel tentang sejarah, peran, tantangan, strategi dakwah dan metode studi Islam ulama perempuan dalam menjawab isu-isu kontemporer di Indonesia.
Gagasan untuk menyelenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) disebut oleh Sekretaris Umum Komite Pelaksana KUPI, Ninik Rahayu, sebagai upaya kultural dan struktural untuk menegaskan kembali kerja-kerja sosial keulamaan perempuan dalam meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Ada 3 tujuan utama digelarnya acara ini seperti dilansir Tempo. Pertama, mengakui dan mengukuhkan keberadaan dan peran ulama perempuan dalam sejarah Islam dan Indonesia. Kedua, membuka ruang ulama perempuan tanah air dan dunia untuk berbagi pengalaman tentang kerja pemberdayaan perempuan dan keadilan sosial dalam rangka membumikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusian. Ketiga, membangun pengetahuan mengenai ulama perempuan dan kontribusinya bagi kemajuan dan peradaban umat manusia. Sekaligus merumuskan fatwa dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu kontemporer dalam perspektif Islam rahmatan lil alamin. Selain 3 poin utama itu, KUPI juga akan mengeluarkan sebuah rekomendasi dalam menjawab permasalahan kekerasan seksual, pernikahan anak, perusakan alam, ketimpangan sosial, migrasi, hingga radikalisme.
Peran ulama perempuan sangat penting keberadaannya di tengah-tengah umat. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ketua Lajnah Muballighah Muslimah HTI, Asma Amnina bahwa peran mulia Muballighah/ulama perempuan dalam mendidik generasi dan mencerdaskan umat memiliki posisi strategis sekaligus politis dalam pembentukan peradaban manusia.
Adapun tujuan kedua dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Cirebon, yakni membuka ruang bagi ulama perempuan dalam pemberdayaan perempuan dan keadilan sosial, merupakan hal yang perlu ditelisik lebih lanjut. Sebagaimana diungkapkan pula oleh aktivis perempuan asal Malaysia, salah satu pembicara Kupi, yang memuji keberhasilan Indonesia dalam menyeleraskan sejumlah kebijakan dan akses yang terbuka bagi kalangan perempuan. Dia menilai, tidak ada perlakuan kebijakan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan di Indonesia.
Menurut Asma, memang benar Indonesia selangkah lebih “maju” dari negeri tetangganya dalam mengeluarkan kebijakan terkait perempuan, misal kebijakan hak politik, ketenagakerjaan/pemberdayaan ekonomi perempuan. Namun perlu juga dikritisi oleh kalangan penggerak perempuan bahwa kebijakan yang terkesan memberi ruang kebebasan pada perempuan itu sebaliknya telah memberi dampak buruk bagi kehidupan perempuan. Hal ini bisa dilihat dari terus meningkatnya angka perceraian tahun demi tahun, menurut data Kementrian Agama RI bahwa di tahun 2014 saja setiap jamnya di Indonesia terjadi 40 perceraian (angka perceraian tertinggi di asia pasifik), dan yang memiriskan hati 70%nya karena gugat cerai dari Istri, faktor yg dominan sebab krn ekonomi dan perselingkuhan. Kemandirian ekonomi pada perempuan yang sejatinya diharapkan mengokohkan ekonomi keluarga justru memicu perceraian sebab para perempuan tidak lagi merasa bergantung pada laki-laki (lebih lebih jika laki-laki/suaminya berpenghasilan jauh lebih kecil darinya).
“Perselingkuhan tinggi juga bisa dipicu dari ruang publik atau kantor yang bebas interaksi antara laki-laki dan perempuan, belum lagi tingginya angka kriminalitas yang mendera perempuan dan pelecehan seksual. Apakah ini yang diinginkan perempuan?” ucap Asma.
Hal ini menurut pandangan Asma, akan semakin menjauhkan umat khususnya perempuan dari Islam yang benar/kaffah. Karena solusi Islam (moderat) yang ditawarkan terhadap persoalan perempuan hari ini sejatinya bukan berasal dari Islam, melainkan ide-ide feminisme/gender yang berasal dari Barat yang dibalut dengan kemasan Islam moderat. Kesamaan/kesetaraan dan keadilan gender yang telah lama dipropagandakan di negeri ini dan negeri-negeri Islam telah menuai dampak yg amat buruk bagi perempuan, perempuan semakin hilang hak atas penjagaan dirinya, tereksploitasi tenaga dan pikirannya demi berjuang menafkahkan dirinya atas nama pemberdayaan perempuan, pelecehan seksual, kriminalitas di tempat-tempat umum atas perempuan, perpecahan/perceraian rumah tangga, dan kehancuran generasi. Kerusakan ini akan berdampak pada umat yang semakin jauh dari kebangkitan Islam hakiki.
“Kondisi inilah yang kemudian menuntut para muballighah dan para ulama perempuan ideologis harus bekerja lebih keras membongkar kebohongan-kebohongan dibalik propaganda gender/feminisme ini. Serta harus semakin gencar menjelaskan kepada umat wabil khusus kalangan perempuan bahwa Syariah Islam sebagai agama yang sempurna sejatinya telah memberi pengaturan sekaligus posisi yang mulia sekaligus seadil-adilnya kepada perempuan baik sebagai individu, keluarga atau masyarakat. Hukum tentang hijab, perwalian, pemisahan antara laki-laki dan perempuan, pernikahan, waris, dan lain-lain adalah hukum yang menjamin keadilan, kesejahteraan, keamanan, dan penjagaan bagi perempuan. Keberadaan Islam moderat justru sangat membayakan Islam dan kaum muslimin termasuk para perempuan muslimah karena akan menjauhkan Islam yang utuh dan sempurna (Islam kaaffah),” tegas Asma.[] Crafty