Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Muhammad Mahendradatta menyatakan keadaan darurat tidak bisa diterapkan karena Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bersih dari unsur kekerasan. Sehingga pernyataan Kepala BIN Budi Gunawan yang menyebutkan ‘pemerintah dapat mengambil langkah non yudisial (di luar jalur hukum) untuk pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena negara dalam keadaan darurat’ terbantahkan.
“Memang penguasa saat ini terkesan suka memperluas, memperluas penerapan UU sekehendak hatinya, dan tujuannya terlihat hanya ketakutan untuk mempertahankan kekuasaan selama bisa,” ujar Mahendradatta kepada mediaumat.com, Jum’at (12/5/2017).
Menurutnya penetapan keadaan darurat ataupun bahaya masih diatur dalam UU yang saling bertabrakan antara UU No 7/Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dengan UU No 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya. Kedua UU tersebut tidak bisa dikatakan saling menghapuskan dengan asas UU yang baru menghapuskan UU yang lama (lex post teriori derogat legi inferiori) karena UU tersebut mengatur keadaan yang berbeda. Namun kedua UU tersebut memiliki tingkat resiko pelanggaran HAM yang sama dan tidak mengatur jelas kewenangannya.
“Terhadap HTI, kedua UU tersebut tidak dapat diterapkan, karena jelas-jelas sama-sama mengandung unsur kekerasan atau anarkis dalam penerapannya. Sedangkan HTI sama sekali bersih dari unsur tersebut,” ungkapnya.
Karena rezim yang cenderung represif seperti ini, Mahendra menyatakan tiada jalan lain bagi umat Islam untuk berani berteriak dan mengadu pada umat Islam dunia agar setidak-tidaknya mereka memahami betapa ada tekanan kekuasaan pada umat Islam di Indonesia dewasa ini.(mediaumat.com, 13/5/2017)