Beginilah pandangan Tarli Nugroho (Staf Khusus Wakil Ketua DPR RI) mengenai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam tulisannya yang berjudul “Liberalisme untuk Siapa?” yang dipublikasikan oleh borneonews.co.id (24/4/2017).
LIBERALISME UNTUK SIAPA?
Oleh : Tarli Nugroho (Staf Khusus Wakil Ketua DPR RI, Wakil Sekjen HTKI, Institute for Policy Studies (IPS))
SEKITAR empat tahun lalu, dalam sebuah pameran buku saya memborong buku-buku terbitan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Buku-buku itu dibeli bukan karena saya setuju dengan pandangan mereka, melainkan karena tertarik dengan cara mereka berikhtiar menghidupi pemikiran yang diyakininya. Pada sebuah stan yang penuh menjual publikasi HTI, yang banyak di antaranya saya tahu tidak pernah masuk toko buku, saya menyaring karya-karya terjemahan agar tidak masuk keranjang belanja, dan sepenuhnya membeli karya-karya yang ditulis oleh orang HTI sendiri. Dan hasilnya, menurut saya, adalah gambaran sebuah ikhtiar intelektual yang patut diapresiasi.
Di luar soal politik dan kenegaraan, topik yang saya abaikan dalam belanja buku itu, mereka sangat serius mengkaji soal seperti koperasi, BUMN, APBN, subsidi, politik perekonomian, krisis ekonomi, soal kebijakan moneter, yang dikupas dari sudut pandang “syariat Islam” sebagaimana yang mereka yakini tentu saja. Semua itu ditulis dalam buku yang tidak sedikit jumlahnya. Bahkan, dari beberapa buku, terdapat semacam manifesto mengenai mazhab ekonomi-politik yang sedang mereka bangun di Indonesia.
Para penulis buku itu bukanlah intelektual publik. Namanya tidak pernah muncul di koran atau disebut di majalah, kecuali dalam lingkungan mereka sendiri yang terbatas. Namun, dengan karya-karya itu, yang mereka tulis sendiri, dan mencakup berbagai topik yang bersinggungan dengan soal PUBLIK dalam dosis yang tinggi, terus terang muncul penghormatan yang dalam terhadap ikhtiar intelektual mereka. Meski, sekali lagi, cukup jelas saya tidak setuju dengan interpretasi mereka mengenai syariat Islam dan sistem khilafah.
*
Bersamaan dengan timbulnya apresiasi itu, tentu sulit menghindari untuk mengkontraskan ikhtiar HTI ini dengan ikhtiar kelompok liberal di Indonesia.
Sejak awal 2000, kelompok liberal juga banyak menerbitkan buku yang berisi pembelaan terhadap posisi dan gagasan intelektual mereka. Dan hampir semua buku itu adalah terjemahan! Mereka juga punya manifesto terkait kebijakan publik yang mereka sampaikan dalam bentuk iklan satu halaman penuh, mendukung kenaikan harga BBM pada 2005 silam di sebuah koran nasional.
Sampai di situ, kitapun pantas mengajukan pertanyaan: meski banyak diisi oleh mereka yang lazim disebut sebagai intelektual publik, “publik” yang mana sebenarnya yang hendak dibela oleh intelektual liberal itu?
Belakangan saya sering berpikir, jangan-jangan mereka sudah memperkosa pengertian “publik” ini sebagai kepentingan pamrih diri mereka sendiri. Sebab, bukankah kelas mereka yang kecil itu juga bisa didefinisikan sebagai “publik”, yang juga butuh disuarakan kepentingannya, dan disetarakan posisinya dengan kelompok berpamrih lainnya yang jumlahnya lebih besar?!
Jika demikian memang pengertian “publik” mereka, maka kita memang pantas untuk prihatin. Itulah barangkali yang disebut sebagai “liberalisme tanpa gagasan liberasi”, karena liberalisme yang mereka usung aspek emansipatorisnya sangat privat, dan bukan publik. Seandainyapun ada gagasan “liberasi” pada liberalisme mereka, maka liberasi itu mungkin hanya berlaku untuk tubuh mereka sendiri, bukan liberasi yang bersinggungan dengan tubuh-sosial, publik, dan apalagi demos.
Jadi, jika ada yang bertanya, dimanakah sebenarnya “publik” di dalam wacana kaum liberal di Indonesia, maka seturut logika ekonomi pasar yang mereka imani, “publik” tentu saja dianggap “tidak ada”, sebab bagi mereka yang ada hanyalah “kerumunan individu” yang membela self interest-nya masing-masing!
Persis di situ, menurut saya, HTI jauh lebih serius terlibat dalam urusan-urusan publik, daripada mereka yang selalu berlindung di balik ketiak nama-nama mentereng seperti Hayek, atau von Mises, yang ketika menyaksikan sejumlah kaum mustad’afin sedang ditindas, mereka malah petentengan mengajak berdebat soal “siapa sebenarnya yang sah mewakili orang miskin?”[]