[Al-Islam Edisi 857, 22 Sya’ban 1438 h – 19 Mei 2017 M]
Akhir-akhir ini istilah khilafah menjadi topik perbincangan masyarakat. Ada anggapan bahwa istilah khilafah itu tidak ada dalam al-Quran. Karena itu Khilafah tidak perlu disuarakan. Bahkan seolah ingin ditanamkan kepada umat bahwa Khilafah itu bukan ajaran Islam sehingga umat tidak perlu menyibukkan diri dengan urusan Khilafah.
Memang benar, kata khilafah dalam makna sistem pemerintahan Islam—sebagaimana yang diperbincangkan—tidak ada dalam al-Quran. Namun harus diingat, jika sesuatu itu tidak dinyatakan secara jelas di dalam al-Quran bukan berarti hal itu tidak disyariatkan atau bukan bagian dari ajaran Islam. Banyak sekali perkara yang tidak dinyatakan dalam al-Quran. Shalat wajib lima waktu dan jumlah rakaatnya, misalnya, tidak dinyatakan dalam al-Quran, melainkan dijelaskan di dalam as-Sunnah. Tentu tidak ada yang berani menolak kewajiban shalat lima waktu dan jumlah rakaatnya dengan alasan tidak dinyatakan dalam al-Quran. Demikian juga khalifah dan Khilafah. Kewajiban menegakkan Khilafah dan mengangkat khalifah itu dinyatakan oleh nas-nas as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas; juga didukung oleh kaidah-kaidah syar’iyyah.
Khilafah Kedaluwarsa?
Ada juga anggapan, kalaupun Khilafah itu wajib, itu sudah kedaluwarsa (sudah lewat, tidak berlaku lagi). Sebabnya, Khilafah itu hanya 30 tahun dan setelah itu kerajaan. Seolah setelah 30 tahun itu, apalagi sekarang, kewajiban mewujudkan Khilafah itu tidak berlaku lagi. Anggapan itu didasarkan pada hadis penuturan Safinah bahwa Rasul saw. bersabda:
«الْخِلاَفَةُ ثَلاَثُونَ عَامًا ثُمَّ يَكُوْنُ بَعْدَ ذَلِكَ الْمُلْكُ»
Khilafah itu tiga puluh tahun, kemudian setelah itu al-mulk (HR Ahmad).
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh ashhâb as-sunan dan disahihkan oleh Ibn Hibban dan yang lain. Namun demikian, hadis ini tidak bermakna membatasi masa Khilafah itu hanya 30 tahun. Sebabnya, jika dimaknai demikian, hadis ini akan bertentangan dengan banyak nas lainnya. Masa 30 tahun itu hanyalah masa Khulafa’ ar-Rasyidin plus Hasan bin Ali ra. Selama masa 30 tahun itu hanya ada lima khalifah.
Di sisi lain, ada hadis penuturan Jabir bin Samurah (HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban) yang menyatakan adanya 12 khalifah. Menurut Ibn Hibban, hadis tentang 12 khalifah ini tidak membatasi jumlah khalifah hanya dua belas saja. Kemudian ada hadis penuturan Hudzaifah bin al-Yaman yang menyatakan akan kembali terwujudnya Khilâfah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah setelah masa mulk[an] ‘adh[an] dan mulk[an] jabariyat[an].
Selain itu pembatasan masa Khilafah hanya 30 tahun juga akan mengakibatkan banyak hadis tentang khalifah, baiat, ketataan kepada imam/khalifah dan sikap seputar hal itu, menjadi tidak ada nilainya. Tent saja, ini meyalahi syariah.
Menurut Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Fath al-Bârî, “Yang dimaksud dalam hadis penuturan Safinah adalah Khilafah an-Nubuwwah dan tidak membatasi (masa) Khilafah.”
Ini juga menjadi pendapat para ulama salaf, di antaranya Qadhi Iyadh, Imam an-Nawawi, Ibn Hibban, as-Suyuthi, Ibn Taimiyah dan yang lain. Bahkan hadis riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan Abu Dawud secara jelas menyebut tiga puluh tahun itu adalah masa Khilafah an-Nubuwwah. Hadis tersebut tidak menafikan keberadaan Khilafah setelah masa 30 tahun itu. Bahkan keberadaan Khilafah setelah 30 tahun itu dinyatakan di dalam banyak hadis.
Hadis penuturan Safinah juga tidak bisa dimaknai bahwa setelah 30 tahun masa Khilafah an-Nubuwwah lantas berubah menjadi kerajaan. Pasalnya, kata al-mulk dalam hadis itu, selain berarti kerajaan, juga berarti al-hukm wa as-sulthân (pemerintahan dan kekuasaan). Maknanya, setelah 30 tahun masa Khilafah an-Nubuwwah, Allah SWT akan memberikan pemerintahan dan kekuasaan kepada orang yang Dia kehendaki. Makna ini malah dengan jelas dinyatakan dalam sabda Rasul saw.:
«خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ»
Khilafah an-Nubuwwah itu tiga puluh tahun kemudian Allah memberikan kekuasaan atau kekuasaan-Nya kepada orang yang Dia kehendaki (HR Abu Dawud).
Setelah 30 tahun masa Khilafah an-Nubuwwah pertama itu, pemerintahan dan kekuasaan beralih di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan. Ibn Hajar dalam Fath al-Bârî menyatakan, “Adapun Muawiyah dan orang sesudahnya maka keadaan mereka berada di atas jalan para raja (‘alâ sabîl al-malik), namun mereka tetap disebut para khalifah.”
Al-Munawi dalam Faydh al-Qadîr dan dikutip al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwâdzî menyatakan, “Setelah selesai zaman Khilafah an-Nubuwwah terdapat mulk karena sebutan khilafah (yakni Khilafah an-Nubuwwah) tidak lain bagi orang yang memenuhi sebutan tersebut karena aktivitasnya yang sesuai sunnah. Adapun mereka yang menyalahi adalah mulk, bukan Khilafah. Mereka tetap disebut khilafah karena menggantikan orang (penguasa) sebelumnya.”
Qadhi Abu Ya’la yang dikutip oleh Ibn Taimiyah dalam Kutub wa Rasâ’il wa Fatâwâ Ibn Taymiyah fî al-Fiqh menyatakan, “Yang dimaksud, Khilafah yang tidak menyerupai kerajaan pasca Rasul adalah 30 tahun. Begitulah keadaan khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Adapun Muawiyah telah menyerupai raja meski hal itu tidak menjadikan Khilafahnya cacat.”
Fakta Sejarah
Selain itu fakta sejarah menunjukkan: Pertama, kaum Muslim, termasuk para sahabat yang masih hidup dan para tabi’in, tetap menyebut Muawiyah dengan sebutan khalifah, amirul mukminin. Begitu pula para khalifah sesudahnya.
Kedua: masing-masing dari mereka menjadi khalifah setelah dibaiat oleh kaum Muslim, bukan karena wasiat dari khalifah sebelumnya. Adanya wasiat putra mahkota (wilâyatu al-‘ahdi) yang diawali oleh Muawiyah merupakan cara pengajuan calon khalifah meski akhirnya menjadi satu-satunya cara pencalonan dan seolah mengikat kaum Muslim atas calon yang diwasiatkan khalifah sebelumnya itu.
Ketiga, kedaulatan tetap berada di tangan syariah, bukan di tangan Khalifah. Hukum yang diterapkan tetap hukum-hukum syariah. Sistemnya pun tetap sistem Islam. Memang, terdapat penyelewengan dan keburukan pelaksanaan hukum (isâ`atu fî at-tathbîq), seperti pencalonan khalifah dengan sistem wasiat/putra mahkota yang menyerupai sistem kerajaan itu. Namun, Kekhilafahan mereka tetap bukan kerajaan, karena dalam sistem kerajaan, kedaulatan ada di tangan raja dan hukum yang diterapkan adalah hukum yang ditetapkan sesuai kehendak raja.
Alhasil, Khilafah bukan hanya 30 tahun. Karena itulah Al-Hafizh as-Suyuthi (w. 911 H) dalam Târîkh al-Khulafâ’, telah menyebutkan para khalifah yakni: Khulafa’ ar-Rasyidin, Khilafah Bani Umayyah dan Khilafah Bani Abbasiyyah. Semuanya berjumlah 73 khalifah. Imam as-Suyuthi menyatakan bahwa mereka (73 khalifah itu) al-muttafaq ‘alâ shihati imâmatihi wa ‘aqd bay’atihi (telah disepakati keabsahan imamah dan akad baiatnya).
Ijmak Ulama Mewajibkan Khilafah
Dengan demikian jelas, kewajiban untuk menegakkan kembali Khilafah tidak kedaluwarsa dan tetap berlaku hingga saat ini. Para ulama yang hidup pasca periode 30 tahun itu menyatakan kewajiban menegakkan Khilafah. Andai adanya Khilafah (Imamah) itu tidak wajib setelah periode Khilafah 30 tahun, tentu mereka tidak akan menyatakan kewajiban adanya Khilafah. Sebaliknya, mereka secara konsisten menyatakan kewajiban tersebut. Bahkan hingga ulama yang hidup di era akhir, juga menyatakan pandangan yang sama tentang kewajiban menegakkan Khilafah ini.
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang pendapatnya tidak diakui (Lihat: Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 6/163-164).
Hal yang sama telah lama dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham—yang tuli (‘asham) terhadap syariah—dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).
Imam an-Nawawi juga menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Muslim, 12/ 205. Lihat juga: Asy-Syarbini al-Khathib, Mughni al-Muhtâj, XVI/287; Abu Yahya Zakaria al-Anshri, Fath al-Wahâb, II/268; Asy-Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bajairimi, Hasyiyah al-Bajayrimi ‘alâ al-Khâtib, XII/ 393; dll).
Ulama terkemuka Indonesia, H. Sulaiman Rasjid, (Rektor IAIN Lampung, w. 1976), penulis buku Fiqh Islam (1954), juga menyatakan tentang kewajiban menegakkan Khilafah ini. Dalam bukunya yang pernah menjadi buku wajib pada sekolah menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia ini—yang hingga tahun 1994 telah dicetak sebanyak 44 kali—Sulaiman Rasjid, ketika membahas hukum membentuk Khilafah, menyatakan, “Kaum Muslimin (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan Khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum Muslimin.”
Alhasil, adanya Khilafah adalah wajib. Tentu kaum Muslim selayaknya berusaha merealisasikan Khilafah itu bersama-sama. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
HNW: Pendekatan Persuasif tak Tepat untuk Kasus Makar di Minahasa (Republika.co.id, 16/5/2017).
1. Setuju. Aneh saja, gerakan yang sudah menyatakan secara terangan-terangan untuk memerdekakan diri tidak dianggap makar. Bahkan gerakan separatis bersenjata OPM yang telah banyak menimbulkan korban di kalangan aparat dan juga berkali-kali menyatakan akan memerdekakan diri seolah dibiarkan.
2. Giliran gerakan Islam seperti HTI, yang hanya mewacanakan Khilafah demi menjaga keutuhan negeri ini, dianggap makar.
3. Karena itu jangan aneh jika ada yang menuduh rezim ini adalah rezim anti Islam.