Oleh : Adi Victoria (Humas HTI Kaltim)
Di dalam kutaib Dukhul Mujtama’ yang terjemahannya berarti Terjun Ke Masyarakat, karangan dari pendiri sekaligus amir pertama Hizbut Tahrir yakni al-Imam al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, terdapat kalimat terakhir di dalam kutaib tersebut bertuliskan “Peperangan antara Islam dengan kekufuran terus berlangsung, hingga kekufuran itu tumbang, dan Islam memperoleh kemenangan”. Dan tampaknya apa yang dituliskan oleh beliau memang benar adanya. Bagaimana kemudian kita melihat hingga saat ini, Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah mabda’ (ideologi), terus mendapatkan hantaman, khususnya dari Barat.
Terlebih pasca serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 di kota New York, Amerika Serikat (AS), yang mengakibatkan ribuan korban meninggal, George Walker Bush kemudian mengkampanyekan perang terhadap terorisme. Padahal banyak pihak yang meragukan bahwa itu adalah aksi terorisme terhadap Amerika, namun rekayasa AS untuk membangun opini bahwa AS diserang oleh kelompok Teroris1. AS kemudian memiliki momen untuk benar-benar memperlihatkan permusuhannya terhadap Islam. AS kemudian menggalang dukungan negara-negara di dunia untuk mendukung melawan terorisme, pilihannya Cuma 2, bersama Amerika, atau bersama teroris, tidak ada pilihan lain.
Sebagaimana pernyataan George Bush, 9 hari pasca runtuhnya gedung WTC tersebut, George Bush menyatakan “every nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us, or you are with the terrorists.2
Siapakah teroris yang dimaksud tersebut? tidak lain adalah Islam. Walaupun dalam pernyataannya, George Bush menyatakan bukan memerangi Islam. “The enemy of America is not our many Muslim friends; it is not our many Arab friends. Our enemy is a radical network of terrorists, and every government that supports them” ujar Bush3.
Namun, Barat mungkin menyadari bahwa kampanye WOT mereka (War on Terorism), tidak berhasil untuk membendung upaya-upaya kaum Muslim untuk memperjuangkan kembali tegaknya Khilafah. Hingga tampaknya, sekarang opini digulirkan menjadi perang terhadap gerakan yang berpaham radikal.
Kenapa? Karena untuk memerangi umat Islam atas nama perang melawan terorisme, maka perang tersebut baru bisa dilakukan jika telah terjadi peristiwa teror (tindakan fisik), seperti adanya serangan-serangan terhadap wilayah atau aset milik Barat, sehingga dengan dalih melawan terorisme, mereka akan menyerang umat Islam atau kelompok umat Islam yang menurut mereka telah melakukan tindakan teror. Walaupun boleh disebut salah satu keberhasilan Barat dalam hal ini adalah Amerika, dalam agenda perang melawan terorismenya, mendapatkan dukungan dari negeri-negeri Barat lainnya seperti Inggris, Jerman, Australia, Rusia dan negeri Barat lainnya, bahkan termasuk negeri-negeri Muslim sendiri.
Hingga kemudian mulai dikembangkan opini dari perang melawan terorisme menuju perang melawan radikal. Namun Barat sejatinya tetap menyasar Islam, karena yang dimaksud dengan faham radikal bagi Barat adalah kelompok dari umat Islam yang menolak nilai-nilai Demokrasi Barat, serta yang ingin memperjuangkan tegaknya syariah Islam di dalam sebuah negara.
Sehingga, kelompok mana saja yang menyerukan untuk penegakan syariah dan khilafah, maka tentu akan di beri label sebagai kelompok yang radikal.
Ini juga bisa dilihat dari kegiatan Arab Islamic America Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam Amerika di Riyadh, Arab Saudi, hari Minggu (21/5), dimana pembahasan yang dibahas terkait radikalisme dan terorisme.
Presiden Joko Widodo menyampaikan empat pemikirannya terkait pemberantasan terorisme dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam Amerika, Riyadh, Arab Saudi, Minggu (21/5/2017). Yakni pertama, umat Islam se-dunia harus bersatu bersatu untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah. Kedua, kerja sama pemberantasan radikalisme dan terorisme harus ditingkatkan, termasuk dalam hal pertukaran informasi intelijen; pertukaran penanganan Foreign Terrorist Fighters (FTF) dan peningkatan kapasitas. Ketiga, akar persoalan terorisme harus diselesaikan. Ketimpangan sosial dan ekonomi harus diakhiri diiringi dengan kebijakan penguatan ekonomi inklusif bagi kelompok yang rentan terjun ke dunia radikalisme. Dan keempat, Presiden Jokowi berharap setiap negara di dunia berani menjadi “part of solution”, bukan “part of problem” dalam hal pemberantasan terorisme.4
Memahami Istilah Radikal & Radikalisme
Radikal seolah menjadi sesuatu yang sangat membahayakan bagi perdamaian dunia. Padahal radikal sendiri adalah sebuah istilah yang bersifat netral.
Kata radikal berasal dari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya akar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip); sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir dan bertindak.5
Jika kemudian radikal diartikan sebagai sesuatu yang mendasar, maka Islam itu sejatinya bisa disebut sebagai radikal. Kenapa? Karena sebagai sebuah agama dan ideologi, Islam memiliki pijakan yang mendasar terkait masalah aqidah yang sangat mendasar, yang menjadi pondasi kehidupan bagi seorang Muslim, serta masalah syariat yang merupakan implementasi dari aqidah itu sendiri, karena Islam terdiri atas aqidah dan syariah.
Namun, jika kemudian makna radikal adalah mendasar, maka sejatinya ideologi kapitalisme dan sosialisme juga adalah paham radikal. Kenapa? Karena Ideologi Kapitalisme juga berpijak kepada hal yang mendasar dalam masalah aqidah yakni sekulerisme, demikian sosialisme yang berpijak kepada aqidah komunisme. Yang kemudian, baik Kapitalisme dan Sosialisme melahirkan aturan kehidupan berdasarkan pijakan aqidah sekuler maupun komunis tersebut.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana jika kara radikal, ditambahkan dengan akhiran isme. Sehingga kemudian menjadi kata radikalisme. Kalau kita merujuk ke dalam KBBI lagi, maka akan di dapati bahwa kata radikalisme berarti paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.6
Radikalisme dengan arti paham dalam politik yang ekstrem dan dengan menggunakan cara kekerasan, atau paham keagamaan yang fanatik hingga memaksa orang lain, jelas bertolak belakang dengan Islam. Karena Islam memang melarang tindakan pemaksaan terhadap masalah keyakinan. Di dalam al-Quran disebutkan: Lâ ikrâha fî ad-dîn (Tak ada paksaan dalam memeluk Islam) (QS al-Baqarah [2]: 256).
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa memaksakan agama Islam kepada orang lain adalah larangan keras di dalam Islam. Apalagi mengganggu, meneror, dan mengebom orang-orang kafir yang hidup berdampingan dengan umat Islam. Sehingga, jelas Islam menolak radikalisme.
Maka, meski secara bahasa, Islam adalah radikal, Islam menolak radikalisme. Islam menolak cara-cara kekerasan dalam perubahan sosial-politik dan juga dalam pemaksaan agama seseorang. Mungkin terkesan tidak konsisten: radikal tetapi menolak radikalisme. Hal ini sebetulnya sama seperti: Islam mengakui manusia sebagai makhluk sosial, tetapi Islam menolak Sosialisme; Islam mengakui bahwa berbisnis butuh kapital (modal), tetapi Islam menolak kapitalisme. Tambahan kata isme itulah yang membuat arti sebuah kata berubah secara fundamental.
Inilah yang tidak dipahami oleh para pemimpin di negeri-negeri Muslim, dan juga Barat yang memang sudah fobia terhadap Islam. Sehingga, istilah radikal digunakan untuk menyebut kelompok dari umat Islam yang berjuang untuk menegakan syariah dan Khilafah, yang kemudian mereka sebuah sebagai sebuah radikalisme dalam beragama.
Amerika, The Real Terrorist
Yang aneh adalah kenapa Amerika yang sejatinya adalah the real terrorist menjadi bagian dari kegiatan tersebut, bahkan kegiatan itu sendiri bernama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam Amerika?
Bukankah apa yang dilakukan Amerika selama ini yang membunuhi jutaan umat Islam di Irak, umat Islam di Afghanistan, serta yang menyokong negara Israel untuk membantai umat Islam di Palestina adalah juga Amerika, telah memenuhi definisi apa itu terorisme. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa definisi terorisme adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.7
Bahkan, pengakuan bahwa terorisme sesungguhnya adalah pendudukan yang dilakukan Amerika terhadap Irak. Sebagaimana pengakuan Michael Prysner, mantan Kopral Angkatan Darat AS di Irak, pada tahun 2008 di Winter Soldier, Maryland.
Ia menyatakan “Saya berusaha keras untuk bisa membanggakan pengabdian saya, tapi yang saya bisa rasakan hanya rasa malu. Rasisme tidak bisa lagi menutupi realitas pendudukan. Mereka adalah orang, mereka adalah manusia. Saya sudah merasa terganggu oleh perasaan bersalah, setiap kali saya melihat seorang pria tua, seperti halnya seseorang yang tidak bisa berjalan, yang kami angkat dengan tandu, dan mengatakan kepada polisi Irak untuk membawanya pergi. Saya merasa bersalah setiap kali melihat seorang ibu bersama anak-anaknya, seperti halnya seseorang yang menangis histeris, dan berteriak bahwa kami lebih buruk dari Saddam, karena kami memaksanya untuk keluar dari rumahnya. Saya merasa bersalah setiap kali melihat seorang gadis muda, seperti seseorang yang saya raih lengannya, lalu menyeretnya ke jalan.
Kami diberitahu sedang memerangi teroris .. namun teroris yang sebenarnya adalah saya, dan terorisme yang sebenarnya adalah pendudukan ini. Rasisme dalam militer telah lama menjadi alat penting untuk membenarkan perusakan dan pendudukan negara lain, dan telah lama digunakan untuk membenarkan pembunuhan, penaklukan dan penyiksaan terhadap orang lain. Rasisme adalah senjata penting yang digunakan oleh pemerintah ini; ini adalah senjata yang lebih penting daripada senapan, tank, pembom, ataupun kapal perang; Rasisme lebih merusak daripada artileri, atau bom yang menembus bunker, atau rudal tomahawk.
Sementara semua senjata itu diciptakan dan dimiliki oleh pemerintah ini, mereka adalah orang-orang tidak berbahaya tanpa adanya orang-orang yang bersedia memakai senjata itu. Mereka yang mengirim kami ke medan perang, tidak perlu menarik pelatuk, atau memutar mortir; mereka tidak perlu berperang di medan perang, mereka hanya perlu menjual perang. Mereka membutuhkan publik yang bersedia mengirimkan tentara mereka dengan cara yang berbahaya. Mereka membutuhkan tentara yang bersedia membunuh dan dibunuh, tanpa perlu bertanya.
Mereka bisa menghabiskan jutaan dollar untuk sebuah tunggal, tetapi bom itu hanya menjadi senjata, saat jajaran militer bersedia mengikuti perintah untuk menggunakannya. Mereka dapat mengirimkan setiap prajurit ke mana saja di dunia ini, tapi hanya jika ada perang, jika tentara bersedia berperang .. Dan kelompok penguasa, para miliarder yang mendapat keuntungan dari penderitaan manusia, hanya peduli untuk memperluas kekayaan mereka, dengan mengendalikan ekonomi dunia .
Pahamilah bahwa kekuasaan mereka hanya terletak pada kemampuan mereka untuk meyakinkan bahwa perang, penindasan, dan eksploitasi ini adalah demi kepentingan kita. Mereka memahami bahwa kekayaan mereka bergantung pada kemampuan mereka untuk meyakinkan kelas pekerja untuk mati, untuk mengontrol pasar negara lain, dan meyakinkan kita untuk membunuh dan mati, yang didasarkan pada kemampuan mereka untuk membuat kita menganggap bahwa kita adalah paling unggul.
Para tentara, pelaut, marinir, penerbang, tidak mendapat keuntungan dari pendudukan ini. Sebagian besar orang yang tinggal di AS tidak mendapat keuntungan dari pendudukan ini. Bahkan, bukan hanya tidak memperoleh keuntungan, tapi kita juga menjadi lebih menderita karena hal ini. Kita kehilangan anggota badan, bertahan hidup dengan menderita trauma, dan memberikan nyawa kita. Keluarga kita harus menyaksikan peti-peti mati yang terbungkus bendera Amerika yang diturunkan ke dalam tanah.
Jutaan orang di negara ini hidup tanpa perawatan kesehatan, pekerjaan, atau akses untuk mendapatkan pendidikan, dan telah menyaksikan bahwa pemerintah ini telah menghambur-hamburkan lebih dari EMPAT RATUS LIMA PULUH JUTA DOLAR SEHARI UNTUK PENDUDUKAN INI. [IRAK]
Orang-orang miskin dan para pekerja di negeri, dikirim untuk membunuh orang-orang miskin dan para pekerja di negara lain, untuk membuat orang-orang kaya menjadi lebih kaya; dan tanpa rasisme, tentara akan menyadari bahwa mereka memiliki lebih banyak kesamaan dengan rakyat Irak, daripada yang mereka lakukan bersama para milyarder yang mengirimkan kita ke medan perang.
Saya melemparkan banyak keluarga ke jalan-jalan Irak, dan hanya untuk pulang dan menemukan banyak keluarga yang dilemparkan ke jalan-jalan di negeri ini, dan itu adalah hal yang tragis, dan krisis yang tidak perlu terjadi.
Kita harus bangun dan menyadari bahwa musuh kita yang sebenarnya bukan di negeri yang jauh, mereka bukanlah orang-orang yang namanya kita tidak tahu, dan budayanya tidak kita mengerti. Musuh kita adalah orang-orang yang sangat kita kenal, dan orang-orang yang kita dapat kenali. Musuh kita adalah sebuah sistem membiayai perang ketika hal itu menguntungkan. Musuh kita adalah para CEO yang memecat kita dari pekerjaan ketika hal itu menguntungkan; musuh kita adalah perusahaan-perusahaan asuransi yang menolak kita untuk mendapatkan perawatan kesehatan, bila hal itu menguntungkan; musuh kita adalah bank-bank yang menyita rumah-rumah kita ketika hal itu menguntungkan.
Musuh kita bukanlah orang-orang yang tinggalnya lima ribu mil jauhnya dari sini, mereka ada di sini di rumah kita sendiri. Bila kita bisa mengatur, dan meyakinkan saudara-saudari kita, kita dapat menghentikan perang ini, kita dapat menghentikan pemerintah ini, dan kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik”.8
Istilah Islam radikal atau Muslim Fundamentalis sendiri digunakan Barat khusus kepada kelompok umat Islam yang menolak demokrasi dan budaya Barat, menginginkan sebuah negara otoriter yang menerapkan hukum Islam, serta memakai penemuan dan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka. Sebagaimana yang terdapat dalam dokumen yang dikeluarkan Rand Corp pada tahun 2007 yang berjudul Building Moderate Muslim Network.9
Maka tidak lain bahwa gerakan atau kelompok umat Islam yang menginginkan tegaknya sebuah hukum syariah Islam di bawah sistem Khilafah bagi Barat adalah Islam radikal, paham yang membawa kepada tindakan terorisme. Ironisnya, negeri-negeri Islam pun termakan tipu daya Barat tersebut. Sehingga negeri-negeri Muslim pun berdiri sejajar bersama Barat untuk membendung tegaknya Khilafah. Padahal Khilafah adalah ajaran Islam, ajaran agamanya sendiri. []
Catatan Kaki :
1 https://www.youtube.com/watch?v=IEsDFYj6K9o
2 https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html
3 ibid
6 ibid
7 http://nasional.kompas.com/read/2017/05/22/10430031/di.ktt.arab.islam.amerika.jokowi.sampaikan.4.pemikiran.berantas.terorisme
8 http://orientalreview.org/2012/12/16/michael-prysner-the-real-terrorist-was-me/
9 http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monographs/2007/RAND_MG574.pdf