Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۙ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Pertama, Kalimat “يأيها الذين آمنوا” merupakan seruan (خطاب) yakni seruan kepada orang-orang yang beriman, mencakup umum laki-laki dan perempuan yang beriman, untuk apa? Dalam ayat ini untuk menegakkan ibadah shaum yang merupakan amal shalih, mengisyaratkan konsekuensi keimanan adalah beramal shalih. Iman dan amal shalih tak bisa dipisahkan, keduanya bagaikan dua sisi uang koin yang menyatu.
Ini sebagaimana mafhum dari QS. Al-‘Ashr, dimana Allah bersumpah dengan waktu, untuk menekankan meruginya manusia (muqsam ‘alayhi) kecuali mereka yang beriman (akidah), beramal shalih (syari’ah) dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (dakwah dan istiqamah bersabar dalam kebenaran), dimana aspek aspek tersebut disambungkan dengan waw ‘athaf yang berfaidah untuk menunjukkan penyatuan aspek-aspek tersebut (لمطلق الجمع) sebagaimana disebutkan para ulama ahli bahasa, fiqih dan ushul. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama ahli bahasa, baik madzhab Kufah maupun Bashrah.
Istilah iman (الإيمان) merupakan istilah yang dipakai al-Qur’an dan al-Sunnah, sedangkan akidah (العقيدة) merupakan istilah yang digunakan ulama ushul. Disebutkan sebagai awal khithab mengisyaratkan keimanan wajib dijadikan dasar beramal shalih.
Kedua, Kata kutiba (كتب) berbentuk kata kerja pasif yang mengandung konotasi furidha (فرض) yakni difardhukan. Maka jelas bahwa shaum Ramadhan hukumnya fardhu, lebih dari sekedar wajib. Istilah fardhu itu sendiri dalam istilah ushul, adalah kewajiban yang didasari dalil-dalil qath’iyyah yakni dalil yang pasti, mencakup tsubut (penetapan sumbernya) dan dilalah (penunjukan maknanya), dan dihukumi kufur siapa saja yang mengingkarinya. Ini sebagaimana penjelasan Prof. Dr. M Rawwas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha (hlm. 343):
ما ثبت إيجابه بدليل قطعي الثبوت، قطعي الدلالة، ويكفر جاحده
“Hal-hal yang penetapan kewajibannya berdasarkan dalil qath’iy tsubut, qath’iy dilalah dan kufur siapa saja yang mengingkarinya.”
Dan ibadah shaum Ramadhan jelas hukumnya fardhu, siapa saja yang mengingkarinya kefardhuannya dihukumi kufur, wal ‘iyadzu billah. Redaksi perintah yang sama ketika Allah memerintahkan qishash:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰى
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah [2]: 178)
Mengapa diabaikan?
Ketiga, Kalimat (كتب عليكم الصيام), merupakan khabar dalam shighat thalab, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh ‘Atha bin Khalil dalam kitab tafsirnya (hlm. 212), maknanya yakni (صوموا) shaumlah. Menurut Syaikh Atha, bentuk redaksi ini merupakan salah satu petunjuk kefardhuan shaum. Disamping qarinah atau petunjuk lainnya dalam dalil-dalil al-sunnah.
Keempat, Kata al-shiyam (الصيام), adalah mashdar dari kata kerja صام, asal katanya secara bahasa bermakna menahan diri dari sesuatu dan meninggalkannya (الإمساك عن الشيء والترك له) ini sebagaimana ditunjukkan dalam QS. Maryam: 26. Sedangkan secara syar’i:
الإمساك من طلوع الفجر إلى غروب الشمس عن المفطرات حال العلم بكونه صائما مع اقتران النية
“Menahan diri dari mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dari segala hal yang membatalkan, dalam kondisi menyadari sedang shaum disertai dengan niat.”
Lihat penjelasan Imam Fakhruddin al-Razi dlm tafsir Mafatih al-Ghayb nya.
Kelima, Kalimat (كما كتب على الذين من قبلكم) mengandung tasybih, penyerupaan shaum, namun yang dimaksud sebagaimana dijelaskan para ulama tafsir, dan ini yang dikuatkan oleh al-Razi, dan dijelaskan pula oleh Syaikh Atha bin Khalil, maksudnya adalah kesamaan adanya kefardhuan tersebut dengan umat-umat para nabi sebelumnya, bukan kesamaan dari segi jumlah hari dan ketentuan bulannya.
Keenam, Kalimat (لعلكم تتقون) menunjukkan hikmah dari ibadah shaum yakni untuk mewujudkan ketakwaan. Takwa itu sendiri digambarkan sebagian sahabat:
الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والاستعداد ليوم الرحيل
“Rasa takut terhadap al-Jalîl (Allah Yang Maha Mulia), beramal dengan al-Tanzîl (al-Qur’an al-Karîm) dan mempersiapkan diri untuk Yawm al-Rahîl (akhirat).”
Rasa takut terhadap siksa Allah diwujudkan dalam ketaatan demi mengharap keridhaan-Nya, namun ketaatan tak mungkin terwujud kecuali dengan menunaikan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang, dimana itu semua hakikatnya merupakan bekal untuk menapaki Hari Perjumpaan. Yang terwujud dengan menerapkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan. Dan luar biasanya, al-Qur’an diturunkan pertama kali di Bulan Ramadhan dengan gambaran yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Inilah al-Qur’an yang Allah gambarkan, pertanyaannya sudah sejauh mana al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri diterapkan dalam kehidupan?! Allah al-Musta’an.[]