Oleh: Ahmad Khozinudin, SH (Direktur PKBH-HTI)
Dalam agenda kopi darat 1000 advokat bela HTI yang dilaksanakan di Jakarta beberapa waktu yang lalu, Advokat Azam Khan mengabarkan bahwa status Ust Muhammad Al Khatat (MAK) masih dalam penahanan dan proses penyelidikan masih terus berlanjut. Tidak berselang lama, Achmad Michdan Advokat dari Tim Pembela Muslim selaku kuasa hukum MAK menyebut polisi menambah masa penahanan terhadap MAK untuk beberapa waktu ke depan.
Kabar ini tentu saja musykil, mengingat dalam KUHAP seseorang dapat ditahan hanya bila seseorang berstatus sebagai Tersangka atau Terdakwa. Tidak ada satupun pasal yang menyebut penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan pada seseorang pada proses penyelidikan.
Wewenang penahanan kepada seorang dengan status tersangka, dimungkinkan mengingat secara subjektif penyidik bisa berpendapat bahwa seorang tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana lagi.
Adapun proses penyelidikan, KUHAP telah mendefinisikannya sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Penyelidikan adalah proses untuk mencari ada tidaknya tindak pidana. Sementara penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Dalam proses ini, saat ditemukan Tersangka berdasarkan dua alat bukti yang cukup, penyidik dapat melakukan penahanan terhadap Tersangka sebagaimana wewenang yang telah diberikan menurut KUHAP.
Proses penyelidikan kasus yang disebutkan menimpa Ust. MAK, pada saat yang sama proses tersebut dilakukan dengan tindakan penahanan, menyimpangi apa yang diatur KUHAP.
Peristiwa ini juga mengingatkan penulis ketika terlibat menangani proses kriminalisasi pada adik-adik aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saat itu, adik-adik HMI ditetapkan berstatus sebagai tersangka dengan dugaan melanggar pasal 212 KUHP tentang melakukan kekerasan terhadap aparat/petugas.
Saat itu, tim pembela telah sepakat akan mengajukan Yudisial Review terhadap pasal 212 KUHP dikaitkan dengan pasal Kebebasan mengeluarkan pendapat dalam pasal 28 UUD 1945 yaitu Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Dasar pengajuan Yudisial Review adalah bahwa tindakan adik-adik HMI dalam kasus tersebut dalam kerangka mempertahankan diri setelah mendapat perlakuan represif aparat. Pada saat yang sama, konteks pembelaan diri ini adalah dalam kerangka menyatakan pendapat di muka umum yakni mengekspresikan pendapat dengan aksi unjuk rasa damai bersama ulama, ormas Islam dan umat Islam atau lebih dikenal dengan aksi damai 411.
Dalam salah satu permohonan, kami memohon Majelis Hakim MK untuk memberikan tafsir “melawan petugas” dengan Menyatakan pasal 212 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang Frasa “melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, dalam pasal 212 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660), tidak dimaknai sebagai ” melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah dan bukan karena sebab adanya Upaya Menjalankan Hak Konstitusi berupa Penyampaian pendapat di muka umum dan/atau mendapatkan tindakan fisik yang mengancam terhadap badan dan jiwanya.
Belum sempat permohonan didaftarkan ke MK, sekonyong-konyong adik-adik HMI dilepaskan dari tahanan “tanpa status hukum”. Hingga saat ini, tidak ada kejelasan tentang pelepasan adik-adik HMI secara hukum, apakah SP3, atau status hukum yang lain.
Hal yang sama juga ketika penulis terlibat dalam tim legal drafting untuk mengajukan proses gugatan Pra peradilan atas nama Tersangka Muhammad Hidayat Simanjuntak (MHS) pada kasus dugaan penghinaan Kapolda Metro Djaya. Saat itu, tim berdebat tentang objek praperadilan. Apalah akan diajukan atas status penangkapan dan penahanannya yang sewenang-wenang atau terhadap status Tersangkanya.
Saat itu, penulis mampu meyakinkan tim hukum bahwa objek praperadilan yang kita ajukan adalah status Tersangka berikut implikasi hukum terhadapnya (penangkapan dan penahanan). Sebab, jika praperadilan dikabulkan maka status penangkapan dan penahanan juga otomatis batal demi hukum.
Lagi-lagi, baru salah satu anggota tim hukum melakukan Press Conference terhadap rencana praperadilan, esoknya MHS dilepaskan dari tahanan Polda metro Jaya tanpa status hukum. Peristiwa itu hilang begitu saja, pihak keluarga-pun nampaknya sudah tidak mempermasalahkan status hukum karena sudah merasa lega MHS dibebaskan dari tahanan.
Alienasi hukum juga terjadi dan yang paling kontras adalah proses pidana terhadap Habib Muhammad Rizq Syihab (MRS). Awalnya MRS dikriminalisasi dengan kasus penodaan Pancasila, lanjut ke kasus penyerobotan tanah, dan yang terakhir kasus tuduhan zina dengan bukti chat firza Husein.
Dalam kasus terakhir, musykilah sangat kontras terlihat. Sebab, bagaimana mungkin kasus chat MRS diproses hukum sementara hingga saat ini tidak ditemukan siapa yang memviralkan chat tersebut ? Terakhir penyidik berdalih yang menyebarluaskan Anonymous.
Namun, pada kasus penggerebekan pesta gay di kelapa gading, penyidik memburu pelaku penyebar foto gay dan abai bahkan melepaskan pelaku maksiat.
Kasus dugaan makar yang diklaim dilakukan oleh Hatta Taliwang, Kivlan Zein, Rachmawati cs juga tidak jauh beda. Sampai detik ini, tidak ada kejelasan kelanjutan kasus tersebut. Terlihat sangat kontras, proses hukum seolah kepanjangan tangan kebijakan politik. Norma dan ugeran tata hukum dikesampingkan dalam proses penindakan.
Dan yang paling mutakhir, proses pembubaran ormas dimana menurut ketentuan UU nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas, pembubaran ormas secara limitatif disebutkan harus melalui serangkaian proses dan tahapan sejak mediasi, pemberian sanksi administratif, pembekuan, penghentian bantuan dan pengajuan permohonan pembubaran di pengadilan.
Tidak ada angin tidak ada hujan, ujug-ujug Menkopolhukam Wiranto bersama Kapolri, Kemendagri dan Jaksa Agung mengumumkan “Pembubaran Ormas Islam HTI”.
Setelah didesak, Wiranto baru menyebut bahwa proses tetap akan diajukan melalui pengadilan. Merasa sulit melakukan pembubaran melalui pengadilan, pemerintah menggulirkan wacana menerbitkan Perpu bahkan sampai Kepres.
Yang lebih parah, Kemendagri melalui telegram mengedarkan maklumat untuk mengawasi dan melarang aktivitas ormas Islam HTI. Padahal, menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku koordinator 1000 Advokat bela HTI, HTI belum dibubarkan, HTI legal dan memiliki hak konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan sepanjang tidak bertentangan dengan norma hukum, norma kesusilaan dan norma kepatutan yang berlaku di masyarakat.
Hukum menjadi alat kekuasaan
Sulit untuk menghindari kesimpulan publik yang menilai proses hukum saat ini bukan lagi murni untuk menegakan hukum dan keadilan, akan tetapi hukum telah jatuh dari fungsinya menjadi alat kekuasaan penguasa.
Hukum tidak lagi menjadi panglima, politik dan kekuasaan telah mengintervensi hukum agar berjalan sesuai arahannya. Setiap kritik dan perbedaan pandangan politik ditanggapi dengan kriminalisasi. Proses perjuangan menuntut keadilan dicap intoleran, anti kebhinekaan dan dianggap kriminal.
Dinamika hukum ini tetap berlanjut, sarana dan alat negara telah berubah menjadi sarana dan alat kekuasaan. Ketidakadilan dan ketidakpatuhan hukum, menimbulkan berbagai penentangan publik.
Gerakan Minahasa Raya kembali berani menampakkan diri, setelah sekian tahun lamanya hanya menjadi konsumsi gosip politik untuk kalangan terbatas. Vonis terhadap Penista agama, berbuntut pembangkangan publik yang dilakukan ahoker melalui berbagai sarana non hukum. Isu perpecahan dan separatisme Papua kian merebak. Pada saat yang sama, hutang negara semakin menumpuk, kesejahteraan rakyat makin jauh panggang dari api.
Jika kondisi ini berlanjut, bukan mustahil akan tercipta suasana chaos, perbenturan kepentingan masyarakat yang tidak dapat diselesaikan secara hukum. Benar-benar terjadi keadaan homo Homini lupus, dimana manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain. Tidak ada lagi pertimbangan benar salah, yang terjadi adu kuat, adu jotos, adu kekuasaan. Hukum hanya dijadikan sarana untuk merealisir tujuan politik dan memenangi pertarungan.
Realitas Negara Kekuasaan
Jika hukum tidak lagi menjadi panglima, jika ketidakpatuhan terhadap hukum justru dipertontonkan penguasa, jika hukum hanya dijadikan sarana membungkam daya kritis masyarakat, jika hukum digunakan untuk memukul lawan politik, jika hukum tidak mampu lagi merealisir nilai-nilai keadilan, maka keadaan demikian telah menunjukkan dengan jelas negara ini telah berubah menjadi negara kekuasaan.
Dalam kondisi seperti ini, punggawa-punggawa hukum, para Advokat pejuang hukum, para aktivis hukum penegak keadilan, perlu berpadu menyatukan gerak untuk menyelamatkan negara, mengembalikan tata kelola negara kembali ke relnya: hukum.
Kekuasaan harus direduksi dari penyalahgunaan, wewenang harus dikontrol dijalankan berdasarkan hukum, konstitusi harus ditegakkan dan tindakan penyelamatan negara ini menurut hemat penulis sudah harus dilakukan dengan segera dan serta merta.
Sejarah akan terus bergulir, pada setiap fasenya akan selalu tertulis dan terabadikan nama-nama sesuai dengan amalnya. Firaun tertulis abadi namanya, sebagai sosok yang durhaka terhadap Tuhan. Soekarno tertulis namanya, sebagai founding bangsa dan Presiden pertama. DN Aidit, namanya abadi dan dikenang sebagai pemberontak dengan gerakan PKI-nya. Buya Hamka, dikenang abadi sebagai ulama sekaligus politisi Islam yang Muchlis, Istiqomah di jalan yang lurus.
Lantas, akan seperti apakah kita dikenang? Akan tercatat sejarah apakah nama kita ? Akan berbangga-kah anak cucu dan keturunan kita dengan sejarah yang kita ukir ?
Wallahu ‘alam bish Showab. []