Untuk ke sekian kalinya, Rezim Jokowi mengonfirmasi sebagai rezim yang represif dan anti Islam. Pembacaan ini bisa diukur melalui serangkaian kebijakan hukum yang dijalankan berdasarkan pendekatan kekuasaan.
Habib Muhammad Riziq Syihab (MRS) ditetapkan sebagai Tersangka untuk sebuah peristiwa hukum yang tidak ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri. Dalam konteks yang demikian, Egi Sudjana menyebut MRS tidak layak ditetapkan sebagai tersangka, bahkan tidak memiliki kualifikasi sebagai Saksi dalam perkara tersebut.
Anasir publik terhadap rekayasa kasus chat yang dipertontonkan secara bombastis dengan sebutan “baladacintarizq” menjadi satu akrobat hukum yang terlalu kasat mata. Betapa tidak, proses penetapan tersangka terkesan mengedepankan aspek kekuasaan, aspek wewenang, bukan berdiri di atas dua alat bukti yang mampu dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
Penetapan ini seolah ingin menunjukkan kepada publik, bahwa penyidik memiliki wewenang untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka, betapapun terdapat banyak musykilah dalam prosesnya. Diskursus hukum berupa elaborasi fakta dan pemaparan alat bukti, menjadi nisbi manakala kuasa dan wewenang menjadi alat pengendali keputusan tentang status hukum dan masa depan seseorang dalam proses hukum yang diklaim “pro justisia”.
Paralel dengan kasus MRS, tidak berselang lama penulis mendapat kabar tentang status Ust. Alfian Tanjung (AT) yang langsung naik pangkat dari status Saksi menjadi Tersangka dalam hitungan jam. AT yang diperiksa sebagai saksi pada pukul 13.00 S/d 21.15, pada pukul 00.15 langsung ditetapkan sebagai tersangka dan diminta menandatangani berita acara penahanan. Artinya dalam kurun kurang dari 12 jam, AT diperiksa sebagai saksi dan status dinaikkan sebagai tersangka dengan melekat predikat penahanan pada dirinya.
Kasus yang menjerat AT adalah kasus klasik yang berasal dari pasal karet pidana SARA yang lazim dijadikan alat untuk “menggebuk” aktivis Islam. Pasal ini telah banyak dijadikan pukat harimau untuk menjaring seluruh Ujaran kritisme kekuasaan yang dilantunkan banyak aktivis terhadap rusaknya proses penyelenggaraan negara yang dihadirkan penguasa.
Rezim Represif
Represifme kekuasaan khususnya pada konteks penegakan hukum bisa dipahami pada 2 (dua) hal. Pertama, diabaikannya keseluruhan proses dan prosedur hukum sebagai sarana kontrol kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Kedua, hukum diterapkan tidak egaliter, subjektif dan diarahkan kepada pihak-pihak yang kontra penguasa.
Banyak pengamat menilai proses penegakan hukum yang dijalankan penguasa cenderung mengikuti selera dan subjektivitas. Pada beberapa bahkan banyak hal, keseluruhan proses dan prosedur hukum diabaikan seraya berlindung pada kekuasaan undang-undang dengan prejudes penegak hukum memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan dan mengambil tindakan.
Prosedur penetapan tersangka, prosedur penangkapan, prosedur penindakan, terlihat kontras menyimpangi aturan dan norma yang berlaku. Bahkan cenderung ada kesan “tangkap dulu bukti belakangan” atau Tersangka-kan dulu proses di pengadilan silahkan diperdebatkan.
Padahal dengan menangkap dan/atau menahan, menetapkan status warga negara sebagai tersangka, penguasa telah merenggut kebebasan diri dan jiwa warga negara yang tereliminasi di ruang tahanan.
Kasus-kasus penangkapan aktivis pro UUD 45 Hatta Taliwang, Kivlan Zein, Rachmawati Dkk, Kasus penangkapan adik-adik HMI, penangkapan Muhammad Hidayat Simanjuntak, adalah contoh paling mudah untuk menjelaskan terjadinya pengabaian prosedur dan nilai serta norma hukum dalam penindakan.
Anehnya proses penegakan hukum ini tidak dilakukan secara egaliter, murni dan konsisten dalam kerangka penegakan hukum, tetapi terkesan tebang pilih.
Kasus penghinaan “Gubernur Tiko” hingga saat ini tidak jelas kelanjutannya, kasus laporan penghinaan ajaran Islam oleh Megawati dalam satu pidato pertemuan partai hingga saat ini laporannya tidak ditindak lanjuti, kasus Iwan bopeng hingga saat ini tidak jelas juntrungannya.
Berbagai fakta hukum yang dipertontonkan ke publik membuat segenap komponen anak-anak bangsa miris, semua elemen umat makin prihatin, sebenarnya negara ini milik siapa ? Keadilan ini untuk golongan tertentu atau berlaku sebagai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Kondisi ini akankah memperteguh persatuan Indonesia ? Adakah jaminan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, jika polaritas politik ditindaklanjuti dengan represifme? Masih kah negara ini berasas pada keesaan yang berketuhanan?
Anti Islam
Represifme yang dijalankan melalui roda kekuasaan tidak menyasar seluruh golongan. Represifme berjalan mengikuti kebijakan umum yang telah digariskan dan tidak akan keluar darinya meski sehelai rambut. Represifme yang dilakukan rezim mengarah kepada Islam.
Demo umat Islam diintimidasi, ditangkapi, ditembaki dengan peluru, dibatasi hanya pada batas jam tertentu. Ahoker dibiarkan bebas berdemo hingga larut malam, bebas menyampah dengan luberan lilin yang cair, bebas membuat rusuh dan anarkis, tanpa ada satupun tindakan.
Peredaran kaos Palu arit simbol PKI diklaim sebagai Trend dan tidak perlu ditanggapi serius. Sementara, pengibaran bendera tauhid bertuliskan lafadz “La Illaha Illallah Muhammadarrosulullah” diperkarakan.
Pengajian sepanjang Ramadhan dilarang disiarkan live streaming, sementara Ujaran kebencian dan hujatan baik kepada ulama, simbol dan ajaran Islam diperkenankan.
Aktivis menindak perilaku kriminal dalam kerangka menjaga harmoni dan menghadirkan keamanan dan ketenteraman publik dari kriminalitas dipersoalkan, sementara petugas keamanan abai melaksanakan fungsinya, seraya justru melarang sweeping yang dilakukan untuk menghadirkan ketenteraman.
Separatisme nyata yang diproklamirkan OPM dan gerakan Minahasa Raya dianggap angin lalu, sementara dakwah menyeru pada syariah dan Khilafah ditanggapi dengan pembubaran.
Dari serangkaian fakta hukum dan dinamika politik yang berkembang, sulit menghindari kesimpulan publik yang menyebut rezim ini sebagai rezim yang represif anti Islam.
Muhasabah kekuasaan
Seluruh kegaduhan ini harus segera diakhiri, tidak boleh negeri ini terpasung pada rantai peristiwa yang sudah pernah dialami dan seharusnya dapat dihindari.
Penguasa harus segera melakukan muhasabah politik, mengoreksi keseluruhan kebijakan dan tindakan agar tidak dipahami sebagai rezim yang represif anti Islam.
Kedzaliman pada titik tertentu pasti akan mendapatkan perlawanan. Secara alamiah, manusia telah dibekali naluri untuk mempertahankan diri (Gharizah al Baqo’). Perlawanan untuk melindungi diri akan alamiah mengisi ruang-ruang kedzaliman yang dimaklumkan.
Represifme yang mengandalkan wewenang dan kuasa akan mendapat perlawanan sengit dari gerakan publik yang bersifat kolektif. Kedzaliman betapapun ditopang oleh pilar kekuasaan yang kuat, namun jika tangan-tangan umat telah bergerak mencabik-cabik kekuasaan, pasti akan meluluhlantakkan bangunan kekuasaan.
Belum pernah ada sejarah yang mencatat, kekuasaan rezim mampu mengalahkan kekuasaan umat. Umat akan bergerak secara alamiah, membela diri dan agamanya, menyatakan penentangan pada segala bentuk kedzaliman, sampai keadilan itu tegak atau umat binasa dalam memperjuangkannya.
Melihat kemungkinan ini, maka seyogyanya-lah penguasa negeri ini segera melakukan muhasabah politik, membenahi diri, memperbaiki perilaku, sikap, kebijakan dan tindakan.
Sudah sewajarnya penguasa memberikan keadilan yang menjadi hak umat, mengakhiri kedzaliman yang merusak sendi bernegara, melantunkan kata maaf dengan jiwa ksatria, selanjutnya berpadu bersama umat untuk melanjutkan amanah dan merealisir tujuan bersama. Jika ini tidak segera dilakukan, penulis khawatir umat akan mengambil kesimpulan dan menetapkan kebijakan perlawanan dan penentangan pada kekuasaan, untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan.
Wallahu a’lam bish Showab [].