Merekatkan Ukhuwah di Bulan Penuh Berkah

[Al-Islam No. 859-6 Ramadhan 1438 H_2 Juni 2017]

Tak bisa dipungkiri, sebelum Ramadhan lalu, ukhuwah umat Islam seolah terkoyak, terutama sebelum dan setelah Pilkada DKI Jakarta. Rusaknya ukhuwah ini tentu karena dipicu oleh persaingan dua pasangan calon (paslon) dalam ajang Pilkada yang banyak menguras energi umat tersebut. Meski cagub yang satu Muslim dan yang lain non-Muslim, pada faktanya keduanya sama-sama memiliki pendukung dari kalangan umat Islam. Tak pelak, saling mengkritik, saling merendahkan, saling menghina bahkan saling menghujat antar para pendukung paslon—yang sebagian besarnya sama-sama Muslim—tak terelakkan, khususnya di media sosial. Sayangnya, kondisi ini masih terasa hingga saat ini.

Di tengah persaingan dan perpecahan antarkubu para pendukung paslon, dimunculkanlah kembali istilah “radikal” versus “moderat”. Paslon tertentu—yang kebetulan menang Pilkada—dituduh didukung oleh kelompok radikal. Sebaliknya, paslon lain—yang kebetulan kalah—diklaim didukung oleh kelompok moderat.

Sebelumnya, dalam rangkaian kegiatan Masirah Panji Rasulullah 2017, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seolah diperhadap-hadapkan dengan kelompok Banser/Ansor sehingga terkesan ada konflik antar kedua kelompok umat Islam ini. Padahal tidak ada konflik. Hal itu semata-mata karena kesalahpahaman yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memprovokasi kedua kelompok tersebut agar terjadi bentrok.

Jelas, semua ini hanyalah upaya adu-domba pihak luar untuk memecah-belah persatuan umat Islam.

Waspadai Upaya Pecah-belah

Pada tahun 2003, lembaga think-tank (gudang pemikir) AS, yakni Rand Corporation, mengeluarkan sebuah kajian teknis yang berjudul, “Civil Democratic Islam.” Secara terbuka, Rand Corp membagi umat Islam menjadi empat kelompok Muslim: Pertama, kelompok fundamentalis. Kelompok ini mereka sebut sebagai kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi dan budaya Barat serta menginginkan sebuah negara otoriter yang puritan yang akan dapat menerapkan syariah Islam yang ekstrem (baca: Khilafah).

Kedua, kelompok tradisionalis. Kelompok ini, menurut mereka, adalah kelompok yang menginginkan suatu masyarakat yang konservatif.

Ketiga, kelompok  modernis. Kelompok ini mereka katakan sebagai kelompok yang menginginkan Dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Kelompok ini juga ingin memodernkan dan mereformasi Islam serta menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman.

Keempat, kelompok sekularis. Mereka adalah kelompok yang menginginkan Dunia Islam dapat menerima paham sekuler dengan cara seperti yang dilakukan Barat saat agama dibatasi pada lingkup pribadi saja.

Setelah dilakukan pengelompokan atas umat Islam, langkah berikutnya yang dilakukan Barat adalah melakukan politik belah bambu; mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain serta membenturkan antarkelompok. Caranya dengan melakukan empat hal: Pertama,  mendukung kelompok modernis dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis.

Kedua, mendukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat di antara mereka; menerbitkan kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstremisme yang dilakukan kaum fundamentalis; mendorong perbedaan antara kelompok tradisionalis dan fundamentalis; mendorong kerja sama antara kaum modernis dan kaum tradisionalis yang lebih dekat dengan kaum modernis; juga mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme.

Ketiga, mendukung kelompok sekularis secara kasus-perkasus dan mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai suatu musuh bersama; mendorong ide bahwa agama dan negara dapat dipisahkan.

Keempat, memusuhi kelompok fundamentalis dengan menunjukkan kelemahan pandangan keislaman mereka; mendorong para wartawan untuk mengekspos isu-isu korupsi, kemunafikan dan tidak bermoralnya kaum fundamentalis, pelaksanaan Islam yang salah dan ketidakmampuan mereka dalam memimpin dan memerintah.

Inilah upaya politik adu domba yang dilakukan oleh Barat terhadap umat Islam. Dalam konteks umat Islam di Indonesia, sangatlah bisa kita rasakan adanya upaya-upaya adu domba tersebut lewat ‘tangan-tangan Barat yang tidak kelihatan’. Misalnya, upaya membenturkan NU yang dinilai tradisionalis dengan kelompok seperti HTI yang dianggap fundamentalis, sebagaimana tampak makin menguat akhir-akhir ini.

Rekatkan Kembali Ukhuwah

Umat Islam jelas haram untuk saling bermusuhan karena permusuhan itu bisa menjadi penghalang kita untuk mendapatkan ampunan Allah SWT. Padahal bukankah selama ini kita sangat mengharapkan ampunan-Nya, khususnya pada bulan yang penuh berkah ini? Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

«فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا»

Semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan, “Tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai!” (HR Malik dan Abu Dawud).

Karena itulah, pada akhir bulan Sya’ban menjelang kedatangan bulan Ramadhan ada tradisi di tengah-tengah sebagian kaum Muslim untuk saling meminta maaf. Ini adalah sebuah tradisi yang baik karena setidaknya didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:

إ«ِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ»

Sesungguhnya Allah muncul pada malam pertengahan bulan Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan dua pihak yang saling bermusuhan (HR Ibn Majah).

 

Mewujudkan Ukhuwah Hakiki

Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ»

Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah di antara saudara-saudara kalian (TQS al-Hujurat [49]: 10).

Terkait ayat di atas, Imam Ali ash-Shabuni dalam Shafwah at-Tafâsir antara lain menyatakan, “Persaudaraan karena faktor iman jauh lebih kuat daripada persaudaraan karena faktor nasab.”

Persaudaraan Muslim yang hakiki digambarkan oleh Rasulullah saw.:

«مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَراحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَطُّفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ؛ إِنِ اشْتَكَى عُضْوٌ مِنْهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بالْحُمَّى والسَّهَرِ»

Perumpamaan kaum Mukmin itu dalam hal kasih sayang, sikap welas asih dan lemah-lebut mereka adalah seperti satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, anggota tubuh lainnya akan merasakan panas dan demam (HR Abu Dawud).

Karena bersaudara, sesama Muslim haram saling mencela, menyakiti, apalagi saling membunuh. Baginda Rasulullah saw. bersabda:

«سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»

Mencela seorang Muslim adalah kefasikan, sementara membunuhnya adalah kekufuran (HR al-Bukhari dan Muslim).

Haram pula di antara sesama Mukmin saling menzalimi dan saling tidak peduli. Sebaliknya, mereka wajib untuk saling membantu dan tolong-menolong dengan saling menghilangkan kesulitan, bahkan sekadar menutup aib saudaranya. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak saling menzalimi dan saling membiarkan. Siapa saja yang menghilangkan suatu kesulitan dari seorang Muslim, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitan bagi dirinya di antara berbagai kesulitan pada Hari Kiamat kelak. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim, Allah pasti akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat nanti.” (Muttafaq a’laih).

Mewujudkan Ukhuwah Hakiki

Persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah)—yang diikat dengan akidah yang sama, yakni akidah Islam—tentu bersifat global, tidak lokal; dalam arti lintas daerah, negara bahkan benua. Persaudaraan Islam juga bercorak universal yakni lintas etnik, suku/bangsa, bahasa, dll. Pada bulan Ramadhan ini, di tengah-tengah sebagian besar umat Islam menikmati makan sahur atau lezatnya makanan yang beraneka saat berbuka, sangat boleh jadi di sejumlah negeri lain—seperti di Palestina, Suriah, Myanmar, Xinjiang (Cina), dll—kaum Muslim dalam keadaan tetap menderita.

Sebagai wujud kepedulian kita kepada mereka sebagai saudara, tentu tak cukup kita sebatas mendoakan mereka karena faktanya mereka telah menderita cukup lama—tahunan (seperti Suriah dan Myanmar dll) bahkan puluhan tahun (seperti Xinjiang dan Palestina)—berada di bawah tekanan para rejim yang amat kejam. Kepedulian kita kepada mereka harus juga diwujudkan dengan upaya keras kita mewujudkan institusi Khilafah. Mengapa Khilafah? Pertama: Karena Khilafah adalah sistem pemerintahan yang bersifat global, yang akan menghilangkan sekat-sekat nasionalisme dan negara-bangsa yang selama ini menjadi faktor penghalang untuk mewujudkan ukhuwah yang hakiki, yang juga bersifat global. Kedua: karena Khilafahlah pengayom dan pelindung umat yang hakiki, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

«إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ، وَيُتَّقَى بِهِ»

Imam (Khalifah) adalah perisai; umat berperang di belakangnya dan dilindungi olehnya (HR Ahmad).

Karena itu membiarkan dunia tanpa Khilafah sama saja dengan: Pertama,  membiarkan berbagai penderitaan umat akibat kezaliman para penguasa lalim yang didukung Barat tanpa satu pun penolong dan pelindung yang sanggup menolong dan melindungi mereka. Kedua, membiarkan tidak terwujudnya ukhuwah islamiyyah yang hakiki, yang bersifat global.

Semoga bulan Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terakhir umat dan dunia tanpa Khilafah. Amin. []

 

Komentar al-Islam:

Ramadhan, Momentum Penguatan Gerakan Umat Islam (http://video.republika.co.id/berita/video/bincang-tokoh/17/05/29/oqpjql216)

  1. Betul, saatnya gerakan Islam dan umat Islam bersatu, tak boleh berpecah-belah.
  2. Tidak boleh karena perbedaan paham, mazhab, partai, organisasi, atau kelompok, ukhuwah islamiyah menjadi rusak.
  3. Wapadai pula setiap upaya adu-domba umat Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*