Memenangkan Opini Islam
Oleh: dr. Estyningtias P (Lajnah Siyasi MHTI)
Pendahuluan
Rencana pemerintah untuk menempuh jalur hukum pada kasus pembubaran ormas yang dianggap radikal (HTI) sempat menuai pro dan kontra. Kesan bahwa pemerintah sedang tergesa-gesa mengambil langkah ini mengindikasikan ada tekanan yang cukup kuat dibelakangnya. Akibatnya pembubaran melalui pidato ini sangat nampak tidak elok dipandang. Di sisi lain, bombastisnya media yang mempublikasikan juga turut menciptakan suasana bahwa HTI benar-benar sudah dibubarkan. Dan dalam dunia politik langkah-langkah seperti ini sudah biasa dilakukan. Namun pemerintah tentu harus berhitung dengan kecerdasan publik saat ini. Sebab salah langkah justru akan membuat blunder tersendiri bagi pemerintah.
Beberapa alasan pemerintah untuk membubarkan HTI telah terbantahkan. Bahkan alasan dengan memberi stigma anti Pancasila dan anti NKRI pun tak dapat diterima. Publik tentu bisa menilai dengan sangat obyektif apa yang sebenarnya sedang terjadi. Blunder ini membuat publik semakin bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan pemerintah sangat panik dengan kehadiran HTI.
Membaca Ulang Peristiwa
Pidato pembubaran HTI dilaksanakan tepat 1 hari menjelang sidang putusan pengadilan untuk kasus penodaan agama. Terlepas dari suatu kebetulan atau tidak, namun tentu masyarakat masih mengingat peristiwa sebelumnya. Aksi 411, 212, 313 dan 505, menjadi sejarah bahwa untuk menghukum seorang penista agama membutuhkan desakan berjuta-juta orang dalam waktu 6 bulan. Dan yang harus diingat bahwa keberanian umat ini dipicu oleh keberanian HTI dalam aksi 409 yang meneriakkan haram pemimpin kafir. Aksi yang dihadiri sekitar 20.000 orang itu memantik kemarahan Ahok sehingga mengalirlah dari mulutnya penghinaan atas QS. Al Maidah:51. Ditambah lagi dengan kekalahan Ahok dalam pilkada DKI dengan suara yang terpaut lumayan jauh dibanding pasangan Anies-Sandi. Tentu ini adalah kekalahan yang harus dibayar mahal karena tidak sedikit modal yang sudah ditanam untuk memenangkan Ahok di putaran 2 pilkada DKI ini.
Dan upaya untuk membungkam suara umat Islam yang menuntut keadilan bagi penista agama ini sangat nampak dengan jelas. Tuduhan dan fitnah keji dilayangkan pada Habib Rizieq sehingga harus memenuhi panggilan Kapolda Jabar berkali-kali. Bahkan upaya pembunuhan dikabarkan juga sudah dilakukan. Tuduhan keuangan pada Ust. Bahtiar Nashir selaku ketua GNPF-MUI juga merupakan cara yang dicari-cari untuk meredam dan membungkam suara umat Islam. Terakhir ketidakjelasan tuduhan makar pada Ust. M. Al Khathtath menunjukkan pemerintah memang sangat serius untuk membungkam suara umat Islam.
Pemerintah menyadari betul bahwa mereka yang ditangkap hanyalah aktor fisik. Aktor pemikiran belum bisa dijerat. Karena itu dicarilah jalan untuk membungkam aktor pemikiran ini. Dan HTI berada pada ranah ini. Sehingga segala upaya dilakukan pemerintah untuk menghadang HTI. Mulai dari ajakan Tito Karnavian pada silent mayority untuk mendukungnya, pidato pembubaran oleh Wiranto, hingga penegasan oleh ketua BIN bahwa apa yang dilakukan pemerintah sudah termasuk lex spesialis. Semua cara telah dilakukan bahkan sampai cara-cara yang melanggar hukum pun ditempuh demi penghadangan pada dakwah HTI.
Di sisi lain, berbagai peristiwa ini menunjukkan bahwa Islam dan kaum muslimin di Indonesia telah menemukan momentumnya untuk menyibak siapa sejatinya lawan mereka dan siapa yang menjadi kawan sejati. Masyarakat Indonesia secara umum seolah terbelah dalam dua pihak yang berbeda secara diametral, antara pendukung Islam dan anti Islam. Bahkan rangkaian peristiwa ini telah membukakan mata kaum muslimin tentang siapa sejatinya pemimpin mereka dan kelayakan mereka sebagai pemimpin umat. Siapa pejuang dan siapa pecundang, siapa yang benar-benar memihak rakyat dan siapa yang menipu rakyat, mana pihak yang memahami toleransi yang sesungguhnya dan mana yang intoleran demikian seterusnya. Maka sungguh dibalik peristiwa-peristiwa politik ini Allah telah menunjukkan jalan terang bagi umat Islam untuk segera mengambil bagian dalam perjuangan menegakkan kalimat-Nya.
Dalam kitab, al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain, al-Hakim mengeluarkan hadits:
(سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ) [رواه الحاكم في المستدرك، ج 5/465]
“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (Hr. al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, V/465).
Hadits ini menjelaskan akan datangnya sanawat (tahun-tahun), jamak dari sanah (tahun), yang disifati dengan sifat khadda’at (penuh kebohongan), jamak dari khadda’. Namun, yang menarik, Nabi menggunakan sifat khadda’at, dengan syiddah pada huruf Dal, yang merupakan bentuk Mubalaghah (klimaks). Bukan khada’, tanpa syiddah. Ini berbeda maknanya. Khada’, tanpa syiddah pada huruf Dal, maknanya bohong sekali. Tetapi, khadda’ dengan syiddah pada huruf Dal, yang merupakan bentuk Mubalaghah, maknanya bukan hanya bohong sekali, tetapi berkali-kali. Karena itu bisa diartikan dengan penuh kebohongan. Dalam konteks saat ini, rezim ini telah melakukan berbagai macam kebohongan publik sehingga sangat layak menyandang sebutan Ruwaibidhah.
Memenangkan Opini Islam
Ada banyak analisa mengenai pembubaran HTI ini. Ada yang mengkaitkan dengan Ahok, ada pula yang mengkaitkan dengan kemunculan PKI bahkan sampai mengkaitkan dengan pembubaran ormas Islam lain seperti FPI, FUI dan MUI. Analisa-analisa yang muncul ini tentu memiliki sejumlah landasan. Namun yang terpenting harus digarisbawahi adalah bahwa saat ini adalah momentum untuk memenangkan opini Islam. Sebab rangkaian perinstiwa ini memang menunjukkan adanya perseteruan antara pembela Islam dengan orang-orang yang anti Islam.
Dan jika dicermati, sejak aksi bela islam ini muncul, opini Islam yang mulai meningkat ini akan redam ketika dibingkai dalam koridor UU, aturan dan hukum yang berlaku. Aksi 411 diredam dengan aturan-aturan bahwa demonstrasi tidak boleh lebih dari jam 18.00 sehingga mereka dipaksa untuk bubar, aksi 212 dibingkai dengan ketidakbolehan aksi selain di Monas setelah tarik ulur yang cukup alot dengan pihak kepolisian. Aksi 313 dan 505 pun demikian pula. Ada banyak aturan yang kaum muslimin diminta untuk tunduk dan patuh. Jika kaum muslimin tidak mengikuti aturan-aturan tersebut, maka stigma negatif siap ditempelkan pada Islam dan kaum muslimin. Radikal, intoleran, isu SARA, menginjak taman dan sebagainya. Namun aturan itu tidak berlaku bagi kelompok lain selain kaum muslimin yang membela Islam. Ini artinya ada standar ganda yang dibuat agar kaum muslimin tak mampu memenangkan perang opini ini.
Pada titik inilah seharusnya kaum muslimin sadar bahwa mereka harus memenangkan opini Islam dan tidak terlalu lugu untuk tunduk dan patuh pada aturan, UU dan hukum yang memang sengaja dibuat untuk menghantam Islam dan kaum muslimin. Fakta yang real terjadi adalah bagaimana tidak adilnya sikap kepolisian saat menghadapi unras massa Ahok tidak segera bubar diatas jam 18.00. Begitu pula usulan untuk menghapus pasal penodaan agama. Semua itu jelas menunjukkan bahwa hukum, aturan dan UU yang ada sengaja dibuat untuk memihak pada musuh-musuh Islam. Maka sudah seharusnya kaum muslimin segera menyadari dengan sepenuh hati bahwa mereka hanya akan hidup dengan tenang saat hanya menggunakan hukum dan aturan Allah swt.
Demikian pula dengan kasus pembubaran HTI. Pemerintah jelas melanggar hukum yang dibuatnya sendiri sekedar untuk menggiring HTI pada ranah aturan dan pengadilan. Pemerintah membingkai opini HTI dengan anti Pancasila, anti NKRI, perusak kebhinekaan dan sebagainya. Ketika tuduhan itu tidak terbukti, pemerintah terus mencari-cari jalan untuk mempertahankan pendapatnya. Intinya pemerintah akan terus memaksa HTI tunduk dengan aturan, hukum, UU, pengadilan, 4 pilar dan kesepakatan-kesepakatan lainnya. Artinya jika pembelaan pada HTI ini masih dalam bingkai aturan buatan manusia, tentu akan dibuat aturan baru yang kelak akan bisa menjerat HTI dengan mudah. Dan jika HTI sudah bisa dijerat, maka akan lebih mudah menjerat ormas Islam lainnya, sebab ormas Islam yang lain pun berada di bingkai yang sama dengan pemerintah.
Karena itu yang mutlak diperlukan umat ini adalah memperbesar opini kemuliaan Islam dengan berdakwah secara ma’ruf sesuai dengan kaifiyah dakwah yang diajarkan dalam Al Qur’an. Dalam QS. An Nahl: 125 Allah swt berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 125).
Dari ayat ini Allah memerintahkan melakukan dakwah dengan 3 cara, yakni dengan hikmah, mauidhah hasanah dan membantah dengan cara yang baik. Sama sekali tidak ada anjuran untuk melakukan dakwah melalui jalan kekerasan.
Dan untuk memperbesar opini Islam, sudut pandang yang digunakan haruslah sudut pandang Islam, sebab sudut pandang Islam pasti membawa pada kemashlahatan. Ini disebabkan ajaran dan sudut pandang Islam bukanlah buatan manusia, tapi buatan Allah yang sangat memahami hakikat manusia. Oleh karena itu memperbesar opini Islam harus disertai dengan aktivitas dakwah, menyeru pada Islam, berdiskusi dan berdialog untuk mencari kebenaran Islam.
Pergumulan ide lebih tepat untuk dilakukan saat ini, Bukan sekedar main tuduh, bukan juga dengan pembelaan diri dan bukan pula dengan menunjukkan bukti-bukti di depan pengadilan. Inilah realisasi dakwah yang sesungguhnya. Bertatap muka untuk berdiskusi menyampaikan kebenaran Islam, membuka cakrawala berpikir dan menyerang setiap pemikiran Kapitalisme sekuler saat ini. Demikianlah aktivitas dakwah yang dicontohkan Rasulullah SAW untuk memenangkan opini Islam di Madinah kala itu.
Menyongsong Kemenangan Islam
Dalam Al Quran sudah disebutkan bahwa NAbi SAW adalah contoh sebaik-baiknya dalam dakwah, sebagaimana Allah berfirman:
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (TQS. Al Ahzab: 21)
Karena itu meneladani aktivitas Rasul dalam berdakwah harus menjadi perhatian yang tidak boleh dilewatkan bagi seorang pengemban dakwah. Dan diantara aktivitas dakwah yang beliau lakukan adalah melakukan interaksi dengan masyarakat secara intensif, mulai dari kalangan budak, pedagang, bahkan sampai kalangan para tokoh dan penguasa di masa itu.
Demikian pula para sahabat dalam meneladani Rasulullah. Adalah Mus’ab bin Umair yang memainkan peran penting dalam melakukan kontak ke para penguasa Madinah saat itu, yaitu Sa’ad bin Muadz. Dan melalui tangannyalah Islam diterima di tengah penduduk Madinah hingga Rasul akhirnya hijrah ke sana.
Dalam konteks saat ini, dakwah pun harus dilakukan dengan cara-cara yang elegan, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Kontak massif di seluruh kalangan termasuk kalangan tokoh, penguasa bahkan militer perlu terus dilakukan. Disamping itu, kesolidan para sahabat dalam melakukan koordinasi dan komunikasi dakwah menjadi bagian terpenting dalam dakwah berjamaah. Demikian juga denga tingginya taqarrub ilallah dikalangan sahabat. juga menjadi hal yang paling menonjol dalam aktivitas dakwah mereka. Oleh karena itu mutlak para pengemban dakwah harus memiliki kesolidan tim yang kuat, taqarrub ilallah yang tinggi dan senantiasa melakukan kontak secara intensif di tengah-tengah masyarakat.
Khatimah
Belajar dari kasus ini, maka Islam sebagai sebuah sistem dalam kehidupan, tidak bisa hanya diperjuangkan melalui jalur agama saja. Tapi lebih dari itu sebagai suatu sistem kehidupan, Islam harus hadir dalam kancah politik. Karena dalam kancah politik inilah pengaturan segala urusan rakyat bisa terselesaikan. Dan semua penyelesaian bisa dilakukan sesuai syariah. Maka saat itulah gambaran Islam sebagai rahmatan lil alamiin akan muncul. YAkni setelah Islam sebagai suatu sistem kehidupan diterapkan dalam bingkai kekhilafahan sehingga seluruh syariat Islam dalam dilaksanakan secara kaffah.
Oleh karena itu pulalah, setiap pengemban dakwah hanrus menyadari bahwa menempuh jalan politik untuk memperjuangkan Islam pastilah memiliki resiko yang cukup berat. Dan semua itu hanya akan bisa diselesaikan melalui kesolidan tim dan taqarrub kepada Allah yang tinggi, sambil terus melakukan kontak secara intensif dan massif ke tengah-tengah umat. Dan itulah pula jalan satu-satunya untuk kebangkitan umat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi mengapa harus memilih jalan lain?