Jubir HTI: Kemunduran Besar, Bila Rezim Ini Benar Memata-matai Masjid

aktivitas tadarus di masjidMedia massa terbitan Singapura The Straits Times memberitakan tindakan aparat pemerintah Indonesia yang memata-matai masjid di Jakarta untuk melawan radikalisasi. “Kalau benar maka ini sebuah kemunduran besar!” respon Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.com, Selasa (20/6/2017).

Menurutnya, itu hanya terjadi di masa Orde Baru. Orde Baru pun hanya terjadi di penggalan awal ketika pemerintah menganggap umat Islam ini sebagai yang harus dicurigai. Kemudian kebijakan itu disadari keliru. Karena itu, di penggalan kedua, pemerintah Orde Baru melakukan perbaikan. Mereka lebih mengembangkan politik akomodasi daripada politik konfrontasi. Dan tampaknya itu lebih berhasil dan memberikan kebaikan kepada semua pihak.

“Politik konfrontasi ini sekarang malah dilakukan lagi oleh rezim yang ada sekarang ini. Saya bilang ini sebuah kemunduran besar ketika pemerintah menganggap bahwa umat Islam itu sebagai pihak yang harus terus dicurigai, sampai masjid dimata-matai,” ungkapnya.

Meskipun yang dimata-matai itu, seperti diberitakan media tersebut pada 17 Juni 2017  dengan judul Indonesia steps up mosque surveillance, beberapa masjid di kawasan jalan utama Thamrin dan Sudirman di Kota Jakarta pusat dijalankan oleh staf “kerah putih” yang diklaim pemerintah radikal, menurut Ismail itu hanyalah mencari pembenaran.

“Itukan hanya mencari pembenaran. Tetapi pada praktiknya akan menjalar ke semua masjid. Karena kalau satu masjid mempunyai potensi radikal maka masjid yang lain juga akan dianggap sama,” prediksinya.

Dan yang tak kalah pentingnya, apa pula yang dimaksud dengan radikal oleh pemerintah. Sampai sekarang juga tidak jelas. Misalnya ketika seorang penceramah atau khatib jumat mengatakan bahwa ‘kita ini harus berpegang teguh pada Al-Qur’an, harus mengamalkan Al-Qur’an, harus menegakkan hukum Al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.’ “Nah, apakah yang begini ini termasuk kategori radikal?” tanyanya.

Menurut Ismail, di tengah ketidakjelasan pengertian radikal, ini bisa mengarah kepada siapapun dan setiap materi ceramah yang tidak disukai pemerintah akan dianggap radikal pula. Kalau ini benar, maka semakin mengokohkan rezim ini represif dan anti Islam. “Iya, rezim represif dan anti Islam. Jelas sekali,” tegasnya.

Ismail menyarankan agar rezim ini harus belajar pada masa lalu. Politik konfrontasi semacam ini gagal total. “Wong politik gagal kok mau diulangi, berarti rezim ini tidak belajar dari kesalahan rezim masa lalu. Rezim kali ini pun, insya Allah, akan gagal juga. Lihat saja,” pungkasnya. (mediaumat.com, 20/6/2017)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*