Apapun namanya baik kenaikan tarif dasar listrik ataupun pencabutan subsidi listrik atau pengalihan subsidi sebenarnya sama saja. Tarif listrik faktanya naik.
Pihak Istana melalui Kepala Staf Presiden Teten Masduki mengatakan tidak benar ada kenaikan tarif dasar listrik. “Yang terjadi bukan seperti itu,” ujarnya di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (12/6). Padahal faktanya sejak tanggal 1 Januari 2017, PLN telah menaikkan tarif dasar listrik untuk golongan 900 VA rumah tangga dari tahun 2016 sebesar Rp 605 per kwh menjadi Rp. 791 per kwh pada tanggal 1 Januari 2017, naik lagi menjadi Rp. 1.034 per kwh per Maret 2017, naik lagi menjadi Rp. 1.352 per kwh mulai 1 Mei 2017 dan mulai 1 Juli 2017 naik Rp. 1.467, 28 per kwh. Menurut pemerintah dan PLN, itu bukan kenaikan tarif dasar listrik tapi pengalihan subsidi atau penyesuaian tarif sesuai harga pasar.
Anehnya kenaikan yang mencapai lebih dari 100 persen ini tidak menjadi perhatian DPR. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sangat keras penentangannya terhadap kenaikan TDL ini meski saat itu hanya naik 15 persen. Sekarang mereka diam membisu.
Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI Arim Nasim mengatakan, apapun namanya baik kenaikan tarif dasar listrik ataupun pencabutan subsidi listrik atau pengalihan subsidi sebenarnya sama saja. Tarif listrik faktanya naik.
Menurutnya, ini merupakan dampak dari proses swastanisasi atau privatisasi yang merupakan pesanan IMF yang tertuang dalam Letter Of Inten yang ditandatangani tanggal 31 Oktober 1997 pada butir 41 yang isinya menyatakan Pemerintah RI berjanji untuk memprivatisasi Sektor Pelayanan Publik. Setelah itu dibuat skenario untuk meloloskan pesanan IMF tersebut melalui Kementerian Pertambangan dan Energi yang kemudian menerbitkan “Buku Putih” pada Tahun 1998, yang isinya adalah roadmap liberialisasi ketenagalistrikan melalui tahapan Unbundling, Profitisasi dan Privatisasi. “Jadi walaupun namanya masih PLN tapi kebijakan penentuan harga listrik yang menentukan adalah pihak swasta,” katanya.
Ia menjelaskan, problem utama penyebab naiknya harga listrik adalah kebijakan ekonomi pemerintah yang neoliberal sehingga hampir semua kebijakan menguntungkan para kapitalis dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat. Karena itulah bagi para ekonomi neoliberal yang duduk di pemerintahan, subsidi listrik yang tersisa untuk rakyat harus segera dihapuskan sementara kalau subsidi itu untuk kepentingan para kapitalis seperti pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 70 trilyun setiap tahun tidak pernah dipermasalahkan.
Sebenarnya, lanjutnya, kerusakan kebijakan ekonomi kapitalis yang diterapkan oleh pemerintah sudah disadari pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui angka pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat dan dibangga-banggakan dengan pertumbuhan rata-rata di atas 5 persen tetapi ternyata tidak membuat angka kemiskinan menurun. Begitu juga yang pernah dikatakan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Bambang Brodjonegoro bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini mirip dengan kondisi ekonomi Indonesia pada saat dijajah oleh Belanda.
“Ekonomi Indonesia saat ini tidak jauh beda dengan kondisi ekonomi saat kita di jajah Belanda, Mereka menjajah dengan menjarah rempah-rempah dan komoditas lainnya yang dikirim ke negaranya. Hal yang sama sekarang terjadi dimana hampir sebagai besar SDA dikuasai oleh asing baik migas, batu bara, tambang emas dan perak termasuk juga tanah bahkan sinar mas sebuah perusahaan milik etnis china sampai memilik 5 juta hektar tanah,” kata Bambang.
Lagi-lagi korbannya adalah rakyat, sementara yang diuntungkan adalah para konglomerat dan para pejabat. [] LM
Sumber : Tabloid Media Umat edisi 199