Setidaknya ada enam kesalahan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
“Atas dasar itu, YLBHI dan 15 LBH Kantor se-Indonesia menyatakan protes yang sangat keras atas diundangkannya Perppu tersebut,” ujar Ketua Umum Badan Pengurus YBHI Asfinawati dalam pernyataan persnya yang diterima mediaumat.com, Rabu (12/7/2017).
Pertama, secara prosedural penerbitan Perppu tersebut tidak memenuhi tiga syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 38/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.
Kedua, kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam konstitusi dan berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Perppu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate.
Ketiga, Perppu tersebut menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan Ormas.
Keempat, Perppu ini menambah ketentuan pidana yaitu “penistaan agama”. Istilah yang sebelumnya tidak dikenal baik dalam pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965 yang menjadi asal usul penodaan agama dalam pasal 156a KUHP.
Kelima, Perppu ini melanggengkan pasal karet warisan zaman revolusi yaitu penyalahgunaan, penodaan terhadap agama yang telah memakan banyak sekali korban dengan tindakan yang berbeda-beda karena memang ketentuan ini tidak jelas definisinya.
Keenam, Perppu ini menambah berat pemidanaan penyalahgunaan dan penodaan agama dari maksimal 5 tahun menjadi seumur hidup atau paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20 tahun. (mediaumat.com, 13/7/2017)