Oleh: Prof. Dr. Syaiful Bakhri (Ketua Majelis Hukum dan HAM, PP Muhammadiyah/Rektor UMJ)
Empat tahun lalu, ketika kami mengajukan permohonan pengujian UU Ormas atas kuasa Persyarikatan Muhammadiyah menegaskan pertama, adanya pengkerdilan makna kebebasan berserikat melalui pembentukan UU Ormas.
Kedua, adanya pembatasan kemerdekaan berserikat yang berlebih-lebihan melalui UU Ormas.
Ketiga, banyak pengaturan yang tidak memberikan kepastian hukum. Dan keempat, nampak turut campur pemerintah dalam penjabaran kemerdekaan berserikat. Putusan bernomor 82/PUU-XI/2013 ini menetapkan soal hasil permohonan uji materi Pasal 1 Angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3).
Hasilnya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang dikabulkan yakni Pasal 5, Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a. Dari ketentuan ini MK jelas telah melakukan purifikasi secara menyeluruh berkenaan dengan UU Ormas. Dalam proses persidangan ketika itu Pemohon jelas memohon kepada Mahkamah untuk meninjau seluruh norma dalam UU Ormas yang juga terdampak apabila norma hasil pengujian mengakibatkan tidak berjalannya segala ketentuan dalam UU Ormas.
Selang empat tahun kemudian, dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang perubahan UU Ormas. Perubahan yang pada pokoknya hendak menerapkan asas contrarius actus dalam hal pembubaran ormas menunjukan bahwa ketidakpahaman Pemerintah terhadap kontsruksi UU Ormas dan masalah yang mendasar didalamnya menjadikan pembentukan Perppu ini tidak relevan. Kami menganggapnya ini sebagai sebuah jalan pintas semata, kehendak untuk memudahkan kekuasaan dalam intervensi kebebasan berserikat menjadi satu-satunya yang tampak dalam penerbitan perppu ini.
Perihal prosedur pembuatannya yang dianggap tidak memenuhi syarat, kami merasa tidak perlu membahasnya, karena telah banyak uraian yang menjelaskan mengenai itu. Kami lebih tertarik dengan penghapusan segala macam mekanisme due process of law dalam pembubaran ormas karena memang itu yang menjadi pokok dalam perppu ini. Penghilangan mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas menunjukan bahwa UU ini tidak menjamin dilindunginya kebebasan berserikat melainkan mengancamnya. Disatu sisi, penghapusan ketentuan perlunya Peringatan terhadap ormas yang dianggap melakukan hal-hal yang dilarang menunjukan bahwa pemerintah menghilangkan tujuan pembinaan yang sebelumnya justru menjadi ruh dalam Pembentukan UU Ormas 2013, terlepas isu “Pembinaan” dianggap sebagai kepentingan terselubung, Perppu Ormas meletakkan ormas sebagai musuh yang setiap waktu dapat dibasmi.
Selain itu, munculnya ketentuan Pidana pasal 82A dalam Perppu ini yang menentukan bahwa seseorang dapat dipidana dikarenakan sengaja secara langsung atau tidak langsung menjadi anggota ormas yang terlarang maka diancam pidana paling lama 1 tahun merupakan ketentuan delik yang menurut hemat kami aneh bin ajaib. Sejatinya rumusan norma pidana perlu merumuskan perbuatan yang dilarang sedangkan ketentuan yang termaktud didalamnya tidak menyangkut perbuatan apa yang dilarang. Sedangkan ketentuan tersebut memberikan ancaman pidana bagi seseorang yang menjadi anggota ormas yang dianggap terlarang.
Terlepas berbagai kekonyolan pengaturan yang diatur yang diharapkan sebagai jalan pintas, bagi saya Perppu tersebut merupakan solusi yang tidak pantas. Seharusnya pemerintah fokus dalam merealisasikan pengesahan KUHP dan KUHAP yang baru dan modern. Fokus bernegara yang menisbikan penegakkan hukum yang adil jelas akan membawa malapetaka apabila tidak segera direnungkan****.[]