Ar-Rayah Newspapers, 27/6/2018
Oleh: Al-Ustad Muhammad Hanafi Yaghmur
Begitu diambil keputusan percepatan tanggal pelaksanaan pemilu sesuai sistem pemerintahan presidensiil yang baru, para calon pun mulai memberikan janji-janji kampanye. Janji-janji itu mencakup bantuan-bantuan finansial, pajak, keadilan, investasi, pertumbuhan dan tema-tema serupa…
1- Pemilu demokrasi merupakan salah satu isu paling penting yang bersamanya juga membwa beban berat finansial yang dibebankan ke pundak umat. Karena berbagai sebab, percepatan pemilu legislatif, pemilu presiden dan kepala daerah membuka jalan untuk makin banyaknya pajak terhadap masyarakat dari aspek finansial. Semisalnya, kepada parpol-parpol untuk pemilu 24 Juni juga telah dibelanjakan dari kas negara sebesar 822 juta Lira Turki (210 juta dolar). Jumlah semisal ini juga dialokasikan tiap tahun terhadap semua anggota parlemen.
2- Janji-janji investasi dalam berbagai bidang: parpol-parpol memberikan janji-janji dengan beban finansial dalam rangka mempengaruhi para pemilih dan mendapat lebih banyak suara. Dana-dana yang akan dibelanjakan untuk merealisasi janji-janji ini akan menyebabkan makin tingginya pajak yang diperoleh, yang pada pokoknya, dipungut dari masyarakat. Kehidupan masyarakat akan berubah ke kondisi yang tidak mampu ditanggung. Sebab janji-janji ini mengandung anggaran sangat besar dan pembelanjaan dana jauh melebihi kebutuhan pokok bahkan kebutuhan sekunder. Erdogan misalnya, menjanjikan taman besar baru dan lapangan olahraga dengan luas yang bisa menampung 55 ribu orang di Ankara. Demikian juga, Erdogan berjanji mengubah semua tanah bekas bandara di Istanbul menjadi taman dan untuk itu akan dibelanjakan miliaran Lira. Adapun harta-harta ini maka semuanya akan diperoleh dari pajak sehingga pajak-pajak ini akan menjadi beban yang tidak mampu ditanggung oleh masyarakat. Hal itu dengan cepat akan diikuti dengan apa yang disebut sebagai undang-undang struktur pajak sebagai fasilitas terhadap pembayar pajak dan angsuran utang mereka dengan bunga dan tambahan-tambahan ribawi. Dengan begitu, pajak akan berlipat ganda yang menjadi beban para pembayar pajak dan utang-utangnya tak terbayar. Disamping itu, masih ada janji-janji kenaikan gaji para pensiunan, gaji golongan lebih rendah dan bantuan-bantuan kemanusiaan.
3- Ada klaim keadilan hilang di negeri dan janji-janji merealisasi keadilan di tengah masyarakat, tidak adanya diskriminasi secara partai dan penerapan demokrasi dan kebebasan demokrasi sebaik mungkin dalam kondisi jika dia berhasil dalam pemilu juga menjadi bagian dari janji-janji kampanye.
Tidak mungkin menyebutkan semua janji kampanye yang ada dalam berbagai pernyataan kampanye parpol-parpol dalam tulisan singkat ini. Tetapi ketika semua janji yang dilontarkan itu dinilai dalam timbangan hukum syara’, bisa kita temukan sebagai berikut:
- Sistem demokrasi dengan model apapun merupakan sistem kufur dan tidak boleh terjun dalam sistem ini baik pemilu presiden atau pemilu anggota parlemen. Dalam seruan-seruan kampanye calon presiden dan seruan-seruan parpol, di dalamnya tidak ada seruan yang bersandar kepada asas Islam dalam satu masalah pun. Mereka tidak menerima hukum Allah di negeri yang penduduk Muslim nya mencapai 90 persen. Semua janji dan seruan kampanye itu adalah seruan manusia yang tidak diterima dalam timbangan hukum-hukum syara’. Pernyataan-pernyataan dan janji-janji kampanye menyeru kepada model demokrasi Inggris atau Amerika dan menyerukan untuk mengambil hukum-hukum kufur dan sebaliknya mengabaikan hukum-hukum Allah. Juga tidak menyeru masyarakat kepada rasa takut dari kemaksiyatan kepada Allah dan menyerukan keselamatan darinya, tetapi menyeru mereka ke neraka; menjadikan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim sebagai wali dan sebaliknya memusuhi Islam dan kaum Muslim… Mereka semua mengumumkan tekad mereka untuk menerapkan sistem demokrasi kafir dan bukan sistem Islam. Mereka menyeru masyarakat kepada penderitaan dan bukannya menyeru mereka kepada ketenteraman dan kebahagiaan.
- Syariah Islam tidak membiarkan pembelanjaan dalam suatu bentuk kepada mood dan hawa nafsu manusia dan mewajibkan pajak kepada masyarakat untuk itu. Dari sisi pemenuhan berbagai kemaslahatan masyarakat, tidak boleh diwajibkan pajak kecuali pada kebutuhan pokok dan tidak ada dana di kas negara yang bisa digunakan untuk kebutuhan itu. Pajak dalam ekonomi Islam bukanlah pokok tetapi tidak dijadikan rujukan kecuali pada kondisi-kondisi darurat. Pajak dianggap sebagai sumber pemasukan darurat dengan mengumpulkan harta orang-orang kaya sesuai kadar yang dibutuhkan. Dengan begitu, khalifah tidak mengumpulkan pajak dari masyarakat untuk taman umum yang besar, pusat kebudayaan dan lainnya yang termasuk pembelanjaan yang tidak masuk dalam kebutuhan pokok dan beban finansialnya tidak menjadi beban umat.
Tetapi pemerintahan di sistem kapitalisme menjamin semua pembelanjaan ini melalui pajak. Lebih dari itu, diberikan tagihan kepentingan-kepentingan person sekelompok politisi atau yang dikenal di masyarakat dengan sebutan “para ahli” terhadap masyarakat tanpa memandang apakah merupakan kebutuhan pokok atau bukan. Sementara, Islam mengharamkan semua pajak untuk pembelanjaan jenis ini yang tidak termasuk kebutuhan pokok.
- Berkaitan dengan janji-janji lannya yang dijamin untuk masyarakat oleh para calon jika mereka berhasil, maka khalifah tidak berhak melakukan sesuatu dan membiarkan apa yang dia mau mengikuti moodnya. Tetapi Islam telah menentukan untuk kepala negara wewenangnya dan Islam menjelaskan secara rinci apa yang boleh baginya dan apa yang tidak boleh baginya sebagai kepala negara. Tidak ada di dalam Islam, sebagai contoh, persepsi gaji pensiun dan tidak pula gaji lebih rendah. Jadi tidak ada tempat untuk dibicarakan dan berikutnya tidak ada tempat untuk menaikkan gaji pensiun ataupun peningkatan plafon gaji golongan rendah. Jika di tengah umat ada orang fakir, maka padanya dibelanjakan dari harta zakat jika ada harta zakat di Baitul Mal. Jika tidak ada harta di bagian zakat, diambil dari harta orang-orang kaya yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang fakir. Jadi hukum-hukum Islam menjamin kebutuhan-kebutuhan pokok untuk seluruh individu umat baik pangan, sandang dan papan dan lainnya, dan menjamin pemberian kemungkinan kepada mereka berupa jaminan kebutuhan pelengkap mereka. Masyarakat tidak dizalimi dengan berbagai bentuk pajak yang membebani mereka dengan dalih apapun.
- Pemilu di daulah Islam tidak membutuhkan dana besar dari kas negara seperti yang terjadi di pemilu yang sedang berlangsung saat ini. Harta ini merupakan harta umat, tidak boleh dibelanjakan kecuali dalam pembelanjaan yang diijinkan oleh syara’. Siapa yang membelanjakannya secara tidak dibenarkan, dia diberi sanksi. Khalifah dalam Islam tetap menjadi khalifah selama tidak kehilangan salah satu syarat khalifah. Pemerintahanya tidak dibatasi dengan jangka waktu tertentu, tetapi dia tetap selama dia menjaga syarat-syarat kelayaan khilafah dan umurnya yang ada di tangan Allah. Ketika jabatannya berakhir sebagai khalifah karena meninggal atau kehilangan salah satu syarat kelayakan khilafah, maka umat wajib memilih khalifah dari para calo khilafah dalam jangka waktu tiga hari. Pemilu di dalam sistem Islam bukan aktifitas periodik yang terus menerus, tetapi merupakan sistem yang memiliki ciri khas stabil dan menjaga kestabilan.
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/alraiah-newspaper/53260.html
http://www.alraiah.net/index.php/political-analysis/item/3487-%D8%AD%D9%88%D9%84-%D8%A7%D9%86%D8%AA%D8%AE%D8%A7%D8%A8%D8%A7%D8%AA-24-%D8%AD%D8%B2%D9%8A%D8%B1%D8%A7%D9%86-%D9%88%D8%A7%D9%84%D9%88%D8%B9%D9%88%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D9%86%D8%AA%D8%AE%D8%A7%D8%A8%D9%8A%D8%A9