Menempatkan KTT Trump-Kim dalam Perspektif

Oleh: Adnan Khan | Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir

Dengan gegap gempita, KTT Trump-Kim yang banyak digembar-gemborkan diadakan di Singapura pada 11 Juni. Dianggap sebagai jabat tangan terbesar dalam sejarah, pertemuan itu menghasilkan pernyataan bersama oleh Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Hanya empat bulan yang lalu presiden AS melemparkan penghinaan kepada sejawatnya (Kim Jong Un) yang dia sebut “Little Rocket Man” dan ” deranged dotard -orang gila-“. Media global terlalu berlebihan menyatakan bahwa Trump adalah presiden AS pertama yang duduk untuk bertemu dengan diktator Korea Utara.

Acara ini adalah langkah terbaru oleh AS untuk mendapatkan kembali inisiatif di semenanjung Korea, tetapi dengan banyak rincian berduri, yang belum dikerjakan sama sekali, ada banyak ruang bagi dialog AS-Korea Utara untuk dirinci.

Asal-usul ketegangan merujuk kepada cara di mana sekutu yang menang menentukan pembagian Semenanjung Korea. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, PBB membangun administrasi Korea. PBB membagi semenanjung itu menjadi dua zona administrasi: Uni Soviet untuk Utara dan Amerika Serikat untuk Selatan.

Korea Utara menolak untuk berpartisipasi dalam pemilihan yang diawasi PBB yang diadakan di Selatan pada tahun 1948, yang menyebabkan terciptanya pemerintah Korea yang terpisah untuk dua zona pendudukan. Baik Korea Utara dan Korea Selatan mengklaim kedaulatan atas Semenanjung Korea secara keseluruhan, yang menyebabkan meletusnya Perang Korea.

Korea Utara menyerbu Selatan, menggunakan tank dan persenjataan Soviet. China juga bergabung dalam perang di sisi Komunis Korea Utara. Ancaman ekspansi komunis menyebabkan AS membela Korea Selatan. Dan pada tahun 1953, AS mengakhiri perang dalam sebuah perjanjian gencatan senjata. Kedua negara tidak pernah menandatangani perjanjian damai. Saat ini Semenanjung Korea masih terbagi. Zona Demiliterisasi Korea berlaku sebagai perbatasan de facto. Korea Utara hidup dalam kemiskinan dan didominasi oleh keluarga yang berkuasa. Korea Utara kemudian memulai program pengayaan uranium untuk memiliki senjata nuklir yang telah memperparah ketegangan antara Korea Selatan dan Korea Utara dan Amerika Serikat sejak itu.

AS tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Korea Utara. Tetapi meskipun demikian, AS pada tahun 1986 menuntut informasi rinci tentang program nuklir Korea Utara. Korea Utara menolak untuk menyerahkannya kepada AS. Sebaliknya Korea Utara memberikan dokumen-dokumen rinci itu dalam 19.000 halaman kepada China. Kesepakatan telah dicapai antara AS dan Korea Utara pada tahun 1994 tentang reaktor nuklir Korea Utara. Perjanjian ini menyerukan Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya dan menutup reaktor Yongbyon. Ini dalam pertukaran bahwa AS akan memasok dua reaktor tipe air ringan. Tetapi AS gagal untuk menghormati bagian dari janji dan karenanya Korea Utara melanjutkan aktifitas nuklirnya. Ini telah terjadi sejak itu, AS menawarkan berbagai janji yang tidak terwujud sehingga Korea Utara melanjutkan program nuklirnya. Bagi Korea Utara, senjata nuklir merupakan satu-satunya alat tawar-menawar.

Kini telah menjadi kejadian biasa karena ada insiden setidaknya sekali setahun antara Korea Utara dan AS, di mana kita melihat pergerakan militer kedua negara; uji coba nuklir oleh Korea Utara dan pengebom jarak jauh AS serta kapal induk yang bergerak ke wilayah tersebut. Hasilnya dalam semua kasus ini sama, eskalasi berubah menjadi pembicaraan yang menurunkan masalah. Siklus ini biasanya berulang dengan sendirinya setiap tahun. Ketika Trump memegang tampuk pemerintahan seperti semua pendahulunya, dia menggunakan banyak gertakan dan retorika terhadap Korea Utara, tetapi kali ini masalahnya berbeda.

Hari ini AS telah menghabiskan sebagian besar opsi dalam berurusan dengan Korea Utara, sementara pilihan lain tidak realistis lagi. Salah satu opsi bagi AS adalah menggunakan militernya untuk melakukan serangan pada situs nuklir Korea Utara. Masalahnya dengan strategi semacam itu adalah bahwa Korea Utara pasti akan memukul balik dengan keras, menggunakan persenjataan artilanya yang besar untuk menyerang sekutu Amerika, Korea Selatan dan Jepang. Itu mungkin akan membunuh puluhan atau bahkan ratusan ribu orang – termasuk 28.000 tentara AS yang ditempatkan di Korea Selatan dan ribuan lainnya di Jepang – bahkan sebelum senjata nuklir dijatuhkan. Jadi, Trump menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan bahwa menggunakan militer Amerika punya biaya yang besar dan bukan hanya konsekuensi besar tetapi juga berpotensi menimbulkan bencana besar. Pilihan lainnya adalah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, sehingga Korea Utara akan menyimpulkan bahwa biaya untuk melanjutkan program nuklirnya terlalu tinggi. Tetapi banyak item yang diinginkan dan dibutuhkan negara, seperti senjata dan bahan bakar, sudah disanksi oleh AS.

Terlepas dari semua ini, Korea Utara tidak mengubah arahnya. Dimana Trump mengubah posturnya ketika AS tertangkap basah oleh upaya normalisasi yang agresif oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-In dengan Korea Utara. Ini bahkan menyebabkan saudari diktator Korea Utara menghadiri Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan sebagai tamu resmi.

Ini datang di belakang Kim Jong Un yang muncul di China secara tidak terduga dan menunjukkan proses politik sedang berlangsung tanpa AS. Dalam konteks ini, Trump benar-benar mengubah postur agresifnya dan bekerja untuk mengambil kembali inisiatif dengan menyetujui pertemuan puncak dengan Kim Jong-Un.

Pernyataan bersama KTT tentang isu-isu besar denuklirisasi, pembangunan hubungan bilateral baru, membuat upaya bersama untuk membangun perdamaian abadi di semenanjung Korea dll tetapi tidak memiliki rincian, kerangka kerja atau garis waktu.

Tetapi realitas strategis yang mendasarinya tetap ada, keterlibatan Amerika dengan Korea Utara, seperti dengan agresinya di Vietnam 50 tahun yang lalu, adalah bagian dari strategi yang lebih luas yang ditujukan terhadap kebangkitan China. Korea Utara memberi Amerika justifikasi untuk melakukan militerisasi yang kuat secara langsung di perbatasan China. Krisis juga berfungsi untuk menjaga kepemimpinan China tersibukan dan terlibat. Oleh karena itu tindakan Amerika melawan Korea Utara merupakan bagian dari strategi manuver politik dalam mengejar tujuan yang lebih besar, China.[]

 

Sumber : http://hizb-ut-tahrir.info/en/index.php/site-sections/articles/analysis/15573.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*