Kepada Siapa Zakat Hewan Ternak Ditunaikan Pada Kondisi Khilafah Tidak Ada?

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Kepada Siapa Zakat Hewan Ternak Ditunaikan Pada Kondisi Khilafah Tidak Ada?

Kepada ‘Athiyah al-Jabarin dan Adel Arbi

 

Soal:

Pertanyaan ‘Athiyah al-Jabarin:

Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Akhana Abu Yasin semoga Allah senantiasa menjaga Anda dan memanjangkan usia Anda…

Berkaitan dengan Jawab Soal seputar zakat hewan ternak… Kami tahu bahwa terhadap domba yang digembalakan ada zakat dan yang tidak digembalakan tidak ada zakat atasnya… Dan ketika pemilik hewan ternak memberi makan hewan ternaknya pada sebagian besar tahun menurut perhitungannya dan hewan ternak itu tidak digembalakan kecuali hanya sedikit sekali dari jumlah hari setahun, dan tujuan dari hal itu adalah untuk memperbanyak hasil di mana pada galibnya domba tidak melahirkan dua kali, dan ini hasil dari pemberian makan pada sebagian besar hari setahun. Dan domba di sini tidak untuk diperdagangkan. Apakah di sini terhadapnya ada zakat atau tidak? Semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda.

Saudaramu ‘Athiyah al-Jabarin Palestina.

 

Pertanyaan Adel Arbi:

Assalamu ‘alaikum, semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda dan memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda dan menolong Anda.

Kepada siapa zakat hewan ternak ditunaikan pada kondisi khilafah tidak ada?

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertanyaan Anda berdua seputar zakat hewan ternak dan kepada siapa dibayarkan. Oleh karena itu, saya jadikan jawaban untuk Anda berdua sekaligus. Dan jawaban itu sebagai berikut:

Pertama: zakat hewan ternak berupa domba, sapi dan onta:

1- Tidak ada zakat atas domba, sapi dan onta yang diberi makan (bukan digembalakan). Hal itu karena as-sawm (digembalakan) adalah sifat yang memberi pemahaman ‘illat. Dan mafhûm ash-shifati adalah pengaitan hukum dengan sifat benda. Dan ini menunjukkan atas penafian hukum dari benda ketika sifat itu tidak ada. Dan syaratnya, sifat itu merupakan sifat yang memberi pemahaman (washfun mufhimun), yakni memberi faedah ‘illat. Jika tidak merupakan sifat yang memberi pemahaman (washfun mufhimun) maka tidak memiliki mafhum … Saya ulangi, bahwa syarat mafhûm ash-shifati adalah harus merupakan sifat yang memberi pemahaman (washfun mufhimun). Seperti sabda Rasul saw:

«فِي صَدَقَةِ الغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا…»أخرجه البخاري

“Pada zakat domba (adalah) pada yang digembalakan…” (HR al-Bukhari).

 

Domba (al-ghanam) adalah nama benda. Dan dia memiliki dua sifat: as-sawm (digembalakan) dan al-‘alaf (diberi makan). Kewajiban zakat dikaitkan terhadap sifat as-sawm, maka hal itu menunjukkan tidak adanya kewajiban itu dalam al-ma’lûfati (yang diberi makan).

2- Dalil atas hal itu:

Abu Dzar meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda:

«مَا مِنْ صَاحِبِ إِبِلٍ، وَلَا بَقَرٍ، وَلَا غَنَمٍ، لَا يُؤَدِّي زَكَاتَها، إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أَعْظَمَ مَا كَانَتْ، وَأَسْمَنَ، تَنْطَحُهُ بِقُرُونِهَا، وَتَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا». متفق عليه

“Tidak ada pemilik onta, pemilik sapi, pemilik domba, yang tidak menunaikan zakatnya, kecuali hewan itu datang pada hari Kiamat kelak lebih besar dan lebih gemuk, menanduk pemiliknya dengan tanduk-tanduknya, dan menginjaknya dengan kuku-kuku kakinya” (Muttafaq ‘alayh).

Abu Dawud telah meriwayatkan dari Abu Bakar dari Nabi saw dalam hadits yang panjang, bahwa Nabi saw bersabda:

«… وَفِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ، فَفِيهَا شَاةٌ…»

“… dan dalam domba yang digembalakan jika mencapai 40 ekor maka di dalamnya (ada zakat) seekor domba betina (syâtun)…”.

Dari Ali ra, ia berkata:

«لَيْسَ فِيْ الْبَقَرِ الْعَوَامِلِ صَدَقَةٌ» رواه أبو عبيد والبيهقي

“Tidak ada zakat dalam sapi yang dipekerjakan” (HR Abu Ubaid dan al-Baihaqi).

 

Dari Amru bin Dinar bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda:

«لَيْسَ فِيْ الثَّوْرِ الْمُثِيرَةِ صَدَقَةٌ» رواه أبو عبيد

“Tidak ada zakat dalam sapi jantan yang digunakan membajak tanah” (HR Abu Ubaid).

Abu Ubaid juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:

«لَا صَدَقَةَ عَلَى مُثِيرَةٍ»

“Tidak ada zakat atas hewan yang digunakan membajak tanah”.

Al-mutsîrah adalah yang membajak tanah yakni menggemburkannya.

Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhayn dari Bahzu bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ ابْنَةُ لَبُونٍ…»

“Dalam setiap onta yang digembalakan, pada setiap 40 ekor, (zakatnya) bintu labun –anak Unta betina berumur dua tahun-.

 

Al-Hakim berkata: “ini adalah hadits shahîhu al-isnâd”. Dan as-sâimah: hewan yang digembalakan di padang rumput dan padang gembalaan dan tidak diberi makan.

3- Begitulah, ketiga hewan ternak itu wajib dizakati. Dan seperti yang dijelaskan di atas, zakat tersebut adalah dalam yang digembalakan, yakni digembalakan sebagian besar tahun. Adapun yang diberi makan, maka tidak dizakati. Demikian juga sapi yang dipekerjakan, tidak dizakati.

4- Ringkasnya, bahwa tidak ada zakat pada hewan kecuali hewan ternak: domba, sapi dan onta. Adapun dalam barang dagangan, maka dizakati setiap hewan jika untuk diperdagangkan yakni untuk diperjual-belikan karena adanya nas-nas tentang zakat semua yang ditawarkan untuk diperdagangkan apapun jenisnya, baik berupa biji-bijian, pakaian atau hewan… Dan diantara nas-nas yang dinyatakan dalam masalah barang dagangan (‘urûdh at-tijârah):

– Dari Samurah bin Jundub, ia berkata:

«أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ» رواه أبو داود

“Amma ba’du, Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kami siapkan untuk dijual” (HR Abu Dawud).

 

– Dan dari Abu Dzar dari Nabi saw, beliau bersabda:

«وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهُ» رواه الدارقطني والبيهقي

“Dan dalam pakaian ada zakat” (HR ad-Daraquthni dan al-Baihaqi).

 

Al-bazzu adalah pakaian dan gamis yang diperdagangkan.

Kedua: kepada siapa ditunaikan zakat hewan ternak pada kondisi khilafah tidak ada, seperti dalam pertanyaan Anda, seolah maksudnya bukan orang yang berhak atas zakat, tetapi kepada siapa dibayarkan.

1- Zakat baik zakat hewan ternak, hasil pertanian dan buah-buahan, uang dan barang dagangan, dibayarkan kepada khalifah, atau orang yang mewakilinya di antara para wali dan ‘amil, atau orang yang ditunjuk oleh khalifah dari para as-su’âtu dan al-‘âmilîna atas zakat. Allah SWT berfirman:

﴿خذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾ [التوبة: 103]

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (TQS at-Tawbah [9]: 103).

Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya saw dalam ayat ini agar mengambil zakat dari para pemilik harta. Rasul saw dahulu menunjuk para wali, ‘amil, as-su’âtu atas zakat, untuk mengambilnya dari para pemilik harta. Sebagaimana, Rasul saw juga menunjuk para penaksir hasil pertanian untuk menaksir kurma dan anggur. Orang-orang pada masa Rasul saw membayar zakat kepada Beliau, atau kepada orang yang Beliau tunjuk di antara para wali, ‘amil dan as-su’âtu  atas zakat. Kondisinya berlangsung menurut yang demikian setelah beliau … Jadi zakat dibayarkan kepada para khalifah dan wali-wali mereka…

Terdapat riwayat-riwayat dari para sahabat dan tabi’in atas bolehnya seseorang melakukan sendiri pendistribusian zakat dan meletakkannya pada tempatnya, pada harta-harta ash-shâmitah yakni uang. Abu Ubaid telah meriwayatkan bahwa Kaysan datang kepada Umar dengan membawa 200 Dirham zakat. Dia berkata kepada Umar:

«يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ، هَذِهِ زَكَاةُ مَالِيْ»، فَقَالَ لَهُ عُمَرٌ: «فَاذْهَبْ بِهَا أَنْتَ فَاقْسِمْهَا»

“Ya Amirul Mukminin, ini zakat hartaku”. Umar berkata kepadanya: “pergilah dan bagikanlah”.

 

Abu Ubaid juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata:

«إِذَا وَضَعْتَهَا أَنْتَ فِيْ مَوَاضِعِهَا، وَلَمْ تَعُدَّ مِنْهَا أَحَداً تَعُوْلُهُ شَيْئاً، فَلاَ بَأْسَ»

“Jika engkau letakkan zakat pada tempat-tempatnya dan tidak engkau kembalikan sedikitpun kepada seorang pun yang menjadi tanggunganmu maka tidak apa-apa”.

 

Abu Ubaid juga meriwayatkan dari Ibrahim dan al-Hasan, keduanya berkata:

«ضَعْهَا مَوَاضِعَهَا، وَأَخْفِهَا»

“Letakkan zakat pada tempat-tempatnya dan sembunyikan”.

 

Ini pada ash-shâmitu yakni uang. Orang yang berzakat membayarkannya kepada khalifah dan walinya, atau dia distribusikan sendiri. Ini berkaitan dengan uang, sebagaimana yang kami sebutkan barusan.

Adapun hewan ternak, hasil pertanian dan buah-buahan –az-zurû’ wa ats-tsimâr-, maka harus dibayarkan kepada khalifah atau orang yang ditunjuk oleh khalifah. Abu Bakar telah memerangi orang yang tidak mau membayar zakat, ketika mereka enggan membayarnya kepada para wali atau as-su’âtu yang ditunjuk oleh Abu Bakar. Abu Bakar berkata:

«وَاللهِ لَوْ مَنَعُوْنِي عُنَاقاً كَانُوْا يُؤَدُوْنَهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَيْهِ» متفق عليه من طريق أبي هريرة

“Demi Allah, seandainya sekelompok orang tidak mau membayarnya kepadaku apa yang dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah saw niscaya aku perangi mereka atasnya” (Muttafaq ‘alayhi dari Abu Hurairah).

Adapun jika khalifah tidak ada maka muzakki (orang yang berzakat) boleh mendistribusikannya kepada orang yang berhak atas zakat, yaitu mereka yang disebutkan di dalam ayat yang mulia:

﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ﴾ [التوبة: 60]

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (TQS at-Tawbah [9]: 60) .

 

Jadi rukun Islam tidak boleh diabaikan dalam segala situasi dan kondisi. Tetapi, harus ditunaikan dalam batas kemampuan maksimal (istithâ’ah)…

Ini yang menjadi pandangan saya dalam masalah ini. Wallâhu a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

28 Jumadul Awwal 1440 H

03 Februari 2019 M

 

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/q-a/57757.html

https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/994614964068908/?type=3&theater&_rdc=1&_rdr

https://plus.google.com/u/0/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/VnqVHLGU5Mu

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*