Bid’ah Saling Berjauhan di dalam Shalat Jamaah

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Bid’ah Saling Berjauhan di dalam Shalat Jamaah

Kepada Ferid Saad, Usaid Salim, Shafa’ Muhammad, Hassan Yaser, Nashir al-Islam, ar-Rayahiy Abu Fathimah

Berikut ini jawaban atas masalah shalat al-Jumat yang Anda tanyakan::

1- Kami telah mengeluarkan jawaban tentang shalat al-Jum’at pada 2 Sya’ban 1441 H-26 Maret 2020 M. Demikian juga [ada 18 Sya’ban 1441 H-11 April 2020 M kemudian pada 17 Syawal 1441 H-8 Juni 2020 M. Di dalam hal itu ada kecukupan berkaitan pertanyaan-pertanyaan Anda. Di dalam jawaban-jawaban itu dinyatakan:

Pertama, Jawaban kami pada 2 Sya’ban 1441 H-26 Maret 2020 M, di situ dinyatakan:

(Adapun shalat Jumat maka itu fardhu ain, tidak gugur kecuali dengan udzur, dan dalil-dalil atas hal itu banyak, di antaranya:

Firman Allah SWT:

﴿إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ﴾

“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (TQS al-Jumu’ah [62]: 9).

Perintah di dalam ayat ini untuk wajib dengan dalil qarinah larangan dari yang mubah, menunjukkan bahwa thalab itu jazim. Dan al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn dari jalur Thariq bin Syihab dari Abu Musa dari Nabi saw, beliau bersabda:

«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ»

“Jumat merupakan hak wajib atas tiap muslim di dalam jamaah kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang yang sakit”.

Al-Hakim berkata: hadits shahih menurut syarat syaykhayn (al-Bukhari dan Muslim)”. Shalat Jumat tidak wajib atas orang yang takut karena apa yang diriwayatkan dri Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda:

«مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْهُ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إلَّا مِنْ عُذْرٍ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْعُذْرُ؟ قَالَ: خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ» أخرجه البيهقي في السنن الكبرى

“Siapa saja yang mendengar seruan (Adzan) dan tidak menjawabnya maka tidak ada shalat untuknya kecuali karena udzur”. Mereka berkata:”ya Rasulullah apa udzurnya?” Beliau bersabda: “takut atau sakit”. (HR al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ).

Begitulah, shalat Jumat adalah wajib atas tiap orang Muslim kecuali orang yang dinyatakan oleh nas syar’iy yang mengecualikannya …) selesai.

Kedua: jawaban kami pada 18 Sya’ban 1441 H-11 April 2020 M. Di situ dinyatakan:

firman Allah SWT:

﴿ يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik untuk kamu jika kamu mengetahui” (TQS al-Jumu’ah [62]: 9).

Jadi seorang muslim berjalan untuk shalat tanpa dihalangi.

﴿ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ﴾

“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (TQS al-Jumu’ah [62]: 9).

Jadi bersegera berjalan untuk shalat Jumat adalah fardhu sebab itu dikaitkan dengan meninggalkan hal mubah (jual beli) … Yakni shalat jumat itu tidak dilakukan di tempat privat seperti rumah, karena bolehnya menghalangi … Olehnya itu, dinyatakan di Jawab Soal bahwa [penutupan masjid-masjid oleh penguasa dan menghalangi shalat di dalamnya adalah perkara yang tidak boleh dan di situ ada dosa besar untuk para penguasa itu. Atas dasar itu, jika penguasa melarang ditunaikannya shalat Jumat di masjid sementara di situ tidak ada ruang untuk shalat kecuali di rumah maka hendaklah Anda shalat di rumah shalat Zhuhur empat rakaat, dan negara (penguasa) yang menutup masjid-masjid berdosa besar …

Adapun topik mengambil sebab maka itu benar, tetapi tanpa menyalahi syara’. Mengambil sebab di sini bahwa orang yang sakit tidak pergi untuk shalat Jumat sedangkan orang-orang yang sehat pergi untuk shalat Jumat … Kami telah menyebutkan di dalam Jawab Soal, apa yang mencukupi untuk menjelaskan tidak adanya penutupan masjid agar orang-orang yang sehat dapat menunaikan shalat dan diambil protokol-protokol agar tidak ada kehadiran orang yang sakit dengan penyakit menular yang bisa menulari orang yang shalat. Dan itu sudah dijelaskan dengan terang… Tidak dikatakan di sini bahwa orang-orang yang sehat mungkin saja sakit Corona tetapi gejala-gejalanya tidak nampak. Maka semua orang dilarang dari masjid-masjid. Yakni penduduk dunia dicegah dari masjid-masjid …! Ini merupakan ucapan yang tidak bisa menjadi hujjah dan tidak pula hingga dugaan kuat!!…), selesai.

Ketiga, jawaban kami pada 8 Juni 2020. Di situ dinyatakan:

(Keenam: ringkasnya dari apa yang telah dijelaskan di ata sadalah sebagai berikut:

1- Mengubah tatacara untuk shalat yang telah dijelaskan oleh Rasul saw dinilai sebagai bid’ah. Tetapi hukum syar’iy dalam kondisi ini adalah orang yang sehat badannya, dia pergi untuk shalat seperti biasa di shaff-shaff yang lurus, tanpa renggang. Sedangkan orang yang sakit dengan penyakit menular, dia tidak pergi sehingga tidak menulari yang lain.

2- Jika negara menutup masjid-masjid, dan berikutnya orang-orang yang sehat terhalang dari datang ke masjid untuk shalat Jumat dan shalat jamaah maka negara berdosa besar karena menelantarkan shalat Jumat dan shalat jamaah. Jadi masjid-masjid wajib dibuka untuk shalat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasul saw.

3- Demikian juga jika negara melarang orang-orang yang shalat dari menunaikan shalat sesuai tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw, tetapi negara mengharuskan mereka untuk saling berjauhan satu atau dua meter di antara orang yang shalat dan orang ada di sampingnya karena khawatir penularan, khususnya tanpa gejala-gejala patologis, maka negara berdosa besar.

Ini adalah hukum syara’ yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam … dan saya memohon kepada Allah SWT agar memberi petunjuk kaum Muslim kepada perkara mereka yang paling lurus dan agar kaum Muslim menyembah Dia sebagaimana yang Dia perintahkan, dan agar mereka terikat dengan ketaatan kepada Rasul-Nya saw. Dan agar mereka menegakkan syariah yang hanif tanpa penyimpangan dengan tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah … Dan sungguh di dalam yang demikian itu ada kebaikan dan pertolongan dengan izin Allah yang sesuatu pun di muka bumi dan di langit tidak bisa melemahkan-Nya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana), selesai.

Keempat: jelas dari apa yang disampaikan di atas bahwa shalat Jumat adalah fardhu ‘ain dan wajib ditunaikan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasul saw dengan rukun dan syarat sahnya disertai merapatkan shaf menurut syariah sebagaimana apa yang telah dijelaskan di dalam jawaban kami sebelumnya … Larangan penguasa (otoritas) untuk pelaksanaan shalat Jumat menurut tata cara seperti itu merupakan dosa besar yang jatuh pada pundak penguasa, baik apakah negara menutup masjid-masjid atau melarang pelaksanaan shalat Jumat sesuai tata cara syar’iy itu …

Dan karena shalat Jumat adalah fardhu ‘ain, maka setiap Muslim mukallaf harus berusaha shalat Jumat dan menunaikannya secara syar’iy dengan rukun dan syarat-syarat sahnya serta merapatkan shafnya … dsb. Jika tidak mampu karena larangan fisikal atau penguasa zalim melarang (menghalangi) pelaksanaan shalat Jumat sesuai aturan syariah tetapi penguasa zalim itu memaksa orang-orang yang melaksanakan shalat terhadap bid’ah tersebut dengan memaksakan perenggangan shaf sehingga orang yang shalat itu tidak bisa menunaikannya sesuai kemampuannya dan penguasa zalim itu akan memikul dosa tersebut …

Rasul saw bersabda dalam riwayat yang telah dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallâh dari Abu Hurairah ra:

«وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» واللفظ للبخاري

“Dan jikaaku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikanlah semampu kalian” (lafal menurut al-Bukhari).

Maka jika seorang Muslim mampu melaksanakan shalat Jumat yang fardhu ‘ain dengan merapatkan shaf maka dia wajib menunaikan shalat dengan merapatkan shaf, sebab merenggangkan shaf adalah bid’ah selama dia mampu menjauhi perenggangan shaf itu. Adapun jika dia tidak mampu karena perbuatan penguasa yang berdosa maka ketika itu dia melaksanakan shalat sesuai yang dia mampu. An-Nawawi (w. 676 H) mengatakan di dalam bukunya al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajâj ketika menjelaskan hadits tersebut dengan lafal Muslim: “dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: …

«فإذا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»

“Maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian”.

An-Nawawi berkata dalam syarahnya: ““Maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian” ini termasuk kaidah (pilar) Islam yang penting dan termasuk kalimat yang menghimpun yang diberikan oleh Rasulullah saw, dan termasuk di dalamnya hukum-hukum yang tak terhitung banyaknya seperti shalat dengan semua macamnya maka jika tidak mampu dari sebagian rukunnya atau sebagian syaratnya maka hendaknya dia tunaikan sisanya (yang mampu dia tunaikan)wallâh a’lam), selesai.

Kelima: begitulah, bagi saudara-saudara penanya hendaklah berusaha shalat Jumat sebab itu fardhu ‘ain.

﴿يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik untuk kamu jika kamu mengetahui” (TQS al-Jumu’ah [62]: 9).

 

Dan dari Nabi saw, beliau bersabda:

«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ»

“Jumat merupakan hak wajib atas tiap muslim di dalam jamaah kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang yang sakit”.

Al-Hakim berkata: hadits shahih menurut syarat syaykhayn (al-Bukhari dan Muslim)”. Dan hendaknya menunaikannya dengan tata cara yang telah Rasul saw jelaskan dalam shaf yang rapat. Dan jika mereka tidak mampu melakukan itu karena larangan otoritas kepada mereka dan paksaan kepada mereka untuk saling berjauhan (merenggangkan shaf) maka hendaklah mereka shalat sesuai kemampuan mereka. Dan hendaklah mereka berjuang sungguh-sungguh dan penuh kesungguhan untuk tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah sehingga al-Khilafah menerapkan hukum-hukum syara’ sesuai dengan ketentuannya tanpa penyimpangan dengan taufik dan pertolongan Allah …

Saya berharap di dalam jawaban ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

27 Shafat al-Khayr 1442 H

14 Oktober 2020 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/71063.html

بسم الله الرحمن الرحيمبدعة #التباعد في #صلاة_الجماعة===================جواب أسئلة إلى الإخوة: ( Ferid Saad، اسيد…

Posted by ‎أمير حزب التحرير/ عطاء بن خليل أبو الرشتة‎ on Wednesday, October 14, 2020

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*