Larangan Organisasi Anti-Demokrasi Identik Dengan Larangan Islam

Kantor Media
Belanda
1 Rabi’ul Awwal 1442 H No : 03/1442 H
Ahad, 18 Oktober 2020 M

 

Press Release:

Larangan Organisasi Anti-Demokrasi Identik Dengan Larangan Islam

 

Sebuah RUU represif tentang larangan organisasi anti-demokrasi diam-diam disahkan minggu ini oleh Majelis Rendah. Awal tahun ini, inisiatif legislatif meminta larangan regulasi (administrasi) penghancuran organisasi disahkan. Singkatnya, kedua RUU tersebut saling melengkapi karena akan mempermudah pelarangan kelompok, organisasi dan juga badan hukum.

Pada Desember 2019, Kantor Media Hizbut Tahrir di Belanda menerbitkan press release yang mengungkap karakter diskriminatif RUU tersebut. Kami menyatakan bahwa RUU tersebut, meskipun tampaknya tentang kelompok ekstrim kiri dan kanan, pada dasarnya adalah sarana pembuatan dasar yudisial untuk melarang kelompok dan individu Muslim. Bukan suatu kebetulan bahwa RUU tersebut datang bersamaan dengan pengumuman Kementerian Kehakiman: “Penilaian Ancaman Terorisme di Belanda” dari Koordinator Nasional Keamanan dan Kontra Terorisme yang berfokus pada ancaman yang berasal dari kelompok Muslim.

Menangani kekerasan, ancaman serangan, atau penyebaran tindakan semacam itu oleh oknum kelompok atau individu secara hukum sudah dimungkinkan dengan undang-undang yang berlaku. Di mana dengan undang-undang yang berlaku ini geng motor ternama “Hells Angels” beserta aktivitasnya dilarang oleh pengadilan di Utrecht. Bahkan pengadilan juga melarang Asosiasi Pedofilia “MARTIJN” yang berjuang hubungan seksual antara orang dewasa dan anak-anak diterima secara hukum dan sosial.

Namun, dengan RUU baru mereka ingin melangkah lebih jauh dengan melarang kelompok dan individu yang tidak melakukan tindakan kekerasan atau menyerukannya, tetapi karena pemikirannya. Menurut RUU tersebut, kelompok dan individu dapat dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional jika menolak prinsip-prinsip demokrasi atau memposisikan diri secara anti-demokrasi.

Manifestasi praktis dari undang-undang tersebut adalah bahwa setiap kali seseorang tidak yakin akan gagasan bahwa harus ada pemisahan gereja (agama) dan negara (kehidupan), atau gagasan bahwa manusia adalah pembuat hukum terakhir yang menentukan apa yang baik dan apa yang salah, maka dia adalah ancaman bagi masyarakat, bahkan sekalipun individu tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam domain publik.

Jadi, ketika seorang Muslim percaya bahwa hukum Allah adalah yang tertinggi—lebih tinggi dan lebih baik dari hukum yang dikeluarkan oleh manusia—dia menjadi ancaman bagi masyarakat. Artinya, dalam realitanya nanti adalah bahwa setiap Muslim akan dianggap sebagai ancaman karena pemikiran ini, yang merupakan bagian penting dari akidah Islam. Sebab tanpa keyakinan ini tidak ada keimanan pada Islam. Dengan demikian, masalahnya bukanlah apa yang disebut “kelompok Islam radikal”, tetapi Islam itu sendiri.

Presiden Prancis Macron, berbicara atas nama banyak negara Barat ketika dia mengatakan bahwa “Islam berada dalam krisis” dan “separatisme Islam” harus ditangani dengan keras untuk melindungi prinsip sekuler, yang mengakibatkan polisi menggerebek organisasi amal sosial dan menangkap sejumlah kaum Muslim terkemuka.

Belanda sedang menuju contoh Prancis yang memaksa pemikiran sekuler sebagai syarat untuk hidup berdampingan. Namun, tidakkah mereka mengatakan: “Mari kita hidup bersama meski ada perbedaan?” Lalu apa yang harus kita lakukan dengan kutipan pernyataan filsuf Prancis Voltaire: “Saya membenci apa yang Anda katakan, tetapi saya akan melindungi hak Anda untuk mengatakannya meski dengan mengorbankan hidup saya”, di mana ia dianggap sebagai landasan dari apa yang disebut masyarakat demokratis. Haruskah kita membuangnya ke tempat sampah sekali dan untuk selamanya?

Lebih dari itu, RUU tersebut, juga membuat pergeseran dari mengkriminalisasi tindak pidana menjadi mengkriminalisasi tujuan yang dimaksudkan. Bahkan kelompok-kelompok yang beraktivitas sesuai ketentuan hukum dan tidak melakukan perbuatan terlarang pun bisa dipidana berdasarkan kecurigaan, dan dibubarkannya, karena dinilai hakim melanggar ketertiban umum. Dengan kata lain: Organisasi dapat dilarang meski tanpa tindak pidana sama sekali.

Selain itu, apa yang diduga melanggar “ketertiban umum” masih belum jelas. Ini adalah istilah yang relatif dan rentan untuk disalahgunakan tergantung pada dugaan yang berlaku. Oleh karena itu, tidak sesuai untuk melarang organisasi berdasarkan ketertiban umum. Sebab, bukti yang tak terbantahkan akan digantikan oleh kriteria yang samar dan subjektif. Sehingga ini bukan pertanda baik bagi umat Islam mengingat iklim anti-Islam yang semakin keras.

Semua ini menunjukkan bahwa paradigma sekuler telah menyatakan dirinya bangkrut, tidak mampu mempersatukan dan mengikutsertakan umat manusia dalam segala keberagamannya. Dengan mengetahui hal tersebut, maka partisipasi politik dalam sistem yang bangkrut ini untuk memberikan keuntungan bagi komunitas umat Islam semakin memalukan. Ternyata, partai politik DENK, yang berada di Majelis Rendah adalah berkat suara kaum Muslim, namun mereka mendukung RUU tersebut. Sungguh begitu memalukan, dengan suara kaum Muslim, mereka menipu komunitas umat Islam, dan dengan melakukan itu mereka telah menutup kepalanya.

 

Okay Pala

Perwakilan Media Hizbut Tahrir di Belanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*