بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan:
Paksaan Yang Memaksa dan Keharaman Mendonorkan Jantung
Kepada Saleem Eshaq
Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Di antara maqashid syariah adalah penjagaan terhadap jiwa. Dan al-maqashid tidak berarti ‘illat hukum sebagai satu keseluruhan dan juga bukan ‘illat satu hukum. Di dalam syara’ ada kaedah adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât -keadaan dharurat memperbolehkan apa yang diharamkan-. Dan yang benar bahwa kaedah tersebut khusus pada topik makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup manusia ketika terjadi kelaparan yang membinasakan.
Dan paksaan yang memaksa (al-ikrâh al-mulji`) memperbolehkan pengucapan kalimat kufur jika diambil sebagian harta atau jiwa atau dipotong sebagian dari tubuh atau ada ancaman sodomi atau zina pada mahram.
Pertanyaannya, di bawah pemahaman ini, apakah boleh bagi seseorang yang dokter berkata kepadanya bahwa dia membutuhkan transplantasi jantung dan jika tidak maka ghalabah azh-zhann dia akan mati (untuk transplantasi jantung)? Perlu diketahui bahwa donor jantung setelah kematian adalah haram. Demikian juga mengambil organ yang didonorkan bukanlah donasi.
Mohon beri manfaat kepada saya, semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Jelas dari pertanyaan Anda bahwa Anda menelaah topik maqashid, adh-dharûrât, paksaan yang memaksa (al-ikrâh al-mulji`) dan keharaman mendonorkan jantung setelah kematian … Meski demikian, Anda bertanya tentang hukum transplantasi jantung untuk seseorang yang dokter menduga kuat kematiannya jika tidak ada donor jantung kepadanya. Dan Anda mengisyaratkan kepada perbedaan antara donor organ dengan pengambilan organ yang didonorkan …
Pertama: sebelum menjawab pertanyaan Anda, saya tegaskan sebagian yang ada di Jawab Soal yang kami keluarkan pada 23 Rabi’ul Akhir 1440 H – 30 Desember 2018 M seputar topik transplantasi organ:
[Berkaitan dengan pertanyaan Anda tentang transplantasi organ, jelas bahwa Anda menelaah dalil-dalil yang menunjukkan keharaman transplantasi organ dari seseorang yang telah mati dan dia termasuk orang yang terpelihara darahnya, kepada orang hidup, sesuai apa yang dijelaskan dalam boklet al-Istinsâkh (Kloning). Istidlal dalam booklet itu terjadi pada dua perkara atas keharaman transplantasi organ dari mayit ke orang hidup, keduanya adalah:1- Tidak ada seorang pun yang memiliki jasad seseorang setelah kematiannya. Si mayit tidak memiliki kekuasaan atas jasadnya setelah kematiannya. Ahli waris juga tidak memiliki kekuasaan atas jasad mayit setelah kematiannya. Hal itu seperti yang ditunjukkan dalil-dalil syara’ … Atas dasar itu, si mayit dan ahli warisnya tidak memiliki hak untuk mendonasikan organ dari jasad mayit tersebut sebab jasad si mayit itu tidak berada dalam kepemilikan mereka dan mereka tidak punya kekuasaan atasnya…
2- Tidak boleh menyerang dan menyakiti mayit. Demikian juga tidak boleh memutilasinya … Hal itu sebagai berikut:
a- Berkaitan dengan keharaman menyerang dan menyakiti, maka telah dinyatakan hadits-hadits “yang menunjukkan dengan dalalah yang jelas bahwa mayit memiliki kehormatan layaknya orang hidup. Sebagaimana yang ditunjukkan bahwa menyerang atas kehormatan dan menyakiti mayit, sama seperti menyerang kehormatan dan menyakiti orang hidup. Sebagaimana tidak boleh menyerang orang hidup dengan merobek perutnya, atau memotong lehernya atau mencabut bola matanya atau mematahkan tulangnya, maka demikian juga tidak boleh menyerang mayit dengan merobek perutnya, atau memotong lehernya atau mencabut bola matanya atau mematahkan tulangnya. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencacinya atau memukulnya atau melukainya, maka demikian juga haram menyakiti mayit dengan mencaci, memukul atau melukai…”. Di antara hadits-hadits itu adalah:
– Dari Aisyah Ummul Mukminin ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
«كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيّاً» رواه أحمد وأبو داود وابن حبان
“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika dia hidup” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
– Imam Ahmad telah meriwayatkan dari jalur Amru bin Hazmin al-Anshari, dia berkata: “Rasulullah saw melihatku dan aku sedang bersandar ke kuburan, maka beliau bersabda:
«لَا تُؤْذِ صَاحِبَ الْقَبْرِ»
“Jangan kamu menyakiti pemilik kubur ini”.
– Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ مُتَحَرِّقَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ»
“Seseorang dari kalian duduk di atas bara api yang membara, itu lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”.
b- Berkaitan dengan mutilasi terhadap mayit, maka “mencabut bola mata mayit, merobek perutnya untuk mengambil jantungnya atau levernya atau kedua ginjalnya dan mentransplantasikannya ke seseorang lainnya yang membutuhkannya, hal itu termasuk memutilasi mayit, dan Islam melarang mutilasi”:
– Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid al-Anshari, dia berkata:
«نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنِ النُّهْبَى وَالْمُثْلَة»
“Rasulullah saw melarang kanibal dan mutilasi”.
– Imam Ahmad, Ibnu Majah dan an-Nasai telah meriwayatkan dari Shafqan bin ‘Usal, dia berkata: “Rasulullah saw mengutus detasemen, beliau bersabda:
«سِيرُوا بِاسْمِ اللهِ، وَفِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، وَلَا تُمَثِّلُوا وَلَا تَغْدُرُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيداً»
“Berjalanlah dengan membaca asma Allah dan di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah, dan jangan kalian memutilasi, jangan berkhianat dan jangan membunuh lansia”.
Berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas maka tampak dengan sangat jelas bahwa transplantasi organ dari seseorang yang telah mati dan dia terjaga darahnya, kepada orang hidup, adalah haram secara syar’iy] selesai kutipan dari Jawab Soal terdahulu.
Demikian juga saya kutipkan apa yang ada di booklet al-Intinsâh (Kloning) tentang transplantasi organ dalam kondisi terpaksa:
[… Keadaan darurat adalah keadaan yang Allah memperbolehkan untuk orang yang dalam keadaan terpaksa (al-mudhtharr) yang tidak punya bekal dan kehidupannya terancam kematian, Allah memperbolehkannya memakan makanan yang Allah haramkan memakannya, yang dia temukan, seperti bangkai, darah, daging babi dan yang lainnya. Apakah dalam kondisi ini diperbolehkan transplantasi organ dari organ mayit untuk menyelamatkan kehidupan seseorang yang lain dan kehidupannya bergantung pada transplantasi organ kepadanya?Untuk menjawab hal itu maka harus diketahui hukum dalam keadaan terpaksa (al-idhthirâr) untuk sampai kepada pengetahuan hukum transplantasi organ dari seseorang yang kehidupannya berakhir kepada seseorang lainnya yang memerlukan organ tersebut.
Adapun hukum idhthirâr (dalam keadaan terpaksa), Allah SWT telah memperbolehkan untuk orang yang dalam keadaan terpaksa yang tidak punya bekal, dan kehidupannya terancam dengan kematian, untuk memakan makanan yang Allah haramkan memakannya, yang dia temukan sehingga kehidupannya terjaga, seperti bangkai, darah, babi dan semua makanan yang Allah haramkan memakannya. Allah SWT berfirman:
﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ﴾
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (TQS al-Baqarah [2]: 173).
Orang yang dalam keadaan terpaksa (al-mudhtharr) boleh memakan apa yang dia temukan di antara makanan yang diharamkan ini yang sekedar untuk mempertahankan hidupnya dan kehidupannya tetap bertahan. Dan jika dia tidak makan darinya maka dia mati dan dia berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:
﴿وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ﴾
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu” (TQS an-Nisa’ [4]: 29).
Berdasarkan hukum keadaan terpaksa sebelumnya, apakah mungkin menerapkan hukum ini terhadap keadaan transplantasi organ dari seseorang yang kehidupannya berhenti kepada seseorang lain yang memerlukan organ itu untuk menyelamatkan hidupnya, dengan jalan qiyas?
Jawaban atas hal itu, perlu dilihat. Syarat penerapan hukum qiyas dalam masalah ini mengharuskan illat di masalah cabang yang diqiyaskan -yaitu keadaan transplantasi organ- berserikat kepada ‘illat yang menjadi sandaran qiyas -yaitu keadaan keterpaksaan untuk orang yang tidak punya bekal- baik pada zatnya atau pada jenisnya, sebab qiyas itu tidak lain melampauinya hukum asal kepada cabang, melalui ‘illat asal. Maka jika ‘illat cabang tidak berserikat kepada ‘illat asal dalam sifat keumumannya dan tidak pada sifat kekhususannya, maka ‘illat asal tidak ada pada cabang. Dengan begitu, tidak mungkin hukum asal melampaui masalah asal ke cabang.
Di sini, berkaitan dengan keadaan transplantasi organ, organ yang ditransplantasikan, ada kalanya termasuk organ yang menentukan penyelamatan hidup menurut dugaan kuat seperti jantung, hati, dua ginjal, paru-paru, dan ada kalanya termasuk organ yang tidak menentukan penyelamatan hidup seperti dua mata, ginjal kedua bagi orang yang ginjalnya sehat, tangan, kaki dan semisalnya.
Adapun organ yang transplantasinya menentukan penyelamatan hidup, dan yang ketiadaannya menyebabkan kematian manusia, maka ‘illat asal, yaitu penyelamatan kehidupan tidak ada di situ. Dan berikutnya, terhadapnya tidak berlaku hukum keadaan terpaksa. Berdasarkan hal itu, secara syar’iy tidak boleh mentransplantasikan mata atau ginjal bagi orang yang ginjalnya sehat, tangan atau kaki dari seseorang yang kehidupannya berakhir kepada seseorang lainnya yang memerlukan organ tersebut.
Adapun organ yang transplantasinya menentukan penyelamatan kehidupan manusia menurut dugaan kuat maka di situ ada dua aspek:
Pertama: ‘illat yang ada di situ -yaitu penyelamatan kehidupan dan mempertahankannya- tidak ditegaskan terjadinya, seperti yang ada dalam keadaan terpaksa. Sebab orang yang dalam keadaan terpaksa itu memakan makanan yang Allah haramkan memakannya, secara pasti menyebabkan penyelamatan kehidupannya. Hanya saja, transplantasi jantung, hati, paru-paru dan dua ginjal, tidak secara pasti mengantarkan penyelamatan kehidupan orang yang mendapat transplantasi organ itu. Kadang tercapai penyelamatan kehidupan dan kadang tidak tercapai. Banyak fakta yang terjadi pada orang yang mendapat transplantasi organ-organ tersebut memastikan hal itu. Karena ini, ‘illat tersebut tidak sempurna.
Adapun aspek kedua, itu berkaitan dengan syarat lain dari syarat-syarat cabang di dalam qiyas. Yaitu cabang itu harus kosong dari kontradiksi yang rajih yang mengharuskan lawan dari yang diharuskan oleh qiyas. Dan di sini pada cabang -yaitu kondisi transplantasi organ- telah ada nas rajih yang mengharuskan lawan dari apa yang diharuskan oleh ‘illat qiyas. Yaitu pengharaman penyerangan terhadap kehormatan mayit atau pelanggaran terhadapnya atau mutilasi mayit itu. Dan nas rajih ini adalah lawan dari apa yang diharuskan oleh ‘illat transplantasi organ berupa kebolehan.
Berdasarkan atas dua aspek ini, maka tidak boleh transplantasi organ yang pentransplantasiannya menentukan penyelamatan kehidupan seperti jantung, hati, paru-paru dan dua ginjal dari seseorang yang kehilangan kehidupan dan dia termasuk yang darahnya terlindungi, seorang muslim, kafir dzimmi, muahad atau musta’min, kepada seseorang lainnya yang kehidupannya bergantung pada transplantasi organ ini kepadanya] selesai kutipan dari booklet al-Istinsâkh (Kloning).
Kedua: jelas dari apa yang disebutkan di point pertama bahwa transplantasi jantung (dan semisalnya adalah organ yang pentransplantasiannya menentukan penyelamatan kehidupan seperti hati, dua ginjal dan paru-paru) dari orang yang terpelihara darahnya adalah haram secara syar’iy. Ini berarti bahwa donor jantung oleh orang yang terpelihara darahnya kepada orang lain adalah tidak boleh. Juga berarti bahwa mengambl jantung yang didonorkan dari orang yang terpelihara darahnya adalah tidak boleh sebab makna penyerangan yang haram itu juga terjadi pada pengambilan jantung orang yang terpelihara darahnya yang mendonorkan jantung itu dan mentransplantasikannya pada tubuh seseorang lainnya adalah juga haram sebab makna pelanggaan terhadap tubuh mayit terjadi dalam keadaan pendonoran tersebut yakni dalam keadaan pencabutan jantung orang yang terpelihara darahnya dari tubuhnya. Dan juga terjadi pada pentransplantasian jantung orang yang terpelihara darahnya di tubuh seseorang lainnya. Dan yang wajib pada semisal keadaan ini yakni dalam keadaan pencabutan organ dari tubuh mayit yang terpelihara darahnya, yang wajib adalah mengubur organ yang dicabut dari tubuh pendonor yang terpelihara darahnya itu bukan menggunakannya untuk mengobati seseorang lainnya. Abu Dawud telah mengeluarkan dari jalur Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:
«كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيّاً»
“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya semasa hidup”.
Di ‘Awn al-Ma’bûd Syarhu Sunan Abî Dâwud dinyatakan: as-Suyuthi mengatakan tentang penjelasan sebab hadits tersebut, dari Jabir ra, ia berkata: “kami keluar bersama Rasulullah saw pada sesosok jenazah lalu Nabi saw duduk di tepi kubur dan kami dudik bersama beliau. Lalu penggali kubur mengeluarkan tulang betis atau tulang lengan lalu dia pergi untuk mematahkannya, maka Nabi saw bersabda:
«لَا تَكْسِرْهَا فَإِنَّ كَسْرَكَ إِيَّاهُ مَيِّتاً كَكَسْرِكَ إِيَّاهُ حَيّاً، وَلَكِنْ دُسَّهُ فِي جَانِبِ الْقَبْرِ»
“Jangan kamu patahkan sebab kamu patahkan dia sebagai mayit seperti engkau patahkan dia semasa hidup tetapi susupkan di samping kubur”.
Jadi Rasul saw sesuai riwayat ini memerintahkan tulang mayit dikubur kembali, dan darinya dipahami bahwa organ mayit yang dipisahkan dari tubuh mayit itu wajib dikuburkan’
Ringkasnya adalah tidak boleh mengambil organ yang menentukan kehidupan seperti jantung dari orang hidup yang terpelihara darahnya. Demikian juga tidak boleh mendonorkan jantung hingga meskipun untuk menyelamatkan orang lain … Juga tidak boleh mewasiatkan untuk mengambilnya setelah kematiannya sebab seseorang itu tidak memiliki tubuhnya setelah kematiannya. Demikian juga, ahli waris tidak memiliki kecuali bagian mereka dari harta. Tetapi para ahli waris tidak memiliki tubuh orang yang sudah mati itu, dan berikutnya mereka tidak dapat mendonorkan bagian apapun dari jasad orang yang sudah mati itu sebab itu merupakan penyerangan terhadapnya dan hukumnya haram.
Saya berharap, penjelasan ini mencukupi. Wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
11 Jumadal Ula 1442 H
26 Desember 2020 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/72430.html
https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2826201610959178