Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Masalah gubenur non-Muslim yang mencuat akhir-akhir ini telah memasuki wilayah krusial, karena melibatkan dalil dan pandangan ulama’. Tidak hanya sekedar logika tegas, tidak tegas, atau bersih dan korup. Karena itu, harus dikaji dan dianalisis dengan mendalam, baik tentang dalil maupun pandangan ulama’ yang digunakan untuk menjustifikasi sikap tersebut.
Pertama, pandangan Ibn Taimiyyah, yang menyatakan, bahwa pemimpin non-Muslim yang adil lebih baik ketimbang pemimpin Muslim tetapi zalim. Pandangan ini digunakan untuk menjustifikasi sikap mendukung gubenur atau penguasa non-Muslim, yang penting adil, dan tidak zalim.
Fatwa yang dimaksud tertuang dalam kitab beliau, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah. Bunyi lengkap fatwa tersebut sebagai berikut:
(ولهذا كانت الذنوب ثلاثة أقسام: أحدها: ما فيها ظلم للناس؛ كالظلم بأخذ الأموال ومنع الحقوق؛ والحسد ونحو ذلك. والثاني: ما فيه ظلم للنفس فقط، كشرب الخمر والزنا؛ إذا لم يتعد ضررهما. والثالث: ما يجتمع فيه الأمران؛ مثل أن يأخذ المتولي أموال الناس يزنى بها ويشرب بها الخمر.…وقد قال الله تعالى: ﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَـناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ﴾ [الأعراف: 33].
وأمور الناس تستقيم في الدنيا مع العدل الذي فيه الاشتراك في أنواع الإثم: أكثر مما تستقيم مع الظلم في الحقوق وإن لم تشترك في إثم؛ ولهذا قيل: إن الله يقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة؛ ولا يقيم الظالمة وإن كانت مسلمة. ويقال: الدنيا تدوم مع العدل والكفر، ولا تدوم مع الظلم والإسلام. وقد قال النبـي صلى الله عليه وسلّم: «ليس ذنب أسرع عقوبة من البغي وقطيعة الرحم»؛ فالباغي يصرع في الدنيا وإن كان مغفوراً له مرحوماً في الآخرة، وذلك أن العدل نظام كل شيء؛ فإذا أقيم أمر الدنيا بعدل قامت وإن لم يكن لصاحبها في الآخرة من خلاق، ومتى لم تقم بعدل مل تقم وإن كان لصاحبها من الايمان ما يجزى به في الآخرة).
(Karena itu, dosa bisa diklasifikasikan menjadi tiga macam: Pertama, dosa yang mengandung kezaliman kepada manusia. Seperti kezaliman dengan mengambil harta, menghalangi hak orang, dengki, dan sebagainya. Kedua, dosa yang hanya mengandung kezaliman kepada diri sendiri, seperti minum khamer dan zina, jika bahayanya tidak menimpa orang lain. Ketiga, dosa yang mengandung kedua-duanya, seperti orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan mengambil harta orang, yang harta tersebut dia gunakan berzina, dan dia gunakan minum khamer… Allah SWT telah berfirman:“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.s. al-A’raf [07]: 33)
Urusan manusia di dunia ini akan tetap lurus bersama keadilan yang disertai dengan berbagai macam dosa, lebih lurus ketimbang urusan tersebut bersama kezaliman dalam hak, meski tidak disertai dengan satu pun dosa. Karena itu, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan menegakkan negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam.” Ada juga yang mengatakan, “Dunia akan tetap bertahan bersama keadilan dan kekufuran, dan tidak akan bertahan bersama kezaliman dan Islam.” Nabi saw telah bersabda:“Tidak ada satu pun dosa yang lebih cepat dikenai siksa ketimbang kezaliman dan memutus hubungan kekerabatan.”
Orang zalim di dunia akan dilawan, meski di akhirat diampuni dan mendapatkan rahmat (belas kasih Allah). Itu karena keadilan merupakan aturan segala hal. Jika urusan dunia ditegakkan dengan adil, maka dunia tetap akan tegak, meski di akhirat orangnya tidak beruntung. Selama tidak ditegakkan dengan adil, maka dunia tidak akan tegak, meski orangnya beriman, dan di akhirat mendapatkan balasan atas keimanannya). [Lihat, Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fataw, Juz XXVIII/121].
Jadi, pendapat yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan menegakkan negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam.” Sebenarnya bukan pendapat Ibn Taimiyyah. Beliau hanya mengutip pendapat orang lain, “Karena itu, ada yang mengatakan..” untuk menjelaskan pandangan beliau tentang tiga kategori dan muatan dosa manusia.
Selain itu, penjelasan ini juga tidak menjelaskan apapun tentang sikap beliau tentang keabsahan bentuk negara Kafir yang penting adil, atau penguasa Kafir yang penting adil. Karena ini hanya menjelaskan tentang fakta keadilan dan kezaliman, dan dampaknya terhadap kehidupan umat manusia. Secara faktual, memang ada negara Kafir dan negara Islam. Di dunia ini, masing-masing sama-sama berdiri. Negara Kafir yang berlaku adil kepada rakyatnya akan tetap berdiri, sebaliknya negara Islam yang zalim kepada rakyatnya akan runtuh. Jadi, ini hanya menjelaskan fakta keadilan dan kezaliman, serta dampaknya dalam kehidupan umat manusia.
Sedangkan standar “adil” dan “zalim” itu sendiri, termasuk dalam kategori perkara yang muwafaqah wa munafarah li fithrati al-insan (sejalan [untuk adil] dan bertentangan [untuk zalim] dengan fitrah manusia). Menurut al-Iji maupun ulama’ lain, termasuk dalam kategori perkara yang bisa diputuskan oleh akal manusia, tanpa melihat Muslim atau Kafir, jika dilihat dari aspek sesuai dan tidaknya keadilan dan kezaliman tersebut dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, siapapun orangnya dan apapun agamanya pasti akan setuju dengan keadilan, dan menolak kezaliman. Itulah fitrah manusia.
Hanya saja, keadilan ini akan sempurna jika syariat Islam diterapkan. Karena syariat yang diturunkan oleh Allah ini mengandung aturan yang menjamin keadilan yang sempurna, kebijaksaan dan kebaikan yang tiada tara. Itulah mengapa, Emperium Persia bisa bertahan ratusan tahun karena keadilan nisbi yang diterapkan kepada rakyatnya. Namun, ketika keadilan Islam hadir yang tercermin pada kepemimpinan ‘Umar bin al-Khatthab, kemudian kekuasaannya meliputi wilayah Persia, maka keadilan Islam dalam semalam bisa membuat mereka melupakan keadilan Persia ratusan tahun sebelumnya.
Jika kita hendak membuat perbandingan, maka harus dibuat gambaran paling sempurna, ketika syariat Islam diterapkan secara utuh, yang dengannya keadilan tersebut benar-benar terwujud dengan sempurna. Demikian sebaliknya, keadilan tersebut berbeda kadarnya seiring dengan perbedaan dalam menerapkan syariatnya. Bahkan, terkadang Islam diterapkan dengan cara yang salah, sehingga keadilannya pun tidak tampak.
Jadi, penjelasan Ibn Taimiyyah di atas, sebenarnya dalam konteks amar makruf dan nahi munkar, juga dalam membahas kategori dan muatan dosa yang dilakukan oleh manusia. Penjelasan tersebut sebenarnya untuk mendorong keadilan, mencegah kezaliman dan bagaimana dampak keduanya terhadap kehidupan umat manusia. Dampaknya, keadilan akan menyebabkan tegak dan kokohnya negara. Sebaliknya, kezaliman akan menyebabkan runtuh dan rapuhnya negara. Apapun negaranya, baik negara Islam maupun Kafir.
Penjelasan beliau juga tidak untuk menjustifikasi sistem Kufur, atau penguasa Kafir. Karena jika dipahami demikian, tentu ini akan kontradiksi dengan penjelasan beliau dalam kitabnya yang lain. Dalam kitab as-Siyasah as-Syar’iyyah, beliau menyatakan:
وإن انفرد السلطان عن الدين، أو الدين عن السلطان فسدت أحوال الناس، وإنما يمتاز أهل طاعة الله عن أهل معصيته، بالنية والعمل الصالح.
“Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka keadaan manusia akan rusak. Ahli tha’at itu hanya bisa dibedakan dengan ahli maksiat berdasarkan niat dan amal shalihnya.”
Berdasarkan penjelasan di atas nyata sekali, bahwa menyatakan “tidak ada masalah, apakah pemimpin itu Muslim atau non-Muslim, yang penting adil” jelas keliru. Karena kriteria pemimpin harus Muslim, jelas telah dinyatakan dalam nas al-Qur’an (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141).
Demikian juga, pernyataan yang menyatakan, “tidak ada masalah sistem apapun, atau bentuk negara apapun, yang penting adil. Ketimbang negara Islam, tetapi tidak adil.” Pernyataan ini juga keliru, karena kita jelas-jelas diperintahkan untuk menegakkan negara yang benar-benar menerapkan Islam secara kaffah, yang dengannya keadilan akan terwujud dengan sempurna. Itulah yang disebut sebagai as-siyasah as-syar’iyyah (politik syariah) oleh Ibn Taimiyyah, atau al-Ahkam as-Syar’iyyah oleh al-Mawardi.
Jadi, sistem Islam wajib, pemimpin Muslim juga wajib. Bukan hanya pemimpinnya saja yang Muslim, tetapi sistemnya Kufur, atau sistemnya Islam, tetapi pemimpinnya Kafir. Dua-duanya harus dipastikan, sama-sama Islam. Sistemnya Islam, pemimpinnya juga Muslim.
Kedua, mengenai pendapat Imam al-Mawardi tentang wazir tanfidz, yang tidak disyaratkan harus Muslim, karena hanya menangani urusan administrasi, kemudian digunakan untuk menjustifikasi kebolehan gubenur non-Muslim, maka redaksinya harus dilihat dengan cermat, sebagai berikut:
(فصل) وأما وزارة التنفيذ فحكمها أضعف وشروطها أقل ، لأن النظر فيها مقصور على رأي الإمام وتدبيره ، وهذا الوزير وسط بينه وبين الرعايا والولاة يؤدي عنه ما أمر وينفذ عنه ما ذكر ويمضي ما حكم ويخبر بتقليد الولاة وتجهيز الجيوش ويعرض عليه ما ورد من مهم وتجدد من حدث ملم ، ليعمل فيه ما يؤمر به ، فهو معين في تنفيذ الأمور وليس بوال عليها ولا متقلدا لها، فإن شورك في الرأي كان باسم الوزارة أخص ، وإن لم يشارك فيه كان باسم الواسطة والسفارة أشبه…. ولا يجوز له أن يحكم فيعتبر فيه العلم وإنما هو مقصور النظر على أمرين: أحدهما: أن يؤدي إلى الخليفة. والثاني: أن يؤدي عنه.
“(Pasal) adapun wizarah tanfidz hukumnya lebih lemah dan lebih ringan syaratnya. Karena kewenangan dalam urusan [wizarah tanfidz] ini terbatas pada [melaksanakan] pandangan imam (khalifah) dan menjalannya. Wazir ini menjadi perantara antara imam (khalifah) dengan rakyat dan wali (kepala daerah). Dia bertugas menyampaikan apa yang diinstruktikan dari imam, dan menjalankan apa yang telah disebutkan imam. Dia juga melaksanakan apa yang diputuskan imam, memberitahukan pengangkatan wali (kepala daerah) dan penyiapan tentara. Dia juga bertugas menyampaikan kepada imam perkara penting yang ada, serta peristiwa penting yang silih berganti, agar dia bisa menjalankan apa yang diinstruksikan kepadanya. Dia merupakan pembantu dalam menjalankan berbagai urusan, bukan wali dan orang yang diangkat untuk mengurus urusan tersebut. Jika dia dilibatkan dalam memberikan pendapat, maka itu lebih khusus atas nama wazir. Jika dia tidak dilibatkan, maka itu lebih menyerupai perantara dan utusan… Dia tidak boleh memerintah, sehingga harus berilmu, tetapi dia hanya berhak terhadap dua perkara: Pertama, menyampaikan kepada Khalifah. Kedua, menyampaikan dari Khalifah.” [Lihat, al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 34-35].
Dalam kalimat berikutnya, Imam al-Mawardi menyatakan:
ولهذه الفروق الأربعة بين النظيرين افترق في أربعة من شروط الوزارتين: أحدها : أن الحرية معتبرة في وزارة التفويض وغير معتبرة في وزارة التنفيذ. والثاني: أن الإسلام معتبر في وزارة التفويض وغير معتبرة في وزارة التنفيذ. والثالث: أن العلم بالأحكام الشرعية معتبر في وزارة التفويض وغير معتبر في وزارة التنفيذ . والرابع : أن المعرفة بأمري الحرب والخراج معتبرة في وزارة التفويض وغير معتبرة في وزارة التنفيذ ، فافترقا في شروط التقليد من أربعة أوجه كما افترقا في حقوق النظر من أربعة أوجه واستويا فيما عداها من حقوق وشروط .
“Berdasarkan empat perbedaan di antara dua kategori ini, maka ada empat perbedaan syarat pada kedua wazir tersebut. Pertama, merdeka menjadi patokan bagi wizarah tafwidh, tetapi tidak bagi wizarah tanfidz. Kedua, Islam menjadi patokan wizarah tafwidh, tetapi tidak bagi wizarah tanfidz. Ketiga, ilmu tentang hukum syara’ menjadi patokan bagi wizarah tafwidh, tetapi tidak bagi wizarah tanfidz. Keempat, mengetahui urusan perang dan kharaj menjadi patokan bagi wizarah tafwidh, tetapi tidak bagi wizarah tanfidz.” [Lihat, al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 36]
Setelah mengkaji siapa yang dimaksud dengan wazir tanfidz oleh Imam al-Mawardi, jelas dia adalah pembantu Khalifah di bidang administrasi. Bukan kepala daerah, baik wali maupun ‘amil. Dia tidak boleh membuat keputusan, apalagi memerintah. Itulah posisi wazir tanfidz, yang dimaksud oleh Imam al-Mawardi. Yang pasti, dia bukan pembuat kebijakan, bukan kepala daerah, baik tingkat I maupun tingkat II.
Kesimpulan ini bisa dilihat pada bab berikutnya, ketika beliau membahas bab, Taqlid al-Imarah ‘ala al-Bilad [pengangkatan kepala daerah]. Pada bab ini, beliau menegaskan bahwa syarat kepala daerah sama dengan syarat wazir tafwidh. Dalam hal ini, Imam al-Mawardi menyatakan:
وتعتبر في شروط هذه الإمارة الشروط المعتبرة في وزارة التفويض
Syarat-syarat yang diakui dalam syarat kepala daerah ini adalah syarat wizarah tafwidh. [Lihat, al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 41].
Sedangkan syarat-syarat wizarah tafwidh beliau deskripsikan sebagai berikut:
ويعتبر في تقليد هذه الوزارة شروط الإمامة إلا النسب وحده… ويحتاج فيها إلى شرط زائد على شروط الإمام وهو أن يكون من أهل الكفاية فيما وكل إليه من أمر الحرب، والخراج وخبرة بهما وبتفصيلهما فإنه مباشرة لهما تارة ومستنيب فيهما أخرى..
“Dalam pengangkatan wizarah ini syarat yang diberlakukan adalah syarat imamah, kecuali nasab saja… Dalam wizarah membutuhkan syarat tambahan, di luar syarat imam [khalifah], yaitu orang yang mampu menjalankan urusan yang diserahkan kepadanya, seperti urusan perang, kharaj serta ahli tentang keduanya dan rinciannya. Dia kadang menjalankan keduanya langsung, kadang ditunjuk sebagai pengganti..” [Lihat, al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 30].
Karena itu, merupakan kesalahan besar, bahkan melakukan kebohongan atas nama al-Mawardi, jika menyatakan bahwa kepala daerah boleh non-Muslim, dengan alasan sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al-Mawardi. Padahal, Imam al-Mawardi tidak pernah menyatakan seperti itu. Gubenur, walikota, bupati adalah kepala daerah, atau dalam bahasa beliau termasuk imarah ‘ala al-bilad, yang jelas tidak boleh dijabat oleh non-Muslim. Itulah pendapat Imam al-Mawardi.
Mengenai kebolehan non-Muslim menjadi wazir tanfidz, harus dilihat: Pertama, beliau mensyaratkan tujuh syarat untuk wazir tanfidz, yaitu: (1) amanah, sehingga tidak mengkhianati apa yang diamanahkan kepadanya; (2) jujur tutur katanya, sehingga informasinya bisa dipercaya; (3) kecil ambisinya, sehingga tidak mudah disuap, dan tidak berkhianat, sehingga ceroboh; (4) bisa meredakan permusuhan antara dia dengan rakyat; (5) laki-laki, karena dia harus menyampaikan kepada dan dari Khalifah. Karena, dia adalah saksi untuknya, dan kepadanya; (6) cerdas sehingga tidak tertipu; (7) bukan pemuja hawa nafsu, sehingga hawa nafsunya bisa memalingkannya dari kebenaran. [Lihat, al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 35].
Syarat-syarat seperti ini dinyatakan oleh al-Mawardi dalam konteks sistem Khilafah, dan itu bukan hal yang sulit dipenuhi, karena Islam diterapkan bukan saja sebagai kaidah [qa’idah fikriyyah] dan kepemimpinan berpikir [qiyadah fikriyyah]. Tetapi, jika syarat-syarat ini diterapkan di luar konteks sistem Khilafah, jelas tidak mungkin.
Kedua, diperbolehkannya non-Muslim oleh al-Mawardi sebagai wazir tanfidz ini adalah hasil ijtihad beliau. Tetapi, pandangan ini dianggap lemah oleh al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Alasannya, karena meski wazir tanfidz ini tidak memegang otoritas pemerintahan [shalahiyyatu al-hukm], tetapi dia adalah bithanah Khalifah. Karena itu, berlaku larangan yang dinyatakan oleh Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil bithanah selain kalian.” [Q.s. Ali ‘Imran: 118]
“Bithanah ar-rajul” [bithanah seseorang] adalah mereka yang diminta menjaga rahasia urusannya. Asalnya dari lafadz “Bathn” [perut atau bagian dalam], kebalikan dari tampak. [Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz V/272]. Berdasarkan penjelasan al-Qurthubi, jelas bahwa wazir tanfidz termasuk bithanah Khalifah, yang tidak boleh dijabat oleh non-Muslim [Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hal. 138]. Wallahu a’lam.