Oleh: Ainun Dawaun Nufus – Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (Praktisi Sosial dan Pendidikan)
Pasal 1 Nomor 6 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Jumlah anak terlantar di Indonesia mencapai 5,4 juta anak. Dari jumlah tersebut, Kementerian Sosial (Kemensos) baru mampu menangani sekitar 200.000 anak saja. Khofifah merinci sebanyak 5.900 anak mengalami penelantaran sama seperti kasus yang terjadi di Cibubur, 3.600 anak bermasalah dengan hukum, balita terlantar sebanyak 1,2 juta, dan anak jalanan sebanyak 34 ribu.
Berdasarkan Laporan UNICEF (lembaga PBB untuk anak-anak) berjudul Cerita dari Indonesia (2015), dari sekitar 250 juta orang penduduk Indonesia, sebanyak kira-kira 84 juta di antaranya (1/3) adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Bappenas-SMERU-UNICEF pada 2012 menunjukkan, 44,3 juta anak Indonesia terkena dampak kemiskinan dan hidup dengan penghasilan kurang dari dua dolar (AS) per hari.
Dengan demikian, jika dibandingkan dengan data Mensos bahwa ada 4,1 juta anak terlantar di Indonesia, berarti itu kira-kira sebesar 4,8% dari jumlah anak-anak di Indonesia yang sebanyak 84 juta jiwa.
Salah satu Peneliti Pusat penelitian Atma Jaya (PPH) Atma Jaya, Kekek Apriana mengungkapkan dari hasil penelitian awal kekerasan seksual pada anak jalanan yang dilakukan pihaknya kepada 43 anak jalanan, 23 perempuan (dibagi dalam tiga kelompok) dan 20 laki-laki (juga dibagi dalam tiga kelompok), usia 15 sampai 18 tahun, ditemukan bahwa hampir semua remaja jalanan perempuan sudah dapat mengakses Puskesmas jika sakit. Namun hal ini tidak berlaku sama pada remaja laki-laki. Jika merasa sakit yang cukup parah baru umumnya mereka mencari pertolongan dan membawa temannya ke klinik ataupun RSUD untuk kondisi emergency.
Pada kasus dimana mereka membutuhkan uang banyak untuk berobat, biasanya mereka akan meminta bantuan rekan-rekan remaja jalanan lainnya untuk memberikan sumbangan. Kekek juga mengungkapkan anak jalanan tidak pernah mengikuti kegiatan yang memberikan informasi tentang kesehatan. Umumnya informasi tentang kesehatan diketahui dari mulut ke mulut, atau ketika mengantar teman ke dokter di saat itu bisa bertanya.
Bagi remaja jalanan yang masih memiliki orang tua, umumnya mereka masih menjadi sosok yang diandalkan ketika sakit. Namun bagi remaja yang memang hidup di jalanan, tanpa kehadiran orang tua atau pun orang tua tidak berada di Jakarta, umumnya orang yang diandalkan ketika sakit adalah teman-temannya.
Hal yang tak kalah miris, sebulan yang lalu kasus perdagangan anak untuk dimanfaatkan dalam kegiatan mengemis mengejutkan banyak pihak bahwa pelaku bukan saja melakukan trafficking, tapi juga melakukan tindakan kekerasan dengan mencekoki obat bius kepada anak-anak yang masih berusia balita bahkan ada bayi yang baru berusia beberapa bulan. Penipuan adalah bagian yang juga melekat dalam dunia pengemis. Berbagai operasi yang kerap dilakukan dinas sosial sejumlah pemda juga mendapatkan fakta bahwa dunia pengemis lekat dengan manipulasi. Pura-pura cacat, pura-pura sakit, akting memelas, pakaian kumuh adalah bagian dari atribut dan aksi yang sering dilakukan mereka yang terlibat di sana.
Di berbagai kota misalnya, kita dengan gampang bisa melihat kalau jumlah anjal dan gepeng terus meningkat. Mereka beroperasi di angkot-angkot, di persimpangan jalan, di pasar, lampu merah, dari rumah ke rumah, dll. Mungkin dalam sehari bisa lebih dari dua pengemis yang mendatangi rumah warga belum termasuk pengamen.
Fenomena ini menunjukkan program penertiban anjal dan gepeng tidak membuahkan hasil. Karena selama ini pemerintah pusat dan daerah masih berfokus pada kuratif atau penanganan, bukan preventif atau pencegahan. Akar persoalan anjal dan gepeng justru tidak terpecahkan.
Maraknya pengemis baik yang sporadis ataupun terkoordinir, yang nyata karena kemiskinan atau karena unsur penipuan terjadi hanya dalam sistem kapitalisme. Di mana negara memberlakukan prinsip “survival of the fittest”, rakyat dibiarkan bertarung sendiri memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan negara hanya sebagai regulator yang minim campur tangan menolong hajat hidup rakyatnya sendiri. Sedangkan rakyatnya pun dibebani berbagai pungutan pajak yang memberatkan. Inilah rezim jibayah, penghisap darah rakyat, sekaligus mulkan jabariyyan, penguasa kejam yang menindas membiarkan rakyatnya sengsara.