Belum lama ini publik dikejutkan dengan kabar adanya perjanjian siluman yang dilakukan oleh Gubernur DKI Djakarta Basuki Thahaya Purnama (ahok) dalam mengutip komitmen proyek pengurang kontribusi tambahan reklamasi teluk utara Jakarta.
Kasus ini muncul setelah Direktur Utama PT. Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja kepada KPK mengakui adanya 13 proyek PT. Muara Wisesa Samudra, perusahaan anak usaha Agung Podomoro, yang anggarannya akan dijadikan pengurangan kontribusi tambahan proyek reklamasi.
Tercatat, ada 4 (empat) perusahaan yang diminta ahok membangun proyek pengurang kontribusi. PT. Agung Podomoro Land (PT. APL), PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah, dan PT Jaladri Eka Paksi.
Ahok berang karena disebut tempo telah melakukan barter pada proyek reklamasi teluk utara Jakarta. Meskipun demikian, ia mengakui telah melakukan ‘perjanjian preman’ dengan pengembang untuk mengutip kontribusi tambahan.
Secara eksplisit ahok mengakui tidak memiliki payung hukum terkait perjanjian preman yang dilakukannya dengan para pengembang.
Melalui Sumber Daftar Kontribusi Tambahan (bukan CSR) yang Telah Diterima Gubernur Basuki Tjahaya Purnama dari Agung Podomoro Land tercantum beberapa proyek PT Agung Podomoro Land yang menjadi bagian kontribusi tambahannya disebut nilai kontrak, uang yang sudah dibayarkan, dan sisanya. Beberapa proyek itu di antaranya proyek Rumah Susun Sewa Daan Mogot.
Total dana yang tertulis dalam nilai kontrak sebesar Rp 392,6 miliar. Dari total semua proyek, kekurangan yang harus dibayarkan tertulis Rp 173,9 miliar.
Terhadap langkah ahok itu, publik terbelah menyikapinya. Setidaknya, pendapat umum yang berkembang terbagi kedalam tiga arus utama.
Pertama, tindakan ahok melakukan perjanjian preman dengan para pengembang disebut sebagai tindakan diskresi biasa, bagian dari kewenangan gubernur untuk mencapai tujuan pembangunan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Tindakan ahok masih terkategori bagian dari tindakan pejabat publik yang berkesesuaian dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Diskresi yang dilakukan ahok, sepanjang untuk tujuan pencapaian pembangunan DKI Jakarta, tidak dapat disebut menyalahi hukum dan peraturan perundang-undanganan.
Bahkan, ada yang membela lebih jauh. Tindakan ahok disebut sebagai tindakan pejabat yang memenuhi asas doelmatigedaad (tujuan Pemerintahan), yang dalam hal ini bukan tindakan diskresi (sepihak) oleh ahok. Melainkan atas persetujuan dan keterlibatan pengembang dalam perjanjian yang disepakati.
Dikatakan tindakan ahok dianggap tidak sekedar memenuhi asas dasar hukum (rechtmatigedaad), artinya hal ini tidaklah bertentangan dengan asas dan kaidah hukum yang berlaku pada UU No. 20 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan.
Kedua, tindakan ahok telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tindakan ahok mengutip pengembang dengan dasar perjanjian preman (perjanjian yang tidak memiliki dasar hukum) melanggar hukum administrasi pemerintahan.
Dalam hukum administrasi, seorang pejabat TUN (tata usaha negara) tidak saja menjelaskan tindakan TUN pada aspek tujuan pencapaian pembangunan dan kesejahteraan masyarakat (doelmatigedaad), tetapi juga mengharuskan seorang pejabat publik memperhatikan asas dan landasan hukum melakukan tindakan administrasi ketatapemerintahan.
Artinya, aspek dasar hukum (rechtmatigedaad) dan tujuan hukum (doelmatigedaad) keduanya harus dipenuhi pejabat TUN dalam mengambil kebijakan dan keputusan TUN.
Tindakan ahok yang membuat perjanjian preman tanpa dasar hukum yang jelas, apalagi tujuan juga tidak jelas, baru dibuka ke publik setelah ada pemeriksaan oleh KPK adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum administrasi Pemerintahan.
Ketiga, ahok tidak saja melanggar hukum administrasi pemerintahan. Tetapi juga diduga melanggar hukum pidana, dalam hal ini melanggar hukum pidana korupsi. Bila saja, perjanjian preman ini bisa dibuktikan telah melanggar dan merugikan keuangan negara, serta ada pihak-pihak yang diuntungkan atas tindakan ini, maka telah sahih-lah kesimpulan ahok melanggar hukum pidana.
Sama halnya dengan kasus reklamasi, untuk kasus RS sumber waras juga demikian. Wacana ahok tidak korupsi, berkembang dan menjadi argumen untuk mempertahankan kebijakan pembelian lahan RS sumber waras.
Sebaliknya, pihak yang menyebut ahok korupsi argumennya sederhana : ada audit BPK yang menyebut ada kerugian negara pada pembelian RS sumber waras, termasuk pelanggaran prosedur dalam proses pembeliannya.
Anehnya, hasil audit BPK baru dipermasalahkan beberapa pihak atau setidaknya tidak dijadikan rujukan KPK pada kasus RS sumber waras. Padahal, BPK adalah lembaga yang legal sesuai konstitusi dan memiliki otoritas untuk melakukan tugas-tugas audit, dimana hasil (rekomendasi) yang dikeluarkan mengikat secara hukum.
Petarungan opini kasus ahok ini semakin sengit, manakala Pemerintah dan DPR sepakat dengan wacana merevisi UU Pilkada. Salah satu poin utama dalam revisi adalah penganuliran calon kepala daerah dengan status tersangka.
Tentu saja status ‘Tersangka’ yang semula produk hukum dalam revisi UU Pilkada ini akan berubah menjadi senjata politik.
Tidak saja di Pilkada DKI Jakarta, status Tersangka ini akan menjadi “senjata mematikan” bagi aktor politik untuk membunuh lawan politik yang akan berlaga di Pilkada di seluruh Indonesia.
Betapa tidak, dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka, otomatis pencalonannya dalam Pilkada gugur. Dengan demikian, para calon sejak saat ini telah mulai membongkar dan menginventarisasi kesalahan-kesalahan lawan politik, untuk kemudian dapat dijadikan senjata politik.
Bagi lawan politik kelas teri, tentu tidak perlu dibidik dengan senjata ‘status tersangka’, cukup dikendalikan saja.
Terapi jika lawan politik kuat dan berpotensi memenangi Pilkada, pilihan memberangus pencalonan dengan status tersangka menjadi cara efektif untuk memenangi kontes Pilkada.
Maka akan banyak kasus lama dibongkar, kasus baru diciptakan, kasus yang benar ada digulirkan, untuk sampai pada status tersangka dan membungkam calon untuk maju dalam Pilkada.
Bagi oknum aparat penegak hukum, ‘status tersangka’ akan menjadi dagangan hukum yang laris manis. Penegakan hukum atas asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan, dipastikan akan bias dikangkangi kepentingan politik.
Di sinilah terjadi peradilan publik untuk memenangkan wacana politik. Penulis banyak melihat para pengamat merangkap status menjadi jaksa maupun pengacara, media-media nasional berubah menjadi hakim pemutus. Sementara dunia sosmed, menjadi ajang verifikasi keterangan saksi dan bukti layaknya sidang di pengadilan.
Sampai pada batas tertentu, penulis melihat banyak pembelaan yang tidak relevan, dakwaan yang asbun (asal bunyi), pernyataan-pernyataan tendensius dan berbagai fakta hukum yang dikesampingkan hanya karena kuasa media.
Jika demikian, para aktor politik sebelum mereka dipaksa dan dihadirkan di meja hijau peradilan yang sesungguhnya, mereka mereka harus memenangi peradilan publik melalui pertarungan ide dan wacana.
Jika publik telah memvonis seorang politisi bersalah, maka tidak perlu lagi meja hijau peradilan. Posisinya akan terlempar jauh, dan akan sulit bahkan tidak mungkin lagi menapaki jenjang dan karier politik. Demikianlah, mekanisme politik yang bekerja dalam sistem politik sekuler – Demokrasi. []. Abu Jaisy al Askary